Berbagai Permasalahan Seputar Mahar Nikah
Bermahal-Mahalan Dalam Mahar
Pada dasarnya tidak ada ketentuan tetap kadar pembayaran mahar. Ia tergantung pada kemampuan dan kesepakatan kedua belah pihak. Walaupun begitu, Islam melarang umatnya untuk bermahal-mahalan dalam mahar karena hal tersebut akan memberatkan calon suami serta mengakibatkan mudharat yang lain. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban Rasulullah Saw. Bersabda: “Sebaik-baik perempuan adalah yang maharnya murah”.
Malikiah berpendapat, bermahal-mahal dalam mahar hukumnya makruh. Maksud bermahal-mahalan di sini adalah mahar yang jumlahnya melebihi standar umum masyarakat di mana kedua mempelai tinggal.
Ibnu Qudamah berkata: Membayar mahar melebihi batas paling tinggi yang pernah dibayar oleh Nabi Saw. (500 dirham) kepada isteri-isterinya merupakan perbuatan yang tidak disukai. Dia berpendapat seperti itu karena hal tersebut akan menyulitkan calon suami.
Syeikh Abdullah bin Hamid Ra. ketika ditanya tentang permasalahan ini menjawab bahwa bermahal-mahalan dalam mahar merupakan suatu hal yang tidak dibenarkan dan tidak seharusnya terjadi. Selanjutnya dia menambahkan, seharusnya wali perempuan lebih memilih calon suami yang sekufu untuk anaknya tanpa harus menimbang-nimbang besarnya mahar yang mampu dibayar oleh calon menantu.[1]
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahwa standar dalam pembayaran mahar sangat dipengaruhi dan bergantung pada beberapa hal berikut ini:[2]
- Adat-istiadat suatu daerah. Dengan demikian, secara otomatis standar pembayaran tergantung pada waktu dan tempat tertentu.
- Mahal tidaknya harga barang di suatu tempat.
- Tingkat rata-rata ekonomi di suatu daerah.
- Tingkat pemahaman masyarakat terhadap Islam.
- Status sosial masyarakat.
Batas Minimal Mahar
Ali Ra. berkata: “Tidak boleh (membayar) mahar kurang dari sepuluh dirham”.
Imam Malik berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah seperempat dinar atau tiga dirham atau barang lain yang senilai dengan seperempat dinar. [3]
Imam Syafi’i, Ahmad dan Dzahiriy menyatakan bahwa tidak ada standar dalam pembayaran mahar. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa harta apapun bisa dijadikan mahar selagi barang tersebut masih baru dan diterima oleh calon istri. [4]
Mahar dengan Sesuatu yang Tidak Bermanfaat
Dalam pernikahan Islami, seorang suami tidak diperkenankan memberikan mahar kepada isterinya berupa barang-barang yang tidak bermanfaat, seperti; minuman keras, babi, mengajarkan taurat atau injil, barang yang tidak nyata keberadaanya, seekor unta yang tersesat (karena bukan miliknya), budak pelarian, burung yang sedang terbang di udara, dan sesuatu yang tidak diketahui.[5]
Menikah dengan Mahar Anak Perempuan atau Saudara Perempuan[6]
Seorang lelaki boleh menikah dengan mahar anak perempuan atau saudara perempuannya selama mereka berdua berada dalam tanggungannya. Oleh karena itu, dia berhak atas darma bakti mereka dan memanfaatkan mereka, dengan catatan tidak menyakiti keduanya. Namun jika keduanya bukan tanggungan lelaki tersebut, maka dia tidak berhak sedikitpun atas diri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan mereka.
Menikah Tanpa Mahar[7]
Jumhur Ulama berpendapat, menikah tanpa mahar hukumnya tidak sah sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surat an-Nisâ: 24 di atas dan Hadis Rasulullah: “Carilah meskipun sebuah cincin dari besi". (HR. Bukhari dan Muslim)
Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas menunjukkan bahwa mahar wajib diberikan kepada calon isteri meskipun berupa barang yang paling sederhana.
Menyebutkan Mahar dalam Akad Nikah tanpa Menunaikannya[8]
Membayar mahar bagi seorang suami hukumnya wajib. Akan tetapi menyebutkannya dalam akad nikah hukumnya sunnah. Apabila suami tidak memberikan sesuatu apapun kepada isterinya sebagai mahar, padahal ia telah menyebutkan bentuk, nilai dan jumlahnya ketika akad nikah, maka hal ini tidak menjadi masalah, hanya saja suami tetap berkewajiban untuk menunaikannya di kemudian hari.
Mahar Yang Cacat[9]
Jika seorang suami memberi mahar kepada isterinya berupa seorang budak yang cacatnya berat, maka isteri berhak menolak atau mengembalikanya serta meminta ganti rugi. Namun, apabila cacatnya ringan, maka Imam Abu Hanifah dalam hal ini menganjurkan agar kita menerimanya saja sebagai penghormatan kepada suami. Hanabilah juga mengatakan bahwa sebagaimana jual beli, jika terdapat barang yang cacat maka kita berhak untuk mengembalikannya dan meminta ganti rugi.
Mahar Untuk Perempuan Bersuami
Sangat tidak mustahil bila terjadi pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang bersuami. Jumhur fuqaha sepakat jika ada seorang perempuan yang menikah lagi, sedangkan status dia masih sebagai isteri (suaminya masih hidup dan tidak terjadi talak) maka dia dianggap sebagai pezina. Apabila suami yang baru menikahinya mengetahui hal tersebut, tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan maharnya dan nikahnya dianggap batal.[10]
Mahar Dengan Talak Terhadap Isteri[11]
Dalam masalah ini kita perlu mengelompokkannya kepada dua permasalahan, yaitu: mahar dengan talak terhadap isteri yang masih hidup dan mahar dengan talak isteri yang sudah meninggal.
Pertama, maksud dari mahar dengan talak terhadap isteri yang masih hidup adalah seorang laki-laki yang sudah beristeri menikah lagi dengan perempuan lain dengan mahar berupa talaknya terhadap isteri yang pertama. Menurut para ahli fikih hal ini tidak sah dan sangat ditentang oleh agama dengan alasan:
Mahar ini tidak sah karena salah satu syarat mahar adalah harus berupa barang, sedangkan talak merupakan sesuatu yang tidak berwujud materi.
Hal tersebut ditentang oleh agama karena dianggap merugikan orang lain. Dalam hal ini yang dirugikan adalah isteri yang pertama.
Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: "Tidak halal seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan mentalak perempuan yang lain". (HR. Ahmad)
Kedua, mahar dengan talak terhadap isteri yang sudah meninggal. Maksudnya di sini adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan mahar berupa talaknya terhadap isterinya yang sudah meninggal. Dalam hal ini, ulama juga mengatakan bahwa maharnya tidak sah dengan alasan yang telah disebutkan di atas.
Adapun hukum bagi kedua kasus di atas adalah sebagaimana hukum orang yang membayar mahar dengan sesuatu yang haram atau tidak bermanfaat. Konsekuensinya adalah suami harus menggantinya dengan membayar mahar mitsl atau membayar sebagiannya jika kemudian dia mentalak isterinya sebelum disetubuhi.
Mahar dengan Mengajarkan Ilmu Hadis, Fikih, Sya'ir-Sa'ir yang Diperbolehkan dan lain sebagainya
Orang yang mengajarkan ilmu Hadis, fikih, ataupun sya'ir-syair yang dibolehkan syariat biasanya berprofesi sebagai guru. Seorang guru dalam melaksanakan tugasnya sedikit banyaknya mendapatkan upah atau gaji. Bersandarkan pada realita di atas, maka mengajarkan Ilmu Hadis, fikih dan syair-syair yang dibolehkan syariat hukumnya sah. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa segala sesuatu yang bisa menghasilkan uang, maka ia boleh dijadikan mahar.[12]
Mahar Muqaddam-Mu'akhkhar
Mahar muqaddam-mu'akhkhar adalah mahar yang sebagiannya dibayar ketika akad nikah dan sisanya dibayar setelah terjadi perceraian atau suami meninggal. Dalam permasalahan ini mesti dibahas pembagian pemberian suami ketika akad nikah, karena terkadang suami memberikan sesuatu ketika akad tapi dia bukanlah mahar. Untuk lebih jelasnya, pemberian suami ketika akad nikah bisa dikategorikan pada dua golongan:
Pertama, suami memberikan sejumlah harta atau hadiah ketika akad nikah kepada isterinya. Pemberian ini tidak dimaksudkan sebagai mahar. Semua ini karena faktor adat setempat. Apabila hal ini terjadi, maka mahar suami tetap dianggap sebagai utang yang harus dilunasi ketika terjadi perceraian atau kematian.[13]
Kedua, pemberian tersebut diniatkan sebagai mahar cicilan dan sisanya akan dibayar setelah suaminya meninggal atau menceraikannya. Hal ini sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak saat akad nikah dan berdasarkan aturan adat istiadat yang berlaku.
