Mahar Nikah: Definisi Hukum dan Syaratnya
Secara etimologi mahar berarti suatu pemberian. Sedangkan secara terminologi berarti harta yang berhak diterima oleh isteri dari suaminya, baik disebutkan dan diberikan ketika akad nikah ataupun saat melakukan hubungan suami isteri. ‘Ali Hamisy berpendapat bahwa yang dimaksud dengan mahar adalah harta yang diwajibkan kepada calon suami ketika akad nikah sebagai bukti diperbolehkannya melakukan hubungan suami isteri, baik disebutkan secara terang-terangan atau sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal ini para ulama mazhab berbeda pendapat tentang pengertian mahar.
Imam Syafi’i : “Sesuatu yang harus dibayar oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan, baik ia sudah menjimak istrinya ataupun belum “.
Hanafiah: “Sesuatu yang berhak diterima oleh isteri dari suami dengan jalan akad nikah atau hubungan suami isteri”.
Malikiah: “Sesuatu yang menjadi jaminan diperbolehkannya melakukan hubungan suami isteri “.
Syafiiah: “Sesuatu yang wajib ditunaikan dalam pernikahan atau hubungan badan suami isteri”.
Hanabilah: “Pembayaran dalam pernikahan , baik disebutkan ketika akad nikah atau ditunaikan setelahnya, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak”.
Nama Lain dari Mahar
Selain mahar, terdapat banyak nama atau istilah lain yang digunakan untuk menyebut harta pemberian suami kepada isteri. Ia adalah shadâq, nihlah, farîdhah, thaul, hibâ’, ‘aqr, ajr, ’alâiq. Untuk lebih jelasnya anda bisa melihatnya langsung dalam kitab al-Akhwân bab ‘Uyûn al-Akhbâr milik Ibnu Qutaibah.
Hukum Mahar
Sebelum kita membahas hukum mahar, terlebih dahulu kita harus mengetahui apakah ia merupakan salah satu rukun atau syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan atau bukan?
Ulama Hanafiah mengatakan, pernikahan tidak sah apabila tidak ada mahar, karena ia merupakan syarat sah diperbolehkannya hubungan suami isteri. Mereka menyamakan kewajiban membayar mahar dengan wajibnya ijab kabul dalam pernikahan. Selain itu mereka berpendapat, seandainya isteri meninggal dunia sebelum melakukan hubungan badan dengan suami atau sebaliknya; suami meninggal sebelum sempat berhubungan badan dengan isteri, maka suami tetap diwajibkan membayar mahar. Hal ini terjadi jika suami belum membayar mahar ketika akad nikah. Firman Allah: ”…Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (ialah selain macam-macam wanita yang tersebut dalam ayat 23 dan 24 surat an-Nisâ) (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mareka maharnya (dengan sempurna)…”. (QS. an-Nisâ`: 24)
Dalam hal ini, jika suami yang meninggal maka yang berkewajiban untuk membayarkan maharnya adalah ahli warisnya.
Begitu juga dengan ulama Malikiah. Mereka sependapat dengan Hanafiyah bahwa mahar merupakan rukun keempat dalam pernikahan (setelah wali, adanya kedua mempelai dan ucapan ijab Kabul). Dalam sebuah Hadis disebutkan: "Dari Sahl bin Sa’ad Ra., dia berkata: Nabi Saw. telah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan (mahar) sebuah cincin dari besi".
Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas menunjukkan betapa pentingnya mahar dalam pernikahan hingga Rasulullah menikahkan mereka dengan mahar sebuah cincin dari besi.
Imam Syafi'i berkata: ”Pernikahan yang dilaksanakan tanpa mahar hukumnya tetap sah”. Hukum mahar memang wajib, tapi ia bukan termasuk syarat sah ataupun rukun pernikahan. Pada hakekatnya tujuan pernikahan adalah tercapainya kebahagiaan sehingga jika akad sudah sempurna meskipun maharnya tidak disebutkan, maka pernikahan tersebut sudah sah tanpa ggugurnya hak isteri untuk memperoleh mahar dari suaminya. Allah berfirman: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menetukan maharnya". (QS. al-Baqarah: 236)
Wajhu al-Dilâlah
Ayat ini mengandung sebuah pesan hukum bahwa seorang suami boleh menceraikan isterinya sebelum melakukan hubungan badan dan sebelum membayar mahar. Hal ini menunjukkan bahwa mahar bukanlah termasuk syarat ataupun rukun dalam pernikahan.
