Dalam Memilih Pasangan: Haruskah Kita Selevel dalam Keislaman, Nasab, Pekerjaan & Harta ?
Mengenal Kaf'ah
Kafâ’ah secara etimologi berarti kesamaan atau kesepadanan (pada tingkat atau level yang sama) . Allah Swt. berfirman: “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya”. (QS. al-Ikhlâs: 4) Secara terminologi kafâ’ah adalah kesamaan atau kesepadanan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.
Baca: Pengertian Kafa'ah Dan Apakah masuk Syariat ?
Agama
Yang dimaksud agama di sini adalah tingkat ketakwaan dan keshalehan. Muslimah yang shalehah tidak sekufu dengan laki-laki fasik atau yang suka berbuat dosa. Apabila seorang laki-laki menipu seorang perempuan bahwa dia adalah orang yang shaleh, kemudian hal tersebut diketahui setelah pernikahan, maka perempuan tersebut dengan walinya berhak untuk membatalkan pernikahan. Ini adalah pendapat jumhur.
Adapun menurut Imam Muhammad bin Hasan (sahabat Imam Hanafi), agama (ketakwaan dan keshalehan) tidak termasuk bagian dari kafâ`ah, karena hal ini merupakan urusan akhirat sedangkan kafâ`ah merupakan urusan dunia. Abu Yusuf berpendapat, apabila seseorang sudah terkenal kefasikannya, maka dia tidak sekufu dengan muslimah yang baik-baik. Apabila tidak kelihatan, maka dia bisa dikatakan sekufu dengan perempuan tersebut. Dalam al-Qur'an disebutkan: "Maka apakah orang yang beriman seperti orang fasik (kafir)? Mereka tidak sama". (QS. as-Sajadah:18)
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa agama merupakan bagian yang menentukan apakah seseorang itu dikatakan memiliki kafâ`ah. Alasan orang yang menyatakan bahwa agama merupakan urusan akhirat dan kafâ`ah merupakan urusan dunia tidak terlalu berpengaruh, karena selama ada dalil yang menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kafâ`ah, apa salahnya.
Nasab (Keturunan)
Nasab adalah hubungan silsilah keturunan dari bapak dan kakek. Nasab seorang anak dilihat dari
kedudukan bapaknya. Berbeda dengan anak angkat dan seorang budak, mereka tidak diketahui nasabnya.
Apakah nasab merupakan standar kafâ'ah? Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat. Jumhur berpendapat bahwa nasab merupakan standar kafâ'af . Dalam kitab Hidâyah, fiqih Hanafiyah disebutkan, nasab hanya ditekankan dalam pernikahan bangsa Arab. Hal ini dikarenakan mereka sangat menjaga nasab. Bagi mereka nasab bisa mengangkat derajat dan kehormatan. Berbeda dengan bangsa lain yang tidak terlalu fanatik dengan nasab dan juga tidak saling membanggakannya. Mereka lebih cenderung mempertimbangkan huriyah (merdeka) dan agama Islam. Dalam Hadis disebutkan: Rasulullah Saw. bersabda: "Bangsa Quraisy sekufu dengan bangsa mereka. Bangsa Arab sekufu dengan bangsa mereka. Setiap kabilah sekufu dengan kabilahnya".
Huriyah (Merdeka)
Merdeka merupakan standar kâfa`ah, karena aib yang terdapat pada hamba lebih buruk dari aib pada keturunan (nasab). Dengan demikian, seorang hamba tidak bisa dikatakan sekufu dengan orang yang merdeka.
Rasulullah Saw. memilih Barirah setelah dia dimerdekakan, karena sebelumnya dia bersuamikan hamba. Jika dalam memilih pasangan ada seorang budak dan yang lainnya merdeka, maka utamakanlah yang merdeka. Hal ini dikarenakan hamba mempunyai banyak kekurangan selain itu dia harus mengabdi pada majikannya. Namun jika seseorang memilih budak, pernikahannya tetap sah.
Rasulullah Saw. bersabda kepada Barirah: "Jika kamu suka maka kamu boleh kembali kepadanya (suaminya). Kemudian Bariroh berkata: "Wahai Rasulallah apakah engkau menyuruhku? Rasulullah berkata: "Sesungguhya aku hanya menawarkan". Lalu Barirah menjawab: "Tidak, aku menolaknya". ( HR. Bukhari dan Muslim)
Wajhu al-Dilâlah
Hadis ini menjelaskan, seandainya Barirah ingin kembali pada suaminya yang lama maka itu boleh. Akan tetapi Barirah menolak untuk kembali. Oleh sebab itu penolakan Barirah mengakibatkan putusnya ikatan pernikahan. Kalaupun dia kembali pernikahannya akan tetap sah.