Dalam dua kondisi ini istri dilarang mendiamkan suami (nusyuz) karena ingin maharnya segera dilunasi. Walaubagaimanapun yang sedang terjadi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Jika isteri tetap mendiamkan suami, maka suami berhak untuk tidak memberinya nafkah hingga ia menyadari kesalahannya.[14]
Mahar Perempuan yang Ditalak Sebelum Dijimak
Permasalahan ini sering terjadi di kalangan orang-orang Arab. Mereka memiliki kebiasaan melakukan akad nikah, namun setelah itu kedua mempelai tidak dibenarkan untuk tinggal serumah sebelum suami mampu menyediakan fasilitas tempat tinggal. Apabila kemudian terjadi perceraian sebelum mereka melakukan hubungan suami isteri, maka suami berhak meminta setengah dari jumlah mahar yang sudah diberikan pada istrinya.[15]Firman Allah: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.[16] (QS. al-Baqarah: 237]
Harta Pemberian Calon Suami yang Meninggal[17]
Harta yang diberikan oleh calon suami kepada calon isteri dan keluarganya merupakan hak mereka, walaupun calon suami meninggal dunia sebelum akad nikah. Jadi, calon isteri beserta keluarganya tidak berkewajiban untuk mengembalikan harta tersebut, karena bagaimanapun kondisinya pada hakekatnya mereka betul-betul ingin menikah.
Mahar Berupa Binatang Ternak yang Melahirkan
Seorang suami memberi mahar kepada isterinya berupa binatang ternak misalnya kambing, sapi atau kerbau. Kemudian binatang tersebut melahirkan dan suami menceraikan isterinya sebelum dijimak. Apabila permasalahan ini terjadi, maka kambing yang diberikan (induk) kepada isterinya dibagi dua sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 237 di atas. Adapun anak kambing tersebut merupakan miliki istrinya karena ia lahir setelah induknya dalam perawatan istrinya.
Hikmah Pensyariatan Mahar[18]
- Memuliakan kaum perempuan.
- Sebagai tanda bahwa dia dilamar, bukan sebaliknya.
- Sebagai bukti bahwa suaminya mencintai dia dan membutuhkan keberadaanya.
- Sebagai bukti keseriusan seorang laki-laki untuk membangun rumah tangga dengannya.
- Sebagai bukti bahwa Islam menjadikan seorang laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga.
[2] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 66.
[3] Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud al-Kasani, op. cit., hal. 286.
[4] Syamsuddin al-Syarbini, op. cit., hal. 220.
[5] Ibnu Qudamah, op. cit., hal. 457.
[6] Abdul Aziz bin Baz, Fatâwâ al-Mar’ah al-Muslimah, Maktabah Imân, Mansurah, hal. 387.
[7] Ibid., hal. 387.
[8] Ibid., hal. 374.
[9] Ibnu Qudamah, op. cit., hal. 462.
[10] Ibnu Taimiyyah, Majmûah al-Fatâwâ, vol. XVI. Maktabah al-'Ubaikan, Riyadh, cet. I, 1998, hal. 343.
[11] Ibnu Qudamah, op. cit., hal. 468.
[12] Ibid., hal. 457.
[13] Ibnu Taimiyyah, op. cit., hal. 341.
[14] Ibnu Taimiyyah, op. cit., hal. 341.
[15] Shaleh bin Fauzan bin 'Abdullah Fauzan, op. cit., hal. 375.
[16] Dia adalah suami atau wali. Jika wali yang memaafkan, maka suami dibebaskan dari membayar mahar yang seperdua, sedangkan jika suami yang memaafkan, maka dia membayar seluruh mahar.
[17] Ibnu Qudamah. op.cit., hal. 342.
[18] Dr. Yusuf al-Qaradhawy, Fatâwâ Mu’âshirah, vol. II, Dâru'l Qalâm, Kairo, cet. IV, 2004, hal. 343.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :