PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Pengetahuan Seputar Nikah: Hukum Menikah Dalam Islam

1.    Hukum Asal
Sebagai gambaran, seorang laki-laki dalam keadaan stabil/biasa, tidak takut terjerumus zina jika tidak menikah serta memiliki biaya yang cukup untuk menikah, mulai dari mahar sampai nafkah. Dalam kondisi seperti ini, apakah nikah bagi dia hukumnya wajib, sunat ataukah hanya sekedar mubah? Para ulama berbeda pendapat.

1.    Menurut Zhahiriyah , nikah hukumnya wajib. Pertama, lafal “ankihû” yang terdapat pada ayat perintah nikah menunjukkan wajib. Dengan itu, maka nikah hukumnya wajib. Kedua, nikah adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri. Tidak ada cara lain untuk itu selain nikah. Oleh karena menjaga kehormatan wajib, maka nikah hukumnya wajib pula, karena “sesuatu yang dapat menyempurnakan yang wajib hukumnya juga wajib” 

2.    Menurut Jumhur, nikah hukumnya sunat.  Menikah lebih baik dari pada meninggalkannya,  dengan dalil-dalil di antaranya sebagai berikut:

1)    Pada surat an-Nisâ`: 3 disebutkan ‘mâ thâba’ (al-istithabah) sebagai ta’liq perintah menikah, karena wajib tidak boleh ada satu ta’liq yang akan membawa hukum keluar dari wajib.

2)     “Dua atau tiga atau empat” ini adalah ayat tentang poligami. Berdasarkan ijmak ulama, poligami tidak diwajibkan. Dengan itu, maka perintah menikah dalam ayat tersebut menunjukkan sunat, bukan wajib.

3)    Hadis-Hadis perintah menikah semuanya menunjukkan sunat, bukan wajib.  Dalam hadis disebutkan bahwa perintah nikah diwajibkan bagi mereka yang ditakutkan terjerumus pada perzinaan.

4)    Maslahat/faedah menikah lebih banyak dari pada menyibukkan diri dengan ibadah sunat. 

3.    Menurut Syafi'iyah, nikah hukumnya mubah,  karena tujuan nikah adalah mmenuhi syahwat dan mencari kepuasan seperti halnya makan dan minum.  Hukum asal makan dan minum adalah mubah, maka nikahpun demikian. Dalam kondisi ini sibuk dengan ibadah sunat lebih utama dari pada nikah.

Menurut Abdul Karim Zaidan --menurut hemat penulispun demikian, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan sunat.  Pertama, karena kekuatan dalilnya. Pendapat ini sesuai dengan teks dan konteks yang ada; sesuai dengan tujuan yang diinginkan Allah dan maslahat yang ingin dicapai manusia. Kedua, dalil yang dipakai pendapat pertama hanya bersandar pada teks saja tanpa memperhatikan konteksnya. Ketiga, dalil yang dipakai pendapat ketiga kurang pas. Hal ini mengingat tujuan serta rahasia utama disyariatkannya nikah adalah hifzhu al-nasl (menjaga keturunan), bukan hanya sekedar memenuhi hawa nafsu seperti makan dan minum.

2.    Hukum Turunan

Meski hukum asal nikah adalah sunat, tetapi ia bisa berubah ketika ada faktor-faktor lain yang membawa hukum itu keluar dari asalnya. Menurut para ulama, setidaknya ada lima hukum turunan dari hukum asal nikah, yaitu:      

1.    Wajib, bagi mereka yang ditakutkan terjerumus pada perzinaan jika tidak menikah serta telah mampu untuk berumah tangga.  Dengan dalil yang dipakai Zhahiriyah di atas di poin kedua.  Bahkan pada kondisi seperti ini nikah mesti dikedepankan dari pada haji begitu juga fardlu kifayah, seperti mencari ilmu dan jihad.
 Ketika seorang laki-laki merasa takut terjerumus zina jika tidak menikah sedang dia belum mampu, apakah dia boleh menghutang untuk membiayai pernikahannya? Menurut Hanafiyah jika dia bisa menghutang, maka dia diharuskan menghutang, meski tidak yakin mampu membayarnya. Begitu juga menurut Hanabilah, menghutang dalam kondisi nikah wajib, wajib hukumnya. 

2.     Sunat, yaitu pada kondisi stabil (biasa).  Menurut Syafi'iah bagi mereka yang berada pada kondisi ini lebih utama sibuk dengan ibadah dari pada nikah. Sedang menurut Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Syafi'iyah, lebih utama menikah. 

3.    Mubah, bagi mereka yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah, baik itu disebabkan penyakit fisik seperti impoten atau ada keinginan tapi sudah hilang karena usia yang lanjut atau karena penyakit yang diderita. Pada kondisi seperti ini Hanabilah berbeda pendapat. Pertama, disunatkan nikah, dengan dalil keumuman ayat perintah nikah. Kedua, yang utama tidak menikah karena menikah dengan kondisi seperti itu, seorang suami tidak akan bisa melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan otomatis tidak akan mampu menjaga kemaluan serta kehormatan isterinya, juga tidak akan mencapai tujuan dan hikmah disyariatkannya nikah. Kondisi hukum ini tidak ada perbedan antara yang mampu dan tidak.  Sedang menurut Hanafiyah¸ nikah hukumnya mubah hanya jika mampu, tapi tidak ada kemauan untuk menikah, baik karena sudah lanjut usia ataupun sakit.  Pendapat yang paling rajih, nikah adalah mubah bagi mereka yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah ataupun jima meskipun wanita yang dinikahi ridla dengan hal itu.

4.    Makruh, bagi mereka yang tidak mampu dan tidak takut terjerumus zina. Begitu juga bagi mereka yang takut terjerumus tapi tidak mampu. Untuk kondisi ini diperintahkan berpuasa sebagai penjaga dirinya supaya tidak terjerumus.  Menurut Syafi'iyah, sibuk dengan ilmu lebih baik dari pada nikah.

5.    Haram, bagi mereka yang takut akan menzalimi istrinya, baik mampu biaya ataupun tidak.  Begitu juga bagi wanita yang mengetahui dirinya tidak mampu melaksanakan kewajibannya sebagai istri.  Secara sederhana, nikah menjadi haram baik bagi laki-laki atau perempuan, jika hal itu membawa dirinya melakukan hal-hal yang diharamkan.  

Sekilas, pemaparan di atas seakan-akan kebanyakannya hanya tertuju pada laki-laki saja; wanita hanya menjadi objek. Menurut Abdul Karim Zaidan, semua hukum yang ditujukan bagi laki-laki, ditujukan pula bagi wanita. Pertama, pada dasarnya semua objek hukum syariat mencakup laki-laki dan perempuan, meskipun lafal perintahnya tertuju bagi laki-laki, kecuali ada dalil pengkhususan. Kedua, hukum diterapkan berdasarkan alasan/ilat yang ada. Ilat perintah puasa jika tidak mampu nikah adalah untuk melemahkan syahwat dan mencegah terjerumus pada hal yang haram. Hal inipun berlaku bagi wanita. Karena tujuan menjaga dari perzinaan bukan hanya bagi laki-laki saja. 
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]