Apakah orang yang asalnya seorang budak lalu dimerdekakan sekufu dengan orang yang merdeka? Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat.
Hanafiyah dan Syafi`iyah mensyaratkan asalnya harus merdeka. Contoh, siapa yang orang tuanya budak maka dia tidak sekufu dengan yang aslinya merdeka.
Hanabillah mengatakan semua budak yang telah merdeka se- kafâ`ah dengan orang yang asalnya merdeka.
Malikiyah mengatakan bahwa merdeka bukan termasuk bagian kafâ`ah. Seorang budak sekufu dengan orang merdeka. Pendapat yang paling kuat adalah merdeka termasuk bagian kafâ`ah.
Pekerjaan
Maksud dari pekerjaan adalah usaha yang dilakukan guna mencukupi kebutuhan harian. Menurut
jumhur selain Malikiyah, pekerjaan merupakan bagian dari kafâ`ah. Oleh karena itu pekerjaan seorang suami harus sama atau paling tidak mendekati pekerjaan keluarga istri. Namun jika perbedaannya terlalu jauh, maka mereka tidak sekufu.
Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa pekerjaan tidak termasuk bagian kafâ`ah, karena pekerjaan bukan termasuk sesuatu yang bisa mengurangi nilai agama seseorang, ibarat harta yang tidak akan abadi.
Harta
Harta di sini adalah kemampuan untuk memberikan mahar ataupun nafkah kepada istrinya. Standarnya bukanlah kekayaan, akan tetapi hanya kesanggupan dalam memberikan nafkah kepada istri. Oleh sebab itu, orang yang mengalami kesulitan ekonomi tidak sekufu dengan orang yang memiliki ekonomi yang kuat.
Berikut ini paparan berbagai pendapat ulama dalam masalah harta:
Hanafiyah dan Hanabillah berpendapat, kesanggupan dari segi ekonomi merupakan bagian kafâ`ah. Mereka beralasan, karena hal demikian akan berdampak terhadap nafkah yang harus diberikan pada istrinya. Rasulullah bersabda ketika Fatimah binti Qaisy bertanya padanya tentang khitbahan Mu'awiyah terhadapnya: "Adapun Mu'awiyah, dia laki-laki yang miskin. Tidak ada harta yang akan dinafkahkannya".
Sebagian pendapat mengatakan bahwa yang menjadi standar bukan harta, tapi pekerjaan yang bisa menghasilkan harta tersebut, bukan harta itu sendiri.
Adapun Syafi`iyah dan Malikiyah tidak menjadikan kesanggupan dari segi ekonomi bagian dari kafâ`ah. Hal ini dikarenakan harta tidak abadi dan keadaan mungkin saja berubah dari yang sebelumnya berpunya menjadi miskin. Selain itu bukankah Allah telah menjanjikan bagi siapa yang menikah untuk menjaga dirinya, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya. Allah Swt. berfirman:"Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya". (QS. an-Nûr: 32)
Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas menjelaskan bahwa keadaan seseorang itu akan berubah. Walaupun dia miskin, kemudian menikah dengan tujuan mecari ridla Allah maka dari setiap usaha yang dia lakukan merupakan mata rezeki yang akan merubah kehidupannya. Mungkin saja awal pernikahan serba kekurangan, namun berkat keyakinan pada Allah, Allah menjadikan keluarganya serba berkecukupan. Oleh sebab itu yang dibutuhkan adalah kesungguhan dalam berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Pendapat Syafi'iyah dan Malikiyah merupakan pendapat yang terkuat dari pendapat yang ada, sebab harta tidaklah abadi. Begitupun rezeki bergantung pada usaha yang dilakukan seseorang.
Selamat dari Aib dan Cacat
Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini; apakah ia termasuk dalam standar kafâ`ah atau bukan? Syafi'iyah dan Malikiyah mengatakan, selamat dari aib merupakan salah satu bagian kafâ'ah. Siapa yang mempunyai aib tetap seperti kusta, lepra, dan gila, tidak sekufu dengan wanita yang sehat.