Berbeda dengan yang lain, Ibnu Qudamah mengatakan bahwa Islam mensyari’atkan mahar dalam pernikahan tanpa menyebutkan secara detail, apakah ia termasuk syarat atau rukun pernikahan.
Dasar Hukum Kewajiban Mahar
Pertama, Al-Qur’an
”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. (QS. an-Nisâ: 4)
”Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mareka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban”. (QS. an-Nisâ: 24)
“Dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut”. (QS. an-Nisâ : 25)
Kedua, Sunnah
"Dari Sahl bin Sa’ad Ra., dia berkata: Nabi Saw. telah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan (mahar) sebuah cincin dari besi".
"Dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dari ayahnya Ra. bahwa Nabi Saw. membolehkan (laki-laki) menikahi perempuan dengan (mahar) sepasang sandal".
Ketiga, Ijma’Jumhur fuqaha sepakat bahwa mahar hukumnya wajib. Ia dibebankan bagi laki-laki untuk diberikan kepada perempuan yang menjadi isterinya, bukan sebaliknya.
Syarat-Syarat Mahar
Suatu barang yang akan dijadikan mahar hendaklah memenuhi tiga syarat berikut ini:
Bisa disimpan dan diperjual belikan, misalnya: emas, tanah, binatang ternak dan lain sebagainya.
Mahar yang akan dibayarkan harus bebas resiko. Tidak boleh menjadikan seorang budak pelarian sebagai mahar atau seekor unta yang tersesat. Ini disebabkan kekhawatiran jika suatu hari pemiliknya menemukannya kembali. Hal tersebut tentu akan menimbulkan aib dan permasalahan antara kedua belah pihak.
Ulama Hanafiah menambahkan, mahar harus dibayarkan dalam akad nikah yang sah menurut Islam. Apabila akadnya tidak sah, maka pemberian dari laki-laki kepada perempuan tidak dikategorikan mahar karena pada hakekatnya pernikahan itu sendiri tidak sah.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Imam Syafi’i : “Sesuatu yang harus dibayar oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan, baik ia sudah menjimak istrinya ataupun belum “.
Hanafiah: “Sesuatu yang berhak diterima oleh isteri dari suami dengan jalan akad nikah atau hubungan suami isteri”.
Malikiah: “Sesuatu yang menjadi jaminan diperbolehkannya melakukan hubungan suami isteri “.
Syafiiah: “Sesuatu yang wajib ditunaikan dalam pernikahan atau hubungan badan suami isteri”.
Hanabilah: “Pembayaran dalam pernikahan , baik disebutkan ketika akad nikah atau ditunaikan setelahnya, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak”.
Nama Lain dari Mahar
Selain mahar, terdapat banyak nama atau istilah lain yang digunakan untuk menyebut harta pemberian suami kepada isteri. Ia adalah shadâq, nihlah, farîdhah, thaul, hibâ’, ‘aqr, ajr, ’alâiq. Untuk lebih jelasnya anda bisa melihatnya langsung dalam kitab al-Akhwân bab ‘Uyûn al-Akhbâr milik Ibnu Qutaibah.
Hukum Mahar
Sebelum kita membahas hukum mahar, terlebih dahulu kita harus mengetahui apakah ia merupakan salah satu rukun atau syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan atau bukan?
Ulama Hanafiah mengatakan, pernikahan tidak sah apabila tidak ada mahar, karena ia merupakan syarat sah diperbolehkannya hubungan suami isteri. Mereka menyamakan kewajiban membayar mahar dengan wajibnya ijab kabul dalam pernikahan. Selain itu mereka berpendapat, seandainya isteri meninggal dunia sebelum melakukan hubungan badan dengan suami atau sebaliknya; suami meninggal sebelum sempat berhubungan badan dengan isteri, maka suami tetap diwajibkan membayar mahar. Hal ini terjadi jika suami belum membayar mahar ketika akad nikah. Firman Allah: ”…Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (ialah selain macam-macam wanita yang tersebut dalam ayat 23 dan 24 surat an-Nisâ) (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mareka maharnya (dengan sempurna)…”. (QS. an-Nisâ`: 24)
Dalam hal ini, jika suami yang meninggal maka yang berkewajiban untuk membayarkan maharnya adalah ahli warisnya.
Begitu juga dengan ulama Malikiah. Mereka sependapat dengan Hanafiyah bahwa mahar merupakan rukun keempat dalam pernikahan (setelah wali, adanya kedua mempelai dan ucapan ijab Kabul). Dalam sebuah Hadis disebutkan: "Dari Sahl bin Sa’ad Ra., dia berkata: Nabi Saw. telah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan (mahar) sebuah cincin dari besi".
Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas menunjukkan betapa pentingnya mahar dalam pernikahan hingga Rasulullah menikahkan mereka dengan mahar sebuah cincin dari besi.
Imam Syafi'i berkata: ”Pernikahan yang dilaksanakan tanpa mahar hukumnya tetap sah”. Hukum mahar memang wajib, tapi ia bukan termasuk syarat sah ataupun rukun pernikahan. Pada hakekatnya tujuan pernikahan adalah tercapainya kebahagiaan sehingga jika akad sudah sempurna meskipun maharnya tidak disebutkan, maka pernikahan tersebut sudah sah tanpa ggugurnya hak isteri untuk memperoleh mahar dari suaminya. Allah berfirman: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menetukan maharnya". (QS. al-Baqarah: 236)
Wajhu al-Dilâlah
Ayat ini mengandung sebuah pesan hukum bahwa seorang suami boleh menceraikan isterinya sebelum melakukan hubungan badan dan sebelum membayar mahar. Hal ini menunjukkan bahwa mahar bukanlah termasuk syarat ataupun rukun dalam pernikahan.
Berbeda dengan yang lain, Ibnu Qudamah mengatakan bahwa Islam mensyari’atkan mahar dalam pernikahan tanpa menyebutkan secara detail, apakah ia termasuk syarat atau rukun pernikahan.
Dasar Hukum Kewajiban Mahar
Pertama, Al-Qur’an
”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. (QS. an-Nisâ: 4)
”Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mareka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban”. (QS. an-Nisâ: 24)
“Dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut”. (QS. an-Nisâ : 25)
Kedua, Sunnah
"Dari Sahl bin Sa’ad Ra., dia berkata: Nabi Saw. telah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan (mahar) sebuah cincin dari besi".
"Dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dari ayahnya Ra. bahwa Nabi Saw. membolehkan (laki-laki) menikahi perempuan dengan (mahar) sepasang sandal".
Ketiga, Ijma’Jumhur fuqaha sepakat bahwa mahar hukumnya wajib. Ia dibebankan bagi laki-laki untuk diberikan kepada perempuan yang menjadi isterinya, bukan sebaliknya.
Syarat-Syarat Mahar
Suatu barang yang akan dijadikan mahar hendaklah memenuhi tiga syarat berikut ini:
Bisa disimpan dan diperjual belikan, misalnya: emas, tanah, binatang ternak dan lain sebagainya.
Mahar yang akan dibayarkan harus bebas resiko. Tidak boleh menjadikan seorang budak pelarian sebagai mahar atau seekor unta yang tersesat. Ini disebabkan kekhawatiran jika suatu hari pemiliknya menemukannya kembali. Hal tersebut tentu akan menimbulkan aib dan permasalahan antara kedua belah pihak.
Ulama Hanafiah menambahkan, mahar harus dibayarkan dalam akad nikah yang sah menurut Islam. Apabila akadnya tidak sah, maka pemberian dari laki-laki kepada perempuan tidak dikategorikan mahar karena pada hakekatnya pernikahan itu sendiri tidak sah.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :