Menghindari Batalnya Pernikahan dengan Memenuhi Syarat-syarat nikah !
Sebelum mengetahui syarat-syarat akad nikah, terlebih dahulu kita harus mengetahui makna syarat itu sendiri. Secara etimologi ia adalah sesuatu yang mesti ada. Sedangkan menurut terminologinya adalah sesuatu yang bukan termasuk dari hakikat sesuatu yang lain, tetapi jika ia tidak ada, maka sesuatu yang lain itu tidak akan terlaksana, seperti salat tanpa wudlu.
Hanafiyah membagi syarat akad nikah kepada empat macam:
a. Syarat In'iqâd.
Syarat in'iqâd adalah syarat yang mesti terdapat dalam rukun nikah. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka nikahnya batal. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
1. Orang yang melakukan akad nikah (wali dan mempelai laki-laki) baligh dan berakal. Yang dimaksud dengan baligh di sini adalah memahami makna lafal ijab kabul yang terucap dalam akad nikah.
2. Orang yang dinikahi benar-benar perempuan (bukan banci).
3. Perempuan tersebut bukan muhrimnya sendiri, baik secara nasab, sepersusuan, atau karena hubungan pernikahan.
Syarat-syarat yang disebutkan di atas berkaitan dengan orang yang melakukan akad dan orang yang dinikahkan. Adapun syarat yang berkaitan dengan shighah (lafal ijab kabul) telah dijelaskan sebelumnya dalam pembahasan syarat-syarat shîghah.
b. Syarat Shihah
Syarat shihah adalah syarat yang apabila terpenuhi, maka akad nikah tersebut akan memiliki pengaruh dalam syariat. Apabila tidak terpenuhi, maka nikah tersebut dianggap tidak sah. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
1. Perempuan yang dinikahi bukan muhrimnya.
Maksudnya adalah perempuan yang dinikahi bukan perempuan yang haram dinikahi baginya, baik karena kerabat dekat, sesusuan, karena hubungan pernikahan (besanan); atau pengharamannya bersifat sementara seperti menikahi dua orang saudara kandung sekaligus; atau pengharaman itu bersifat mutlak seperti halnya menikahi orang tua sendiri.
2. Ta`bîdu al-shîghah. Maksudnya adalah pernikahan tersebut tidak bersifat sementara waktu, seperti nikah mut'ah dan nikah mu'aqqat. Jumhur mengatakan bahwa pernikahan yang bersifat sementara waktu tidak sah.
3. Saksi. Pembahasan tentang saksi telah dibahas dalam permasalahan rukun akad nikah.
4. Perempuan atau laki-laki yang bukan dalam keadaan ihram.
Menurut jumhur, salah satu syarat sah nikah adalah perempuan atau laki-laki yang menikah tersebut tidak dalam mengerjakan ihram, baik ihram haji ataupun ihram umrah. Jika salah satu atau kedua-duanya sedang melaksanakan ihram, atau wali serta wakil kedua mempelai sedang berihram, kemudian melangsungkan akad nikah, maka akad tersebut tidak sah. Dalam sebuah Hadis dikatakan: “Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahi dan tidak boleh melamar”.
Berbeda dengan Hanafiyah yang mengatakan bahwa laki-laki atau perempuan yang sedang ihram boleh melangsungkan akad nikah. Begitu juga wali atau wakil boleh menikahkan seseorang dalam keadaan ihram, sebagaimana Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. menikahi Maimunah dalam keadaan ihram. Menurut Hanafiyah, Hadis yang mengatakan bahwa seseorang dilarang menikah dalam keadaan ihram memiliki makna jimak, bukan pernikahan. Jadi Hadis tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan akad nikah.
c. Syarat Terlaksananya akad Nikah
Ia adalah syarat-syarat yang apabila sudah terpenuhi, maka pernikahan tersebut bisa dilaksanakan. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
1. Orang yang melakukan akad nikah (wali dan mempelai laki-laki) baligh dan berakal.
2. Orang yang melakukan akad nikah (wali dan mempelai laki-laki) legal secara syariat, seperti dia adalah bapak atau kakeknya, wali ataupun wakil.
3. Wali jauh (selain bapak) tidak boleh melangkahi wali dekat (bapak).
4. Wakil harus mentaati semua perintah orang yang mengutusnya.
d. Syarat lazim Akad Nikah
Ia adalah syarat-syarat yang apabila sudah terpenuhi, maka pengaruh dari pernikahan tersebut akan tetap dan akan terus berkelanjutan. Salah seorang mempelai atau orang lain tidak berhak untuk membatalkan pernikahan tersebut. Adapaun syarat-syarat tersebut adalah:
1. Wali yang menikahkan adalah bapak atau kakek yang sudah dikenal keabsahannya sebagai wali.
2. Suami sekufu dengan istri.
3. Mahar tidak kurang dari mahar mitsl.
4. Tidak ada penipuan yang berkaitan dengan kafâ`ah
--------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke: No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Hanafiyah membagi syarat akad nikah kepada empat macam:
a. Syarat In'iqâd.
Syarat in'iqâd adalah syarat yang mesti terdapat dalam rukun nikah. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka nikahnya batal. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
1. Orang yang melakukan akad nikah (wali dan mempelai laki-laki) baligh dan berakal. Yang dimaksud dengan baligh di sini adalah memahami makna lafal ijab kabul yang terucap dalam akad nikah.
2. Orang yang dinikahi benar-benar perempuan (bukan banci).
3. Perempuan tersebut bukan muhrimnya sendiri, baik secara nasab, sepersusuan, atau karena hubungan pernikahan.
Syarat-syarat yang disebutkan di atas berkaitan dengan orang yang melakukan akad dan orang yang dinikahkan. Adapun syarat yang berkaitan dengan shighah (lafal ijab kabul) telah dijelaskan sebelumnya dalam pembahasan syarat-syarat shîghah.
b. Syarat Shihah
Syarat shihah adalah syarat yang apabila terpenuhi, maka akad nikah tersebut akan memiliki pengaruh dalam syariat. Apabila tidak terpenuhi, maka nikah tersebut dianggap tidak sah. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
1. Perempuan yang dinikahi bukan muhrimnya.
Maksudnya adalah perempuan yang dinikahi bukan perempuan yang haram dinikahi baginya, baik karena kerabat dekat, sesusuan, karena hubungan pernikahan (besanan); atau pengharamannya bersifat sementara seperti menikahi dua orang saudara kandung sekaligus; atau pengharaman itu bersifat mutlak seperti halnya menikahi orang tua sendiri.
2. Ta`bîdu al-shîghah. Maksudnya adalah pernikahan tersebut tidak bersifat sementara waktu, seperti nikah mut'ah dan nikah mu'aqqat. Jumhur mengatakan bahwa pernikahan yang bersifat sementara waktu tidak sah.
3. Saksi. Pembahasan tentang saksi telah dibahas dalam permasalahan rukun akad nikah.
4. Perempuan atau laki-laki yang bukan dalam keadaan ihram.
Menurut jumhur, salah satu syarat sah nikah adalah perempuan atau laki-laki yang menikah tersebut tidak dalam mengerjakan ihram, baik ihram haji ataupun ihram umrah. Jika salah satu atau kedua-duanya sedang melaksanakan ihram, atau wali serta wakil kedua mempelai sedang berihram, kemudian melangsungkan akad nikah, maka akad tersebut tidak sah. Dalam sebuah Hadis dikatakan: “Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahi dan tidak boleh melamar”.
Berbeda dengan Hanafiyah yang mengatakan bahwa laki-laki atau perempuan yang sedang ihram boleh melangsungkan akad nikah. Begitu juga wali atau wakil boleh menikahkan seseorang dalam keadaan ihram, sebagaimana Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. menikahi Maimunah dalam keadaan ihram. Menurut Hanafiyah, Hadis yang mengatakan bahwa seseorang dilarang menikah dalam keadaan ihram memiliki makna jimak, bukan pernikahan. Jadi Hadis tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan akad nikah.
c. Syarat Terlaksananya akad Nikah
Ia adalah syarat-syarat yang apabila sudah terpenuhi, maka pernikahan tersebut bisa dilaksanakan. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
1. Orang yang melakukan akad nikah (wali dan mempelai laki-laki) baligh dan berakal.
2. Orang yang melakukan akad nikah (wali dan mempelai laki-laki) legal secara syariat, seperti dia adalah bapak atau kakeknya, wali ataupun wakil.
3. Wali jauh (selain bapak) tidak boleh melangkahi wali dekat (bapak).
4. Wakil harus mentaati semua perintah orang yang mengutusnya.
d. Syarat lazim Akad Nikah
Ia adalah syarat-syarat yang apabila sudah terpenuhi, maka pengaruh dari pernikahan tersebut akan tetap dan akan terus berkelanjutan. Salah seorang mempelai atau orang lain tidak berhak untuk membatalkan pernikahan tersebut. Adapaun syarat-syarat tersebut adalah:
1. Wali yang menikahkan adalah bapak atau kakek yang sudah dikenal keabsahannya sebagai wali.
2. Suami sekufu dengan istri.
3. Mahar tidak kurang dari mahar mitsl.
4. Tidak ada penipuan yang berkaitan dengan kafâ`ah
--------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke: No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :