PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Kewajiban Istri yang Menjadi Hak Suami (Bagian 1)



Islam telah menetapkan kewajiban bagi suami terhadap istrinya dan Islampun juga telah menjelaskan hak-hak suami. Semua itu bertujuan agar tercipta keseimbangan dalam keluarga. Di antara hak-hak tersebut adalah:

1.      Mengagungkan Hak-hak Suami atas Istri

Kewajiban istri yang paling utama adalah mengagungkan hak-hak suaminya. Hal ini dikarenakan suami menduduki kedudukan yang paling tinggi dalam rumah tangga.[1] Allah berfirman: “Dan para wanita mempuyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan yang lebih daripada istrinya”. (QS. al-Baqarah: 228)
Wajhu al-Dilâlah

Ayat di atas menerangkan bahwa istri mempunyai hak yang sama dengan suaminya. Istri boleh menuntut haknya sebagai istri. Begitu juga dengan suami, dia juga mempunyai hak atas istriya dan diapun bisa menuntut haknya. Hanya saja Allah Swt. lebih meninggikan hak suami atas istrinya karena suami mempunyai kewajiban yang lebih besar dalam menjaga keselamatan dan kesejahteraan keluarga.[2] Rasulullah Saw. bersabda: “Jika manusia boleh bersujud kepada manusia. Sungguh aku akan perintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya, karena Allah telah mejadikan begitu besarnya hak mereka (suami) atas istrinya”. (HR. Abu Daud)[3]

Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas menunjukkan betapa besarnya hak suami terhadap istri. Hal ini dikarenakan tanggung jawab suami dalam keluarga lebih besar yaitu sebagai pengayom, pemimpin dan pendidik istri. Ibnu Qudamah menambahkan dalam kitab Mughniy: Hak suami atas istri lebih besar dari hak istri atas suaminya, sebagaimana Firman Allah: "Para suami mempunyai satu tingkatan yang lebih daripada istrinya". [4]

Salah satu sebab dimasukkannya wanita ke surga adalah ridha suaminya. Sebab ridha suami merupakan wujud nyata pengabdiannya terhadap suaminya. Dengan demikian, ridha tersebut merupakan pertanda bahwa istri melakukan apa yang diwajibkan Allah atas dirinya.[5]

Selain harus mengagungkan hak suami, istri juga dilarang menyakiti perasaan suami; selalu menjaga nama baik suami; kehormatan suami; dan selalu mengerjakan apa yang disukai suami sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Menyakiti di sini bisa berbentuk fisik atau non-fisik, seperti, pandangan dan tingkah laku.

2.      Perlakuan yang Baik dari Istri
Sebagaimana istri mendapatkan perlakuan yang baik dari suami, begitu juga sebaliknya; kalau suami juga berhak mendapatkan perlakuan baik dari istrinya. Allah berfirman: "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. (QS. al-Baqarah: 228)

Wajhu al-Dilâlah:
Ayat di atas sifatnya umum, tidak saja saling memperlakukan pasangannya dengan baik, tapi termasuk juga saling mentaati, menjaga nama baik dan saling membantu. Syariat ataupun adat tidak menafikan hak suami dan istri untuk saling memperlakukan pasangannya dengan baik, tidak saling memberatkan, dan tidak saling menyakiti satu sama lainnya.

Sebagian ulama mengartikan memperlakukan dengan baik adalah saling meridhai. Jika suami melakukan kewajibanya, istri akan ridha dengan apa yang dikerjakan suami. Begitu juga sebaliknya; suami selalu ridha dengan apa yang diperbuat oleh istri selama tidak bertentangan dengan syariat.

3.      Kepemimpinan Suami terhadap Istri
Allah Swt. berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian  yang lain (wanita), dan  karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.  (QS. an-Nisâ`: 34)

Wajhu al-Dilâlah:

Maksud dari kepemimpinan yang tertera dalam ayat di atas adalah suami sebagai pendidik, pengayom dan penjaga wanita. Suami merupakan wakil istri dalam meyelesaikan berbagai masalah.
Ada dua alasan kenapa suami mejadi pemimpin bagi istrinya.[6]Pertama, Allah Swt. telah menjadikan suami sebagai pemimpin istri. Kedua, karena suami telah  membayar mahar kepada istri dan memberikan nafkah serta tuntutan-tuntutan lain yang telah diwajibkan syariat.
Kepemimpinan suami  terhadap istrinya sudah menjadi fitrah yaitu demi kemaslahatan istri. Oleh sebab itu Allah swt. mengutamakan suami atas istri dengan segala potensi dan kemampuan yang dianugrahkan Allah padanya, seperti kekuatan dalam mencari nafkah dan sebagainya. Begitu juga dengan istri melakukan segala sesuatu sesuai dengan kodrat kewanitaannya, seperti melahirkan, mendidik anak yang merupakan amanah dan rezeki dari Allah Swt..[7]

Suami dalam memimpin perempuan harus berlandaskan pada cinta dan kasih sayang. Allah berfirman: “Dan di antara kekuasaan-Nya Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadaya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya dan yang demikian itu benar-benar terdapat tandan-tanda  bagi kamu yang befikir”. (QS. ar-Rûm: 21)

Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas menjelaskan bahwa kepemimpian yang ditujukkan bagi suami kepada istrinya harus berdasarkan cinta dan kasih sayang. Sifat tersebut telah Allah tanamkan terhadap mereka. Kepemimpinan ini merupakan suatu kebiasaan yang baik dan merupakan suatu kelebihan bagi suami.
Kepemimpinan yang didasari cinta dan kasih sayang ini tidak bertentangan dengan hak suami untuk memberikan pengajaran, nasihat, melarang dan memerintah istrinya. Oleh sebab itu, janganlah istri memberatkan suami apabila suami telah menetapkan, melarang atau memerintahkan sesuatu jika di sana ada maslahat.

Kepemimpinan suami ini sangat penting untuk keberlagsungan hidup istri, karena kehidupan rumah tangga merupakan kebersamaan yang memakan waktu sepajang hayat. Oleh sebab itu sebagian ulama fikih menyebut akad nikah dengan `aqdu'l umri' (akad umur), karena dalam perjalanan dua orang insan yang begitu panjang mesti ada pemimpin yang mengatur segala urusan yang berkaitan dengan mereka berdua. Oleh sebab itu syariat mengembankan amanah tersebut kepada suami.
Dalam kehidupan istri banyak masalah penting yang harus melibatkan kepemimpinan laki-laki, seperti ketika melakukan perjalanan, maka untuk keberlangsungan dan kemaslahatan istri, istri harus ridha dengan kepemimpian suami atas dirinya. Dengan adanya keridhaan istri dengan kepemimpinan suami maka urusan dalam rumah tangga akan mudah karena adanya kesepakatan kedua belah pihak. Salah satu bentuk keridhaan istri yaitu menerima suami sebagai pemimpin dan istri taat terhadap suami selama tidak bertentangan dengan syariat.

[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal.  274
[2] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 18.
[3] Abu Dawud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani Al- Azdari, op. cit., vol. VI, hal. 178.
[4] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 18.
[5] Ibnu Al-Hammam al-Hanafi, Fathu'l Qadîr, op. cit., vol. III, Bûlâq, Mesir, 1315 H., hal. 109.

[6] Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, al-Jâmi’u li Ahkâmi’l Qur’ân, vol. V, Dâru’l Hâdîts, Kairo,  2002, hal. 190 dan lih. juga Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 277.

[7] Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal.  278.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]