Hanafiyah dan Hanabillah mengatakan, selamat dari aib bukanlah bagian kafâ'ah. Selain itu, apabila datang seorang yang memiliki aib, maka yang berhak menolaknya adalah anak bukan wali. Hal ini dikarenakan anak yang akan berinteraksi lansung dengan pasangan hidupnya untuk selamanya. Oleh sebab itu orang yang memiliki penyakit seperti kusta, lepra, dan gila, tidak bisa menikah dengan orang yang sehat. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkuat.
Jika cacat itu tidak tetap, seperti bisu, buruk rupa dan lain sebagainya, dia bisa dikatakan sekufu dengan orang yang sehat.
Tingkat Pendidikan
Kalau dilihat dalam kitab-kitab fikih klasik, belum ditemukan pembahasan tentang kesetaraan dalam pendidikan. Mungkin hal ini tergantung pada zamannya dimana zaman dahulu jarang sekali kita temukan wanita yang menduduki ranting tinggi dalam bidang pendidikan. Apabila kita perhatikan zaman sekarang, hal tersebut bukanlah suatu yang mustahil, karena telah banyak kita temukan wanita-wanita yang berkecimpung dalam bidang pendidikan bahkan bisa lebih tinggi dari laki-laki. Melihat realita yang demikian, penulis kira perlu mengangkatkan permasalahan ini dalam makalah ini.
Merupakan hal yang makruf bahwa suami adalah pemimpin bagi istri dan keluarganya. Syarat seorang pemimpin adalah harus memiliki kapabelitas dari yang dipimpinnya. Bagaimana dia akan memimpin rumah tangganya jika dia tidak memiliki pengetahuan? Permasalahan akan semakin rumit apabila suami tidak memiliki pengetahuan sedangkan istrinya jauh berada di atasnya, seperti seorang dosen atau perdana menteri.
Oleh karena itu, selain standar kafâ`ah yang telah disebutkan di atas, perempuan dan walinya harus memperhatikan hal lain yaitu strata pendidikan calon suami. Di sini penulis menekankan bahwa suami tidak harus lebih tinggi dari istrinya, tapi sekurang-kurangnya dia memiliki pengetahuan sehingga tidak merasa minder di depan istrinya begitu juga anak-anaknya nanti.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Kafâ’ah secara etimologi berarti kesamaan atau kesepadanan (pada tingkat atau level yang sama) . Allah Swt. berfirman: “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya”. (QS. al-Ikhlâs: 4) Secara terminologi kafâ’ah adalah kesamaan atau kesepadanan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.
Baca: Pengertian Kafa'ah Dan Apakah masuk Syariat ?
Agama
Yang dimaksud agama di sini adalah tingkat ketakwaan dan keshalehan. Muslimah yang shalehah tidak sekufu dengan laki-laki fasik atau yang suka berbuat dosa. Apabila seorang laki-laki menipu seorang perempuan bahwa dia adalah orang yang shaleh, kemudian hal tersebut diketahui setelah pernikahan, maka perempuan tersebut dengan walinya berhak untuk membatalkan pernikahan. Ini adalah pendapat jumhur.
Adapun menurut Imam Muhammad bin Hasan (sahabat Imam Hanafi), agama (ketakwaan dan keshalehan) tidak termasuk bagian dari kafâ`ah, karena hal ini merupakan urusan akhirat sedangkan kafâ`ah merupakan urusan dunia. Abu Yusuf berpendapat, apabila seseorang sudah terkenal kefasikannya, maka dia tidak sekufu dengan muslimah yang baik-baik. Apabila tidak kelihatan, maka dia bisa dikatakan sekufu dengan perempuan tersebut. Dalam al-Qur'an disebutkan: "Maka apakah orang yang beriman seperti orang fasik (kafir)? Mereka tidak sama". (QS. as-Sajadah:18)
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa agama merupakan bagian yang menentukan apakah seseorang itu dikatakan memiliki kafâ`ah. Alasan orang yang menyatakan bahwa agama merupakan urusan akhirat dan kafâ`ah merupakan urusan dunia tidak terlalu berpengaruh, karena selama ada dalil yang menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kafâ`ah, apa salahnya.
Nasab (Keturunan)
Nasab adalah hubungan silsilah keturunan dari bapak dan kakek. Nasab seorang anak dilihat dari
kedudukan bapaknya. Berbeda dengan anak angkat dan seorang budak, mereka tidak diketahui nasabnya.
Apakah nasab merupakan standar kafâ'ah? Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat. Jumhur berpendapat bahwa nasab merupakan standar kafâ'af . Dalam kitab Hidâyah, fiqih Hanafiyah disebutkan, nasab hanya ditekankan dalam pernikahan bangsa Arab. Hal ini dikarenakan mereka sangat menjaga nasab. Bagi mereka nasab bisa mengangkat derajat dan kehormatan. Berbeda dengan bangsa lain yang tidak terlalu fanatik dengan nasab dan juga tidak saling membanggakannya. Mereka lebih cenderung mempertimbangkan huriyah (merdeka) dan agama Islam. Dalam Hadis disebutkan: Rasulullah Saw. bersabda: "Bangsa Quraisy sekufu dengan bangsa mereka. Bangsa Arab sekufu dengan bangsa mereka. Setiap kabilah sekufu dengan kabilahnya".
Huriyah (Merdeka)
Merdeka merupakan standar kâfa`ah, karena aib yang terdapat pada hamba lebih buruk dari aib pada keturunan (nasab). Dengan demikian, seorang hamba tidak bisa dikatakan sekufu dengan orang yang merdeka.
Rasulullah Saw. memilih Barirah setelah dia dimerdekakan, karena sebelumnya dia bersuamikan hamba. Jika dalam memilih pasangan ada seorang budak dan yang lainnya merdeka, maka utamakanlah yang merdeka. Hal ini dikarenakan hamba mempunyai banyak kekurangan selain itu dia harus mengabdi pada majikannya. Namun jika seseorang memilih budak, pernikahannya tetap sah.
Rasulullah Saw. bersabda kepada Barirah: "Jika kamu suka maka kamu boleh kembali kepadanya (suaminya). Kemudian Bariroh berkata: "Wahai Rasulallah apakah engkau menyuruhku? Rasulullah berkata: "Sesungguhya aku hanya menawarkan". Lalu Barirah menjawab: "Tidak, aku menolaknya". ( HR. Bukhari dan Muslim)
Wajhu al-Dilâlah
Hadis ini menjelaskan, seandainya Barirah ingin kembali pada suaminya yang lama maka itu boleh. Akan tetapi Barirah menolak untuk kembali. Oleh sebab itu penolakan Barirah mengakibatkan putusnya ikatan pernikahan. Kalaupun dia kembali pernikahannya akan tetap sah.
Apakah orang yang asalnya seorang budak lalu dimerdekakan sekufu dengan orang yang merdeka? Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat.
Hanafiyah dan Syafi`iyah mensyaratkan asalnya harus merdeka. Contoh, siapa yang orang tuanya budak maka dia tidak sekufu dengan yang aslinya merdeka.
Hanabillah mengatakan semua budak yang telah merdeka se- kafâ`ah dengan orang yang asalnya merdeka.
Malikiyah mengatakan bahwa merdeka bukan termasuk bagian kafâ`ah. Seorang budak sekufu dengan orang merdeka. Pendapat yang paling kuat adalah merdeka termasuk bagian kafâ`ah.
Pekerjaan
Maksud dari pekerjaan adalah usaha yang dilakukan guna mencukupi kebutuhan harian. Menurut
jumhur selain Malikiyah, pekerjaan merupakan bagian dari kafâ`ah. Oleh karena itu pekerjaan seorang suami harus sama atau paling tidak mendekati pekerjaan keluarga istri. Namun jika perbedaannya terlalu jauh, maka mereka tidak sekufu.
Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa pekerjaan tidak termasuk bagian kafâ`ah, karena pekerjaan bukan termasuk sesuatu yang bisa mengurangi nilai agama seseorang, ibarat harta yang tidak akan abadi.
Harta
Harta di sini adalah kemampuan untuk memberikan mahar ataupun nafkah kepada istrinya. Standarnya bukanlah kekayaan, akan tetapi hanya kesanggupan dalam memberikan nafkah kepada istri. Oleh sebab itu, orang yang mengalami kesulitan ekonomi tidak sekufu dengan orang yang memiliki ekonomi yang kuat.
Berikut ini paparan berbagai pendapat ulama dalam masalah harta:
Hanafiyah dan Hanabillah berpendapat, kesanggupan dari segi ekonomi merupakan bagian kafâ`ah. Mereka beralasan, karena hal demikian akan berdampak terhadap nafkah yang harus diberikan pada istrinya. Rasulullah bersabda ketika Fatimah binti Qaisy bertanya padanya tentang khitbahan Mu'awiyah terhadapnya: "Adapun Mu'awiyah, dia laki-laki yang miskin. Tidak ada harta yang akan dinafkahkannya".
Sebagian pendapat mengatakan bahwa yang menjadi standar bukan harta, tapi pekerjaan yang bisa menghasilkan harta tersebut, bukan harta itu sendiri.
Adapun Syafi`iyah dan Malikiyah tidak menjadikan kesanggupan dari segi ekonomi bagian dari kafâ`ah. Hal ini dikarenakan harta tidak abadi dan keadaan mungkin saja berubah dari yang sebelumnya berpunya menjadi miskin. Selain itu bukankah Allah telah menjanjikan bagi siapa yang menikah untuk menjaga dirinya, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya. Allah Swt. berfirman:"Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya". (QS. an-Nûr: 32)
Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas menjelaskan bahwa keadaan seseorang itu akan berubah. Walaupun dia miskin, kemudian menikah dengan tujuan mecari ridla Allah maka dari setiap usaha yang dia lakukan merupakan mata rezeki yang akan merubah kehidupannya. Mungkin saja awal pernikahan serba kekurangan, namun berkat keyakinan pada Allah, Allah menjadikan keluarganya serba berkecukupan. Oleh sebab itu yang dibutuhkan adalah kesungguhan dalam berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Pendapat Syafi'iyah dan Malikiyah merupakan pendapat yang terkuat dari pendapat yang ada, sebab harta tidaklah abadi. Begitupun rezeki bergantung pada usaha yang dilakukan seseorang.
Selamat dari Aib dan Cacat
Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini; apakah ia termasuk dalam standar kafâ`ah atau bukan? Syafi'iyah dan Malikiyah mengatakan, selamat dari aib merupakan salah satu bagian kafâ'ah. Siapa yang mempunyai aib tetap seperti kusta, lepra, dan gila, tidak sekufu dengan wanita yang sehat.
Hanafiyah dan Hanabillah mengatakan, selamat dari aib bukanlah bagian kafâ'ah. Selain itu, apabila datang seorang yang memiliki aib, maka yang berhak menolaknya adalah anak bukan wali. Hal ini dikarenakan anak yang akan berinteraksi lansung dengan pasangan hidupnya untuk selamanya. Oleh sebab itu orang yang memiliki penyakit seperti kusta, lepra, dan gila, tidak bisa menikah dengan orang yang sehat. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkuat.
Jika cacat itu tidak tetap, seperti bisu, buruk rupa dan lain sebagainya, dia bisa dikatakan sekufu dengan orang yang sehat.
Tingkat Pendidikan
Kalau dilihat dalam kitab-kitab fikih klasik, belum ditemukan pembahasan tentang kesetaraan dalam pendidikan. Mungkin hal ini tergantung pada zamannya dimana zaman dahulu jarang sekali kita temukan wanita yang menduduki ranting tinggi dalam bidang pendidikan. Apabila kita perhatikan zaman sekarang, hal tersebut bukanlah suatu yang mustahil, karena telah banyak kita temukan wanita-wanita yang berkecimpung dalam bidang pendidikan bahkan bisa lebih tinggi dari laki-laki. Melihat realita yang demikian, penulis kira perlu mengangkatkan permasalahan ini dalam makalah ini.
Merupakan hal yang makruf bahwa suami adalah pemimpin bagi istri dan keluarganya. Syarat seorang pemimpin adalah harus memiliki kapabelitas dari yang dipimpinnya. Bagaimana dia akan memimpin rumah tangganya jika dia tidak memiliki pengetahuan? Permasalahan akan semakin rumit apabila suami tidak memiliki pengetahuan sedangkan istrinya jauh berada di atasnya, seperti seorang dosen atau perdana menteri.
Oleh karena itu, selain standar kafâ`ah yang telah disebutkan di atas, perempuan dan walinya harus memperhatikan hal lain yaitu strata pendidikan calon suami. Di sini penulis menekankan bahwa suami tidak harus lebih tinggi dari istrinya, tapi sekurang-kurangnya dia memiliki pengetahuan sehingga tidak merasa minder di depan istrinya begitu juga anak-anaknya nanti.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :