PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

KEBEBASAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT


Dr. Imad Hoseen Muhammad

Direktur Islamonline.com – Kantor Perwakilan Kairo

Berbicara mengenai kebebasan berpikir dan berlanjut pada kebebasan berekspresi, apakah dalam Islam ditemukan landasan atau dalil mengenai hal tersebut?

Islam tidak membatasi manusia dalam berpikir, mengutarakan pendapat dan ekspresinya. Tapi, hampir tidak ditemukan kebebasan mutlak dalam kehidupan ini. Baik dalam Islam, agama lain maupun ketentuan-ketentuan yang berlaku di belahan dunia manapun. Dalam artian, ketika seorang mengatakan semua ini adalah kebebasan dan kehendak menurut-ku. Kesepakatan sosial dalam masyarakat akan secara bersama-sama menentang suatu tindakan yang sudah mencapai titik yang mengancam. Maka dibutuhkan standar-standar yang baku, terutama ketika menyangkut titik-titik rawan tersebut. Semua komonitas pasti ingin selamat dari mara bahaya yanga mengancam komunitasnya. Contoh nyatanya, adalah dipenjarakannya seorang sejarawan. Ditemukan bahwa dalam penelitian sejarahnya berbeda pendapat dengan para sejarawan lain mengenai peristiwa Holocaust. Holocaust adalah pembantaian yang dilakukan oleh rezim Nazi terhadap kaum Yahudi di Jerman. Ini mencerminkan bahwa tidak adanya kebebasan dalam berpendapat. Meskipun pendapat tersebut bernilai ilmiah sekalipun.

Beberapa waktu sebelumnya, dikantor ini kami berdialog dengan seorang pejabat kementrian luar negeri Swiss dan seorang berkebangsaan Perancis. Kami berbicara mengenai kebebasan yang berlaku di Eropa, terutama kita kaitkan dengan seputar kejadian Holocaust tersebut. Kita sampaikan kepada mereka, kebebasan tidak sepenuhnya berlaku di sana, seperti kasus dipenjarakannya sejarawan tadi. Dalam peristiwa tersebut, kita tidak memungkiri kaum Yahudi yang menjadi korban. Tetapi yang tampak janggal adalah ketika jumlah korban yang diberitakan mencapai 6 juta jiwa. Suatu jumlah yang mustahil dan sepertinya dibuat-buat. Ada suatu unsur kesengajaan pembesaran di sini. Padahal ada kelompok lain selain Yahudi yang juga menjadi korban, walau tidak sebanyak korban kaum Yahudi. Dan kelompok tersebut sampai sekarang menjadi kelompok terlarang yang berkembang. Kenapa yang dibesarkan hanya Yahudi saja? Sebab Yahudi ingin memanfaatkan peristiwa tersebut untuk menarik perhatian dunia agar mendatangkan banyak simpati dan menambah kekuatan mereka. Kekuatan inilah yang menekan banyak kalangan yang ingin meluruskan dan mengungkap peristiwa sebenarnya. Akhirnya, jaminan kebebasan hanya dipegang dan dikuasai oleh kelompok ini. Jelasnya, tidak akan ditemukan kebebasan mutlak. Baik itu di dunia Muslim maupun perdaban Barat. Ada semacam peraturan yang berlaku di wilayah-wilayah tersebut.



Lalu semacam apakah batasan-batasan tersebut, terutama berkaitan dengan apa yang telah digariskan oleh syariat Islam itu sendiri?

Oke. Pertanyaan besar yang dilemparkan dan dikembangkan di tengah-tengah masyarakat–baik itu di Timur Tengah, Eropa, Asia atau Amerika–adalah apakah batasan-batasan kebebasan itu? Pertanyaan ini memang peting dan masuk akal. Tapi hakikatnya sangat berbahaya. Sebab akan melaju dan berlanjut menjadi pengantar pertanyaan akan kebebasan merubah dan menafsirkan agama. Hingga sampai kebebasan mengotak-atik nilai-nilai yang sudah permanen (tsawâbit). Target jauhnya adalah memurtadkan seseorang dari agamanya. Tidak pandang itu agama apa. Dari kebebasan berpikir tersebut, beranjak kepada kebebasan berkeyakinan. Dan inilah yang sedang mengancam kita, baik itu dari kalangan cendikiawan kita ataupun orang-orang awam. Maka jangan mengambil atau mencerna sesuatu hanya sebagian saja. Ada anggapan bahwa kebebasan berekspresi pada masyarakat Muslim tertutup, tapi tentunya ada nilai-nilai yang membatasi agar manusia tahu wilayah-wilayah yang tidak mungkin bisa disentuh lagi. Islam memberikan cakupan ketentuan-ketentuan dan kebebasan kepada manusia. Sejak zaman Nabi saw. beliau tidak meninggalkan kepada kita suatu pilihan untuk berekspresi ataupun tidak berekspresi. Tapi membuka pintu selebar-lebarnya dalam perkara ini, agar manusia dapat mengekspresikan apa yang diyakininya asal itu benar. Maka bisa kita lihat, ketika selesai penerjemahan filsafat Yunani ke dalam Islam, ulama tidak membiarkan begitu saja diterjemahkan kemudian selesai perkara, akan tetapi dikritisi sedemikian rupa, sebab menyangkut nilai-nilai penting yang berhubungan dengan teologi, rasionalisme, maupun metafisika. Seperti penyaringan yang dilakukan oleh Qadhi Abul Hasan al-Asy’ari dengan kitabnya Maqâlât al-Islâmiyyîn. Apa yang ditulisnya sama sekali tidak bertentangan dengan apa-apa yang datang dari alam filsafat Yunani tersebut, yaitu memilah dan mengkritisi jika bertantangan dengan nilai-nilai Islam. Dan kita tidak akan menemukan benruk penghinaan ataupun memberikan stigma negatif kepada individu yang ia bahas dan kritisi. Para filosof Yunani pun mengatakan bahwa inilah yang dinamakan struktur episteme pemikiran Islam. Menyimpulkan dari hal diatas, terkesan tidak ada perdebatan hingga mencapai rasa permusuhan yang dalam di kalangan filosof Yunani maupun ulama Islam. Berdebat yang baik adalah seperti apa yang dicontohkan Ahamad Deedat, terutama dalam mendebat alam keyakinan kaum Nasrani. Seperti itu pula yang dilakukan Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimiyah. Kritik mereka terhadap kaum Nasrani bukan memakai cara kontak langsung di jalanan dengan menemui orang awam dari kalangan Nasrani, tapi mereka berdebat dengan para pemuka dan cendikiawan di kalangan mereka. Dan dengan rumusan-rumusan yang harus dipegangi, tidak sampai menghina dan mencela mereka.

Seperti apa yang saya ajarkan di kelas, ketika membicarakan seorang filosof India yang bermadzhab “Las’i”, yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun di alam ini. Yang ada hanyalah khayalan dan mimpi-mimpi belaka. Tidak ada yang hakiki di dunia ini. Lalu saya ceritakan, ada seseorang yang berdebat dengan sang filosof ini dan hampir berjalan selama tiga hari. Pada hari yang ketiga, sang pendebat mengajak filosof tersebut untuk keluar rumah. Di depan rumah, mereka menemukan seekor anjing yang galak dan tiba-tiba menerkam sang filosof.

Sang pendebat pun mengatakan, “Anda tidak percaya kepada sesuatu apapun, tapi mengapa Anda takut dengan anjing yang menyalak ini?”

Filosof menjawab, “Ini bukanlah sesuatu.”

“Tetapi mengapa Anda merasa takut?” Si pendebat bertanya lagi.

Akhirnya sang filosof mengakui kebenaran yang ada di depan matanya. Disini kita bisa menarik pelajaran, bahwa logika yang dipakai oleh sang pendebat tidak sedikitpun menyakiti ataupun menghina sang filosof. Di sini pula, kebebasan berpikir telah dipraktekkan oleh sang filosof sendiri dalam kehidupannya. Demikian pula menjadi sesuatu yang mungkin, seseorang berhak memilih paham komunis atheis sebagai pegangan hidupnya. Semua ini mungkin terjadi dalam kondisi sosio-masyarakat sang filosof tadi. Sebaliknya, itu semua tidak akan terjadi di masyarakat Muslim. Yang menjadi masalah lagi, batasan-batasan itu sampai mana? Jawabannya adalah ketika kebebasan itu sudah menyentuh nilai-nilai yang merusak tatanan dalam struktur masyarakat atau bukti kecil–merugikan yang lain. Kongkritnya, ketika seseorang dengan prinsip kebebasannya telah sampai pada tindakan merusak hak pribadi, pencemaran nama baik (isyâ`ah) dan harga diri orang lain. Islam tidak bermusuhan dan menjelekkan orang-orang Kristen, seperti di jalanan umum berteriak menghina secara langsung. Seperti dalam sejarah ketika tentara al-Hakim bi`lLah menguasai kota Kairo, orang-orang Kristen diberikan kebebasan menjalankan agamanya.

Tapi lihatlah, ketika orang Kristen menyerang Palestina, umat Islam tidak di berikan sedikitpun ruang gerak bagi kebebasan menjalankan syariatnya. Maka, Islam membuka selebar-lebarnya pintu kebebasan tersebut, tapi tetap dalam koridor. Jangan sampai merusak hak dan privasi orang lain.

Bagaimana jika kebebasan itu berhubungan dengan hukum syariat yang memang ada wilayah-wilayah tertentu bagi para mujtahid untuk bekerja di dalamnya?
Jika kita berbicara mengenai hukum syariat berkaitan dengan hal ini, bukanlah pertanyaan yang baru, tapi menjadi baru bersama dengan lajunya perkembangan pemikiran Islam khususnya di belahan dunia Arab. Apa itu syariat? Apakah ia sekedar masalah-masalah yang disepakati oleh para fuqaha ataukah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.? Al-Qur`an dan Hadis adalah penjaga atau batas-batas dalam segala hal yang kita lakukan di dunia ini. Tugas para fuqaha adalah berinteraksi dengan nash-nash tersebut. Baru di sana akan muncul perbedaan-perbedaan pemahaman. Tetapi, jika Anda ingin menggeluti bidang tersebut, Anda harus ahli dalam bidangnya. Dalam salah satu korespodensi internet, tersebar wacana bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Pertanyaannya, siapakah yang menutup pintu itu? Seperti ada orang yang mempunyai kunci tersebut, lalu menutup pintu dan menguncinya; membiarkannya begitu saja, sehingga orang tidak bisa membukanya. Pintu ijtihad tentu akan tetap terbuka dan relevan, tapi tentu bagi mereka yang ahlinya. Imam Suyuthi mempunyai kitab dalam hal ini; ‘al-Radd ‘alâ Man Dâ`a bi Ighlâli Bâb al-Ijtihâd’. Menjadi keniscayaan, jika Anda memasuki lingkungan baru dan ingin hidup di dalamnya, tentu saja Anda harus menguasai seluk-beluk lingkungan tersebut. Jika Anda ingin terbang, Anda harus tahu cara mengoperasikan pesawat terbang tersebut. Kita harus menguasai ilmu teknik pesawat tersebut. Maka, jika Anda ingin memasuki ranah syariat, Anda harus mengetahui rambu-rambu apa saja yang ada dalam ranah tersebut. Harus mengetahui manhaj berjalan di dalamnya. Ini syarat untuk seluruh cabang ilmu pengetahuan. Dalam dunia kedokteran, kita tidak bisa sembarangan mengobati penyakit si pasien. Pertanyaannya, bagaimana bisa seorang yang tidak cendikia dan ahli bisa begitu saja menguasai Kitabu`lLah; membuka dan menafsirkannya. Si pasien malah akan meninggal jika yang sakit paru-parunya, malah yang dicangkok jantungnya. Jika ada orang yang berani menafsirkan al-Qur`an dan dia bukan seorang spesialis al-Qur`an, maka yang akan terjadi adalah rasionalitas belaka.

Meski agama menganjurkan menggunakan akal, tapi kalau ini tidak sesuai dengan tempatnya. Syariat adalah seperti ilmu-ilmu lainnya, butuh landasan penting dalam menggelutinya. Oleh karena itu, para mujtahid-lah yang sesuai bekerja di wilayah ini. Tidak semua orang bisa memasukinya, Islam tidak mengajarkan kita untuk ber-taqlid dan mensucikan perkataan seseorang. Nabi Muhammad saw. dalam Islam pun tidak boleh kita sucikan perkataannya secara berlebihan sebagaimana yang terjadi pada agama Nasrani dan Hindu. Kita hanya diperintahkan meneladani dan menghormatinya. Kita tidak mensucikan manusia. Kesucian hanya milik Allah swt..

Jika kita telah menggeluti nash-nash itu, dan Anda punya kritik, lalu menolaknya, maka lakukanlah. Contohnya adalah ketika Imam Abu Hanifah menolak beberapa hadis dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Dengan catatan, harus diteliti dahulu asbabu`l wurud nash tersebut. Contoh lain adalah ketika Imam Malik membolehkan memakan daging anjing dan ini sangat masyhur di kalangan madzhab Maliki, akan tetapi dia mempunyai landasan ketika memahami ayat yang berhubungan dengan perkara tersebut. Dan para ulama madzhab lainnya berhak berbeda pendapat dengan Imam Malik. Semua ulama tersebut hanya menghasilkan suatu perkataan sebagai sebuah kesimpulan. Tidak mengatakan inilah yang paling sahih atau benar.

Jika kita melihat ke Barat, ada statemen yang dikeluarkan oleh salah seorang dari mereka bahwa negara-negara kami (Barat), kebebasan mutlak terlaksana dengan baik dalam semua lini kehidupan. Mulai dari ekonomi yang menganut sistem kapitalis-liberalis, hingga ranah keagamaan yang menganut pluralisme, bahkan atheisme. Dan tidak ada masalah, semua itu membawa kepada kemajuan. Apakah statemen ini bisa dibenarkan, dan bagaimana posisi Islam dalam hal ini?

Statemen tersebut tidak benar! Posisi mereka dalam hal ini adalah mutlak pada sebagian dan tidak pada sebagian yang lain. Demikian Anda bisa lihat, tidak mungkin mereka membiarkan suatu tindakan yang akan menghancurkan keberadaan suatu komunitas. Orang tersebut mengatakan, terdapat kebebasan mutlak dalam kehidupan ekonomi kami. Tapi lihat, jika Anda yang berkapasitas seorang pengamat ekonomi datang ke Bank Nasional Inggris untuk memeriksa seluruh peredaran uang; termasuk siapa yang memiliki rekening di bank tersebut, apa yang terjadi? Pemertintah Inggris dalam hal ini tidak akan mungkin membiarkan Anda, sebab itu berhubungan dengan situasi ekonomi nasional. Maka masalahnya bukan kebebasan mutlak. Tentu jika kita berbicara mengenai satu kondisi bagian dunia ini–seperti Eropa–ada peraturan-peraturan yang berjalan dan harus kita ketahui di sana. Pada wilayah politik, baru-baru ini kita mendengar tentang masalah yang tengah dihadapi oleh Perdana Menteri Inggris–Tony Blair–mengenai dana kampanye yang digunakan oleh partainya. Dana kampanye tesebut diberitakan tidak diperoleh dari partainya, tetapi dia memanfaatkan posisinya sebagai perdana menteri saat itu untuk memperbesar dana bagi partainya dengan mengambil uang dari kas pemerintah. Dan ini bertentangn dengan hukum yang berlaku. Maka di sana ada peraturan atau undang-undang yang berlaku dan mengatur. Di Amerika, kita bisa melihat hal serupa pada kasus Watergate yang menimpa dan menggulingkan Kennedy, berkat semacam pengawasan yang dilakukan oleh pihak pengawas kampanye, skandal tersebut bisa dibongkar. Tetapi masalah datang ketika kebebasan yang meraka anut membawa mereka kepada sekularisme dan liberalisme dalam segala lini kehidupan. Dan inilah yang harus kita bedakan dengan cara pandang kebebasan yang ada pada kita. Oleh karena itu, kita harus mengerti bagaimana cara berpikir Barat. Kadang kita menganggap bahwa pada mereka terlaksana kebebasan mutlak yang akan membawa kemajuan di segala bidang. Mereka menebar ini kepada kita, tetapi tidal pada kalangan mereka. Dalam artian, misal dengan apa yang telah dilakukan tentara Amerika di penjara Abu Gharib di Irak. Mereka menyiksa dan menganiaya dengan bentuk siksa yang sedemikian rupa. Dan cara-cara tersebut tidak mungkin mereka lakukan di dalam negeri mereka sendiri.

Ada sebuah cara pandang yang bagus dalam hal ini, seperti yang dipaparkan oleh seorang pemikir kiri Mesir–yaitu Dr. Samir Amin. Ungkapannya, “Ada semacam ujian besar bagi proses demokrasi dan liberalisasi yang sedang berjalan di Barat. Mereka kasar dan tidak melihat proses yang mereka jalani dalam hal tersebut.” Maka jika Anda ingin melihat proses demokratisasi dan liberalisasi–Amerika misalnya–maka coba lihat dengan apa yang mereka lakukan di negara-negara Amerika Latin. Atau tidak jauh-jauh dengan apa yang terjadi di Irak sekarang (baca: tahun 2003). Jika Anda ingin melihat dan menguji nilai demokrasi dan kebebasan yang didengungkan oleh Perancis, lihat dengan apa yang mereka lakukan di negara-negara Afrika; Aljazair atau Mesir secara lebih dekat. Selanjutnya, Anda jangan langsung melihat apa yang sedang berjalan di negara mereka sendiri, tapi Anda melihat pada sisi luar proses yang mereka jalankan. Seolah-olah kita melihat ke dalam wilayah mereka, kita akan menemukan semacam tata ruang kota yang bersih. Padahal kenyataan sebenarnya adalah tempat pembuangan sampah. Inilah masalah yang kita hadapi, jika kita berbicara tentang Barat dari berbagai aspeknya. Masalah terbesar adalah kita tidak mengetahui cara berpikir mereka secara objektif. Mereka berpikir menggunakan dua analisa wilayah. Salah satunya lewat sisi kemanusiaan yang mereka tonjolkan dan agungkan. Sebab, manusia bagi mereka adalah satu-satunya jembatan untuk mencapai sesuatu. Coba Anda melihat ketika para pendeta dan para tokoh merke membicarakan tentang kesatuan nasional atau tentang toleransi beragama. Mereka optimis, manusia sangat berperan dalam hal ini. Berbeda dengan kita yang memiliki cara pandang bahwa manusia adalah mukallaf, yakni hidup di bawah hukum dan peraturan-Nya. Kesimpulannya jelas, bahwa pandangan hidup (worldview) kita berbeda dengan mereka. Manusia menurut mereka adalah tujuan akhir. Apa yang tidak sesuai dengan hawa nafsu dan kehendaknya, tidak akan mereka pilih dan terapkan dalam kehidupan mereka. Berbeda dengan kita, dalam berbagai lapangan kehidupan, baik itu berkaitan dengan tujuan hidup kita sendiri, pengelolaan harta kekayaan, hingga perkembangan kehidupan peradaban (al-‘umrân) yang kita cita-citakan. Semua berkaitan dengan kehendak Allah swt.. Dalam hal ini terdapat perbedaan yang mendasar. Dan mungkin saja, dalam pandangan mereka; anjing berhak mendapatkan warisan harta kekayaan. Sebab seseorang bebas saja menulis surat wasiatnya untuk memasukan anjing dalam draft wasiatnya. Dan dia beralasan bahwa ini adalah haknya, tidak menyakiti hak siapa pun. Pada lingkungan kita, inilah yang dinamakan dengan safâhah (ketololan) dan pemubadziran. Seorang Muslim tidak bisa bebas berkata ini adalah harta benda milik-ku pribadi. Sebab harta benda menurut Islam adalah titipan Allah swt.. Mendapat dan mengelolanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Karena manusia adalah khalifah Allah swt. di muka bumi ini, yang bertugas untuk memakmurkannya.

Oleh karena itu, kebebasan di dunia Barat tidak terbuka dengan selebar-lebarnya. Terbuka jika itu sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka. Terbuka selama tidak menyentuh hal-hal yang menurut akal mereka tidak membahayakannya. Demikian ukurannya. Maka wajar seorang laki-laki menikah dengan lelaki sejenisnya (homo-seksual), sebab menurut mereka tidak ada masalah dengan pernikahan tersebut. Maka wajar jika gereja (institusi agama) di Barat tidak punya harga diri dan kekuatan yang lebih, sebab orang bebas mengkritik dan menghinaya. Orang mewariskan harta kepada anjing tidak ada masalah, sebab tidak menyakiti hak orang lain. Wajar pula misalnya, ketika memonopoli peredaran barang dan uang di sebuah pasar, mengatakan bahwa itu hak pribadi saya. Saya punya uang dan kekuasaan pendukung untuk melakukan itu. Dan ini adalah kebebasan di pasar ekonomi. Saya memanfaatkan dan menjual badan orang tua saya yang lemah dan sekarat ke rumah sakit untuk dijadikan bahan percobaan, itu hak saya. Bila kita cermati, masalah datang dari lubuk terdalam pada lingkup masyarakat Barat. Misalnya, jika masyarakat Barat melihat apa yang dilakukan sesorang, dan itu jelek dan abnormal, mereka tetap menghormatinya bahwa yang demikian itu merupakan hak dia untuk berekspresi. Kecuali jika kebebasan itu sudah mengancam keamanan dan masalah umum, baru segera meresponnya. Maka seperti yang saya katakan di atas, kita memiliki cara berpikir berbeda dengan mereka.

Beberapa waktu yang lalu, umat Islam digemparkan dengan karikatur yang menggambarkan perhinaan terhadap Nabi Muhammad saw. oleh Koran Harian Denmark–Jyllands-Posten. Ketika mengeluarkan kartun tersebut, mereka beralasan ini adalah bagian dari kebebasan berekspresi dari pers kita. Bagaimana sikap Anda terhadap permasalahan dan argumen mereka ini?


Menyikapi hal ini, kesalahan datang dari dua sisi. Pertama, dari kita, umat Islam sendiri. Dan kedua, dari mereka. Kenapa? Sebab sebelumnya kita hanya diam saja melihat mereka mengolok-olok dan menghina Nabi Isa as. dalam berbagai film dan beberapa penggambaran dan pertunjukan yang mereka adakan. Seperti film terbaru yang disutradarai oleh Mel Gibson, yaitu ‘The Passion of Christ’. Padahal Nabi Isa as. adalah seorang nabi yang kita imani keberadaannya dan kia anggap sebagai bagian dari nabi yang diutus Allah swt.. Bahkan mereka menganggapnya anak Tuhan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Kita juga diam ketika mereka menghina gereja dan bahkan menghina kitab suci mereka. Kebebasan yang mereka praktekkan bahkan sampai mengobrak-abrik agama dan kitab suci mereka. Lalu perkara berlanjut kepada Rasulullah saw.. Maka kita harus melihat secara dalam sebab timbulnya perkara ini. Ada apa di balik semua ini? Kita tidak membicarakan berbagai dialog yang telah terjadi, semisal beberapa waktu yang lalu seorang ulama yang menjadi narasumber website kami berdialog dengan seorang pendeta Amerika yang sangat diakui di dunia kristenisasi. Apapun yang terjadi dan telah berlaku, harus kita hadapi bersama. Saya rasa ini adalah ujian bagi kita seluruh umat Islam. Dengan pemuatan kartun inilah, kekuatan barisan umat Islam diuji kerapatannya. Masalahnya bukan hanya sekedar dengan gambar karikatur tersebut. Jika mereka ingin benar-benar menghina dan mengejek Rasulullah saw., kenapa koran tersebut tidak dicetak dan disebarluaskan di berbagai belahan negara Muslim. Kenapa hanya dicetak di Dermark saja? Dan apakah kita mendengar nama koran harian tersebut sebelumnya? Mereka hanya menyebarkannya di majalah-majalah yang terkenal di dunia Islam dan dibaca oleh para cendikiawan Muslim, semacam Times dan Newsweek. Tetapi hanya dicetak dan disebarluaskan di Eropa Utara saja. Ada semacam maksud yang ditujukan kepada umat Islam yang berdomisili di daerah tersebut. Sebab mereka segolongan umat Islam–seperti di Denmark–yang hidup di tengah-tengah masyarakat Barat yang cenderung mengagungkan kebebasan. Keteguhan umat Islam di sana sedang diuji. Apakah keteguhan mereka menjalankan syariat masih bisa terjamin dengan adanya pemuatan karikatur tersebut. Pada dasarnya mereka ingin komunitas Muslim tersebut mengikuti cara hidup mereka yang serba permisif dalam segala hal. Gerakan ini merupakan kesinambungan dari serial yang dulu pernah ditolak oleh para cendikiawan Muslim. Yang mengatakan bahwa perkembangan Muslim di Eropa sangat berbahaya bagi jalannya demokrasi di tengah-tengah mereka. Mereka menyamakannya dengan Nazi yang pernah muncul di Jerman dan keberadaannya sangat mengancam Eropa dan dunia. Hitler yang memimpin Nazi dianggap sebagai pemimpin diktator dan mengancam keberadaan demokrasi yang mereka anggap menjadi solusi terakhir dan satu-satunya bagi kehidupan masyarakat modern. Secara logika sehat, dimanakah letak benaran pendapat tersebut yang menyamakan antara Nazi dengan Islam? Tentu kita tak dapat menerima dan harus menolaknya. Wacana ini sudah berulang-ulang dicetak dan disebarkan oleh berbagai majalah dan koran-koran di Eropa atau Barat pada umumnya. Dalam skup yang lebih luas, tantangan yang dihadapi dalam wacana ini dipahami sangat bertentangan lewat gerakan dan wacana demokrasi yang ingin mereka sebarluaskandi negara-negara Islam. Mereka takut Islam akan bangkit berpengaruh menguasai dunia dan dapat mengalahkan demokrasi yang mereka dengungkan dan wacanakan. Nazi baru akan muncul dan bentuknya adalah Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, karikatur yang muncul tadi adalah bentuk ujian yang digulirkan di tengah-tengah umat Islam.

Saya tidak akan berbicara banyak mengenai konspirasi (mu’âmarah) yang banyak dan sedang mengelilingi kita. Tapi peristiwa tersebut tidak begitu saja muncul, tidak banyak di dunia yang seperti ini. Tidak banyak yang melakukannya secara langsung. Kenapa harus menghina dan mengejek secara langsung? Peristiwa ini sangat jarang terjadi sebelumnya. Lalu apa itu arti kesepakatan internasional saat dunia ini sedang dilingkupi oleh imperialisme dan kolonialisme. Dan mereka para imperialis Inggris, Perancis dan Portugis terasa enak saja membagi dunia ini menurut kesepakatan mereka. Apakah itu kesepakatan internasional, padahal hanya segelintir saja. Seperti yang kita ceritakan dan ajarkan dalam pelajaran sejarah kepada anak-anak kita. Apakah semua itu akan kita lupa dan tinggalkan begitu saja. Tentu tidak.

Maka kita kembali kepada perbedaan cara pandang hidup antara Barat dan Islam yang telah kita bahas di atas, meskipun agak melebar dari pertanyaan. Kehidupan seorang Muslim tidak hanya cukup selesai di dunia saja. Tapi berkaitan dengan kehidupan akhirat setelah kehidupan di dunia ini. Dalam Islam, kita diajarkan untuk menghormati orang tua di dunia ini. Perbuatan itu jelas akan berkelanjutan hingga akhirat nanti. Ada nilai-nilai yang dijunjung tinggi di sana, meski secara rasio itu sangat mustahil. Dan kita yakin sebagai orang Islam akan ada suatu hari dimana semua yang ada di dunia ini akan musnah. Tugas kita sebagai seorang khalifah untuk memakmurkan bumi ini akan berakhir dengan datangnya hari tersebut. Di Barat, soal pertama yang terlontar dari dalam benak masing-masing individu mereka adalah apa yang bisa saya ambil (manfaatkan) dari semua ini? Apa yang bisa mendatangkan keuntungan dari kehidupan saat ini, itulah yang saya ambil. Seperti apa yang terjadi dalam kehidupan keluarga di Barat. Saya membaca kejadian tersebut di sebuah majalah sosiologi, yaitu Musyâkil Ijtimâ’iyyah. Ada seorang Ibu yang tega dan berani mengusir anaknya yang berumur 16 tahun untuk keluar dari rumah dan hidup mandiri. Ia pun tega untuk memutuskan hubungan darah dengan anak tersebut. Sebab Ibu tersebut beralasan ingin mendapatkan kebebasannya lagi setelah sekian lama terkurung dengan kehidupan menanggung biaya dan merawat sang anak. Memang, dalam masalah ini kita tidak bisa main gebyah uyah alias pukul rata, tapi dari situlah suatu nilai yang sedang berlaku bisa kita ambil.

Permasalahan asasi Barat adalah mereka memandang kehidupan ini hanya secara fungsional. Berbeda dengan kita yang memandang sesuatu dari berbagai sisi. Bagaimana agar kita setelah memberikan sesuatu terhadap orang lain, pahala itu akan tetap terus berlangsung setelah kita mati. Kehidupan menurut kita terhampar dengan luas. Sedangkan mati adalah merupakan jembatan antara dunia yang satu dengan yang lain. Kehidupan bagi mereka hanya di dunia ini, tidak lebih. Ada seorang teman saya dari Rusia, yang mengatakan bahwa dia tidak percaya akan adanya akhirat. Katanya, siapa yang membenarkan dan bisa menjamin saya bisa melihat dan mencapai kehidupan tersebut. Maka unsur yang teramat penting dalam pernyataan di atas adalah manusia dan kebahagiaan itu sendiri. Moral dalam tata hidup mereka ternilai menjadi sesuatu yang tidaklah terpahami dan dilakukan dengan sulit. Itulah seperangkat kesepakatan yang menilai hal tersebut. Asal tidak mengganggu privasi pribadi dan umum, tidaklah tercela. Maka wajar banyak terjadi hubungan dan kelahiran anak gelap terjadi., sebab hubungan antara lelaki dan perempuan meski bukan mahramnya menjadi kebiasaan yang merebak bebas.

Kita kembali ke kebebasan berekspresi. Mengenai ini banyak klaim yang dialamatkan ke dunia ketiga, termasuk dalamnya dunia Islam. Bahwa di dunia Islam menurut suatu wacana yang bergulir, tidak ada semacam kebebasan berekspresi di sana. Bagaimana pandangan Anda dalam hal ini?
Sebentar, pembagian dunia ke dalam dunia ketiga dan dimasukkan negara-negara Muslim di dalamnya saya tidak bisa menerima. Sejarah juga telah mengakhiri klasifikasi fikih tentang pembagian adanya dâr al-harb dan dâr al-amn, meski masih terdapat perbedaan pendapat. Dan kita hidup di dalam dunia yang punya tatanan baru. Tetapi kalau dalam statemen tersebut dikatakan demikian, ya silahkan Anda lihat sendiri. Orang-orang bebas melakukan kegiatan ibadahnya, mereka bebas saja melakukan shalat di negara-negara Muslim tersebut (sambil tertawa). Masalah kebebasan berekspresi di dunia Islam sangat berkaitan erat dengan peraturan yang melingkupi dan berjalan di sekelilingnya. Dan peraturan-peraturan tersebut banyak dibuat oleh berbagai macam pemerintahan yang secara nyata banyak sekali pertentangan dengan nilai-nilai Islam. Jadi kalau Anda maksudnya adalah berjalannya kebebasan berekspresi di dunia Muslim, kita lihat dulu lebih ke dalam. Kebebasan berekspresi tersebut sangat berkaitan erat dengan tegaknya berbagai macam aturan syariat yang ada. Tetapi masalahnya seperti di atas. Banyak peraturan-peraturan yang menaungi negara-negara Islam tidak berdasarkan nilai-nilai Islam, yang dikedepankan adalah demokrasi yang sangat ingin meniru demokrasi yang sedang berlaku di Barat. Lalu kalau mau disesuaikan dengan statemen ‘tidak ada kebebasan berekspresi di dunia Islam’, maka tidak ada kebebasan ekspresi di dalamnya, sebab hukum Islam itu sendiri tidak dijalankan secara nyata. Kita tidak bisa mengukurnya secara jelas. Ini adalah sesuatu yang jelas terpisah antara keduanya. Seperti apa yang dikatakan oleh mereka orang-orang Denmark, bahwa di dunia Islam terjadi kemunafikan. Mereka menganggap apa yang selama ini kita kerjakan sebagai sesuatu yang keji, menurut cara pandang kebebasan mereka. Padahal kita berbicara tentang sesuatu yang kita anggap konstan dan suci. Sesuatu yang sudah kita tetapkan dalam masalah-masalah akidah.

Lalu apa yang harus kita lakukan berkaitan dengan penghinaan yang mereka lakukan terhadap Rasulullah saw.? Apakah dengan memboikot produk mereka, menyerang kedutaan-kedutaan yang di negara-negara Muslim seperti yang dilakukan di Damaskus dan Beirut, atau menuntut mereka dalam proses hukum?

Saya akan tinggalkan pertanyaan tersebut. Begini, dalam dunia Islam sendiri terjadi krisis dan benturan-benturan ketika ada pihak yang ingin menghidupkan nilai-nilai Islami di dalamnya. Makanya sangat sempit sekali ruang gerak bagi nilai-nilai Islam di negara-negara yang notabene-nya berpenduduk mayoritas Islam. Porsi gerak kita sangat sempit. Dengan menghadapi apa yang ditiupkan Barat tersebut, ada semacam poin yang bisa kita kira-kira. Apa yang mereka lakukan dan usahakan sangat kecil hasilnya, sebab sasaran yang mereka tembak sebenarnya hanya mempunyai ruang gerak sempit dan terbatas. Ini pada dataran negatif. Pada dataran positifnya, umat Islam menjadi terinspirasi untuk bergerak dan melihat barisan mereka yang memang selama ini kurang rapat terhadap penghinaan tersebut. Bahwa kita harus membuat barisan agar orang lain tak semena-mena melecehkan kita. Menyangkut hal ini, saya teringat muktamar antar-agama yang diadakan di Kairo yang dihadiri juga oleh perwakilan dari Vatikan. Dr. Al-Qaradhawi yang sekaligus menjadi penasehat website ini dan juga ulama lainnya mengatakan, bahwa tiga agama samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani) sekarang ini menurut anggapan mereka sudah bukan lagi menjadi sebuah doktrin agama yang asli dan disakralkan. Mereka menganggap apa yang dibawa oleh ketiga agama tersebut adalah pemikiran dan pemahaman keagamaan. Jadi boleh dikritisi dalam berbagai segi apapun. Mereka berujar dan menuntut untuk mengganti dasar-dasar yang menjadi landasan tiga agama samawi tersebut, sebab sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Maka wajar saja jika mereka berbuat seperti itu.

Dr. Qaradhawi kembali menjawab mereka, “Bagaimana Anda bisa mencela agama kami, sedang Anda sendiri saja tidak tahu dengan benar tentang agama kami. Anda tidak menganggap apa yang kami anut bukan lagi suatu agama.”

Sekarang baru akan saya jawab pertanyaan Anda tadi. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Menurut saya ya harus ada tindakan yang konkrit dan positif dalam menyikapi hal tersebut. Dalam artian ada dua sisi. Pertama, sisi dari umat Islam sendiri. Dengan adanya kesadaran untuk bersatu merapatkan barisan tadi, harus ada upaya lebih untuk menindaklanjuti gelombang positif tersebut. Secara bersama-sama kita menggali nilai-nilai Islam yang selama ini didiamkan. Kemudian mengimplemantisikannya di segala lini kehidupan. Mumpung semangat itu sedang berkobar-kobar. Harus kita tinjau lagi rasa berislam diri pribadi masing-masing umat Islam. Menghidupkan kembali semangat keislaman kita. Demikian dengan apa yang dilakukan oleh Dr. Qaradhawi melalui tulisannya di website ini. Kedua, kita harus meninjau ulang dan menghargai nilai-nilai yang dibawa oleh orang lain dan dengan apa yang mereka bangun. Kita harus lebih pandai mencerna bagaimana cara orang Barat berpikir. Peradaban Barat tidak dibangun hanya dari satu pintu dan tidak terjadi sekejap.

Mereka butuh proses yang lama dalam membangun apa yang mereka capai sekarang ini. Demostrasi, pertentangan, penolakan melalui opini-opini di media massa, boikot; tentu kita anggap sebagai suatu langkah. Tapi yang bisa bernilai lebih adalah bagaimana kita bisa melihat secara lebih jauh. Kenapa mereka bisa membuat ketetapan demikian. Dasar, peraturan, atau lingkungan apakah bisa menghasilkan keputusan semacam itu. Kita harus melihat logika mereka dalam melihat suatu nilai. Seperti yang saya ingatkan tadi seputar pemutarbalikan fakta tragedi Holocaust. Kasus yang kurang lebih sama ketika kita membandingkan cara berpikir mereka. Hal tersebut tentu didukung oleh media massa mereka yang kuat. Juga unsur-unsur kekuatan kecil politik, tapi kekuatan besar yang mereka sebar di berbagai negara dalam rangka mempengaruhi keputusan-keputusan politik di negara yang bersangkutan. Semua itu berhubungan dengan keputusan dan tindakan apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dan berhubungan dengan mereka. Dan itu sangat berpengaruh, ketika mislanya kita akan membuat kesepakatan akan sesuatu yang pentng bersama mereka. Demikian juga ketika kita akan membela Islam dari berbagai macam serangan yang dialamatkan. Menjaga akidah Islam dan orang-orang Muslim yang berdakwah di jalan Islam, hidup di tengah-tengah mereka (baca: masyarakat Barat)

Beberapa waktu yang lalu diadakan Muktamar Kopenhagen yang juga dihadiri oleh delegasi Muslim. Pemerintah Denmark mengadakan acara tersebut dalam rangka merespon dan meredam apa yang sedang bergejolak di dunia saat ini, terutama dengan adanya pemuatan karikatur menghina Nabi saw, oleh salah satu koran hariannya. Bagi saya, muktamar tersebut tidak akan mempunyai nilai-nilai positif yang nyata. Tidak akan betul-betul merubah cara pandang serba rasional mereka terhadap Islam. Tidak akan merubah statemen yang mereka sebarkan dan realita yang sedang berkembang. Tidak akan merubah undang-undang hukum pers yang berlaku di sana. Itu hanyalah sekedar payung dan salon yang sengaja mereka buat dan mereka gunakan waktu itu saja. Coba saksikan, pasti yang berkembang dalam diskusi pada muktamar tersebut adalah membicarakan tentang kondisi dan situasi yang berkembang di negara mereka. Tentang tata nilai yang mereka anut dan gunakan. Hal tersebut tidak akan merubah cara pengajaran dan penjelasan mengenai apa itu Islam yang sesuai dengan pemahaman dunia Islam di sekolah-sekolah, dimana generasi atau anak didik mereka belajar. Anak didik dan masyarakat di negara tersebut tidak akan memperoleh informasi yang sebenarnya mengenai apa dan mengapa Islam. Wacana Islam yang berkembang. Ya, sesuai dengan apa yang mereka buat. Muktamar tersebut hanya menghasilkan sebuah bertita yang dinilai baik, lalu di muat di berbagai media massa semacam internet yang dapat dibaca dan dirujuk oleh siapa saja di belahan dunia ini. Setelah itu, berita tersebut akan hilang begitu saja. Selesailah perkara. Sebab tidak berlanjut kepada perubahan-perubahan yang mendasar pada dunia mereka. Oleh sebab itu kita harus melihat mekanisme yang berlaku pada mereka. Bagaimana agar segera berubah cara pengajaran di sekolah-sekolah mereka dalam memandang Islam. Bagaimana agar segera disusun sebuah draft penambahan pada mereka; untuk tidak menyentuh wilayah-wilayah yang memang tidak boleh disentuh. Dan itu bagian toleransi terhadap orang lain. Dan dalam skup kebebasan yang dilaksanakan orang lain.

Penghinaan dan pemuatan karikatur semacam ini telah berulang kali tersebar di berbagai media massa Barat. Dan apa yang mereka lontarkan kali ini membuat banyak respek yang kontras dengan realita di berbagai belahan dunia. Dan ini merupakan kesempatan untuk kita petik buah positifnya. Tindakan nyata harus dilakukan, baik itu di dunia Muslim sendiri, maupun di sisi lainnya, dunia Barat.

Terakhir, apa pesan Anda kepada generasi Muslim di dunia pada umumnya dan generasi muda Muslim Indonesia pada khususnya, berkaitan dengan masa depan yang penuh dengan tantangan ini ?


Dengan masa depan Islam, saya lebih optimis bahwa kemajuan peradaban Islam akan muncul dari sisi kalian di belahan Asia Tenggara. Ditopang oleh sumber daya alam dan manusianya. Ada banyak perangkat-perangkat yang telah hadir, sebagai penopang kemajuan Islam. Sinar kemajuan Islam terlihat cerah di sana dengan banyak dan berkembangnya madrasah-madrasah dan institut-institut pengajaran Islam. Meski saya belum pernah mengunjunginya, tapi saya berharap dan hanya sekedar mendengar berita gembira akan Islam yang dibawa oleh teman saya yang pernah berkunjung ke sana. Berbicara tentang pemuda masa depan Islam, ada semacam tuntutan yang harus dipenuhi yaitu penguasaan berbagai macam ilmu pengetahuan sebagai syarat resmi pembetukan sebuah bangunan peradaban. Kita ingin merubah peradaban. Maka harus segera disusun program tujuan jangka pendek maupun panjang; yang harus segera kita lakukan. Masalah inilah yang harus dipikirkan dan dilaksanakan secara serius oleh mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan, dunia pembetukan generasi mendatang. Tujuan jangka pendek kita adalah mengantisipasi dan menyelesaikan berbagai realitas yang sedang kita hadapi sekarang. Tujuan panjangnya adalah pembentukan peradaban baru. Kita tidak ingin menjauhkan sisi politik dari peradaban kita. Kita menginginkan ilmuan-ilmuan Muslim yang menguasai bidangnya–Fisika, Biologi, Kedokteran, Ekonomi dsb. Kita mengharapkan munculnya para ulama yang berul-betul menggeluti syariat. Generasi yang baru adalah generasi yang mampu mengiringi umat dalam menjawab setiap tantangan zaman yang semakin global dan penuh dengan realita. Selama ini kita makan dan bergaul dengan barang-barang elektronik yang memudahkan kehidupan bukan produk kerja keras kita, tapi dari orang lain. Sebuah realita baru dimana kita makan dan memenuhi segala kebutuhan hidup dari produk kerja keras tangan kita. Saya tidak mau bermimpi dan berangan-angan tentang terwujudnya suatu negara Islam atau khalifah Islamiyah. Tetapi saya menginginkan hadirnya suatu peradaban Islam. Terima kasih.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]