PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH
Wahyudi Abdurrahim, Lc.
(Ketua PCIM Mesir 2008-2010 Hingga 2011)
Prolog
Perbedaan penetapan awal bulan kamariah sesungguhnya disebabkan karena berbedanya dasar yang digunakan. Diantaranya ada golongan yang berpegang teguh kepada rukyat sebagai dasar penetapan. Ada pula golongan yang mendasarkan penetapannya pada saat terjadi ijtimak matahari dan bulan. Ada lagi golongan yang mendasarkan pada hisab wujudul hilal. Ada pula golongan yang menetapkan awal bulan kamariah dengan dasar kaidah-kaidah tertentu yang dikenal dengan hisab urfi.
Dari perbedaan metodologi tersebut, pada akhirnya berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Berikut ini kami akan menyampaikan penentuan awal bulan kamariah perspektif Muhammadiyah.
Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah
Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan ragam cara penetapan awal bulan kamariah:
- Rukyatul hilal.
- Persaksian rukyatul hilal dari seorang yang adil.
- Menyempurnakan bilangan Sya'ban menjadi 30 hari.
- Dengan perhitungan hisab.
Rukyatul hilal digunakan apabila posisi hilal memiliki kemungkinan untuk di observasi. Hingga kini, kemungkinan (visibilitas) hilal dapat di observasi belum didefinisikan secara pasti. Danjon misalnya, setelah melakukan penelitian berulang-ulang tentang hilal, menyatakan bahwa bulan sabit yang posisinya mendekati matahari tidak dapat terlihat apabila jarak sudutnya kurang dari 8 derajat. Ketentuan ini rupanya oleh Diezer diperkuat dengan hasil penelitiannya di Candilly Obeservatory, bahwa sebagai syarat agar hilal dapat teramati pada saat matahari terbenam harus mempunyai jarak sudut 8 derajat, dan bulan pada saat itu minimal berada pada ketinggian 5 derajat.
Tatkala matahari terbenam, hilal berada pada jarak sudut 8 derajat dengan matahari dan memiliki ketinggian 5 derajat, lantas ada berita bahwa seseorang telah melihat hilal, atau ada orang yang adil yang menyaksikan kebenarannya, maka kaum muslimin akan menerima hasil rukyat itu termasuk Muhammadiyah. Itulah sebabnya dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan:
[الصَّوْمُ وَالفِطْرُ بِالرُّؤْيَةِ]
"berpuasa dan beridul fitri dengan rukyat"
Keputusan itu hendaknya ditafsirkan pada saat kondisi hilal berada pada batas imkanur rukyat, sehingga hilal dapat dilihat. Dalam kondisi serupa ini, Muhammadiyah akan memulai puasanya dengan rukyat. Kemudian apabila hilal tidak mungkin dilihat karena posisinya di bawah ufuk, Muhammadiyah menerima istikmal sebagai jalan keluar dalam menghadapi kesulitan dalam penetapan hukum. Akan tetapi, bila hilal tidak mungkin dilihat karena tertutup awan, atau posisinya tidak berada pada imkanur rukyat, maka jalan yang ditempuh adalah menggunakan hisab. Itulah sebabnya dalam HPT disebutkan:
[وَ لاَ مَانِعَ بِالحِسَابِ]
"dan tidak ada halangan dengan (menggunakan) hisab"
Jika ada pertanyaan, mengapa Muhammadiyah menggunakan hisab astronomi? Jawabannya adalah karena Muhammadiyah menganggap melihat hilal bukan suatu ibadah (ta’abbudî), namun hanya sarana (wasîlah) yang dapat digunakan dengan mudah untuk mengetahui awal bulan kamariah. Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal. Tidak ditemukan satupun dalil dalam hadis atau dalam al-Qur'an yang menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria hisab. Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomi, bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah terjadi ijtimak. Inilah yang kemudian menjadi kriteria hisab bahwa awal bulan baru ditandai dengan wujudnya hilal. Tandanya adalah apabila matahari terbenam lebih dahulu dari bulan.
Muhammadiyah-pun mengalami perkembangan dalam menetapkan sistem hisab yang digunakannya. Mula-mula Muhammadiyah menggunakan sistem ijtimak qablal gurub. Sekitar tahun 60-an, Muhammadiyah beralih kepada sistem wujudul hilal, meskipun kemungkinan pada mulanya tidak diterapkan sepenuhnya untuk menetapkan seluruh bulan-bulan kamariah, melainkan untuk bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah saja. Namun saat ini teori wujudul hilal itu digunakan untuk keseluruhan bulan kamariah.
Ufuk yang dijadikan patokan untuk menentukan wujud atau tidaknya hilal adalah ufuk hakiki. Hal ini sangat tegas dinyatakan oleh Ir. H. Basith Wahid, bahwa sejak tahun 1969 yang dipilih adalah sistem wujudul hilal, yang diperhitungkan adalah saat terjadinya ijtimak plus posisi bulan terhadap ufuk hakiki pada saat matahari terbenam. Kecenderungan Muhammadiyah ke arah penggunaan sistem hisab wujudul hilal sudah tampak sejak Majelis Tarjih mengambil keputusan tentang masalah hisab dan rukyat pada tahun 1932. Istilah yang digunakan dalam keputusan itu adalah 'wujudul hilal'. Dalam aplikasinya, Muhammadiyah menerapkan konsep wilayatul hukmi, yaitu ketika hilal sudah wujud di sebagian wilayah Indonesia, maka bagian wilayah lainnya yang belum wujud mengikuti wilayah yang sudah positif (wujud).
Konsep wilayatul hukmi ini memiliki kelemahan. Jika kita kita simak hadis Kuraib, Ibn Abbas dalam prakteknya lebih menggunakan sistem matlak lokal, bukan wilayatul hukmi. Persoalan lain, misalnya wujudul hilal hanya melewati sebagian wilayah Indonesia, apakah daerah yang belum wujud 'dipaksakan' mengikuti wilayah yang sudah wujud? Konsep wilayatul hukmi ini juga akan menemui masalah ketika diterapkan di negara lain yang mempunyai teritorial luas, seperti Rusia.
Sikap Muhammadiyah Tentang Penyatuan Hari Raya
Tidak seperti kalender miladiyah yang berbasis peredaran matahari, kalender hijriyah yang berbasis peredaran bulan relatif rumit bila dikaitkan dalam menetapkan bulan baru. Dalam agama Islam, puasa dan hari raya ditetapkan berdasarkan penanggalan bulan. Di akui bahwa penetapan awal bulan bukan hal yang sederhana. Kapan harus memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri, kapan jatuh hari wukuf, dan hari-hari peribadatan yang lainnya semua tergantung dan terkait pada kapan tanggal satu setiap bulan ini dimulai dan di akhiri.
Dalam realitasnya, cukup banyak tata cara (metode), tradisi dan teori yang berkembang di tengah masyarakat untuk menetapkan awal sebuah bulan. Ada yang memakai ru’yatul hilal (melihat hilal), ada yang menggunakan hisab urfi, hisab astronomis, dan lain sebagainya. Semua tata cara, teori dan tradisi itu terus berkembang sesuai dengan paradigmanya masing-masing. Banyaknya aliran, teori dan tradisi yang berkembang ini seluruhnya disertai aneka dasar pemikiran yang beragam sehingga acap kali menyebabkan perbedaan penentuan kapan jatuhnya tanggal 1 dalam setiap bulan. Sesama ahli rukyat juga sering berbeda dalam menentukan prasyarat dapat atau tidaknya hilal terlihat. Ada yang menyatakan kalau bulan belum mencapai 5 derajat maka bulan belum dapat dilihat, tetapi ada juga yang mengklaim dapat melihat hilal walau ketinggiannya kurang dari 5 derajat, bahkan ada yang bisa melihat bulan dalam ketinggian kurang dari 2 derajat bahkan kurang dari 0 derajat.
Pemerintah (Kementrian Agama) yang menetapkan ketinggian bulan agar dapat dilihat minimal 2 derajat sebenarnya penetapan kompromis antara mazhab imkanur rukyat 5 derajat dengan mazab wujudul hilal. Kompromi ini dapat dikatakan sebagai kompromi yang 'asal-asalan' karena dalam praktiknya bulan pada ketinggian 2 derajat itu tidak akan dapat terlihat. Selain itu, ada juga pendapat yang mengusulkan bahkan mewajibkan untuk mengikuti penetapan bulan kamariah berdasarkan rukyat dan penetapan pemerintah Arab Saudi. Perbedaan berkali-kali penetapan tanggal satu bulan kamariah ini akhirnya menimbulkan rasa frustasi umat yang terlalu mendewakan keseragaman dalam berbagai hal. Keseragaman yang kemudian dipaksakan dengan alasan ukhuwah (persaudaraan, persatuan). Seakan-akan, kalau penetapan tanggal 1 Syawal-nya tidak bersama, ukhuwah umat telah terbelah. Padahal, keberagaman penetapan tanggal 1 bulan kamariah ini seharusnya diterima sebagai sesuatu yang biasa saja, sebagaimana penerimaan kita pada rakaat salat tarawih. Dalam salat tarawih ada yang melakasanakan 20 rakaat dan ada pula yang melaksanakan 11 rakaat, namun ukhuwah umat tidak terbelah.
Bagi penulis, perbedaan metode tersebut sesungguhnya sama dengan perbedaan ulama tentang persoalan fikih lainnya. Sebagaimana fikih mempunyai usul fikih sebagai sarana penggalian hukum, maka penentuan awal bulan juga mempunyai metode tersendiri yang bisa juga disebut sebagai usul fikih falak. Dengan kata lain, bahwa perbedaan tersebut adalah wajar. Penyatuan awal bulan baru bisa terlaksana manakala seluruh ormas mau merumuskan dan menyetujui satu konsep tentang usul fikih falak yang bisa disepakati bersama. Persoalannya, mungkinkah ini dapat terwujud?
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kemukakan beberapa kesimpulan:
- Hisab yang digunakan Muhammadiyah terus berkembang dan semakin dapat diterima. Ini karena hisab dalam aplikasinya menggunakan temuan-temuan terbaru dalam ilmu pengetahuan. Penggunaannya dalam penentuan awal bulan kamariah juga semakin menguat dan dominan.
- Menurut Muhammadiyah, awal bulan pada hakikatnya tidak lain ketika wujud pada saat terbenam matahari. Sedangkan hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang muncul pada saat matahari terbenam. Keadaan demikian dicapai pada saat setelah terjadi konjungsi (ijtimak) antara matahari dan bulan. Ini kemudian oleh Muhammadiyah disebut sebagai sistem 'wujudul hilal'.
- Untuk mengetahui adanya hilal dapat dengan rukyat (melihat langsung) atau dengan hisab.
- Metode hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah dapat dikategorikan sebagai metode ilmu pengetahuan modern.
- Hisab wujudul hilal bukan untuk menentukan hilal mungkin dilihat atau tidak, akan tetapi untuk dijadikan dasar dalam menetapkan awal bulan kamariah dan sekaligus dijadikan sebagai bukti bahwa bulan baru kamariah sudah tiba atau belum.
- Dalam praktiknya, Muhammadiyah juga menggunakan konsep wujudul hilal plus wilayatul hukmi.
- Banyaknya perbedaan dalam menentukan metode penentuan awal bulan (ushl fikih falak) berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Perbedaan tersebut hendaknya dianggap sebagai perbedaan furu'iyyah fiqhiyyah yang lumrah dan perlu penyikapan secara toleran.
- Apa yang kami paparkan disini hanya sekedar pengantar dalam memahami penetapan awal bulan kamariah perspektif Muhammadiyah. Meski sangat singkat, mudah-mudahan sudah dapat mengantarkan kita untuk mengenal tentang konsep penetapan awal bulan perspektif Muhammadiyah. Wallau a'lam.
***
Daftar Pustaka
- Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.
- Drs. H. Abdur Rachim, Penetapan Awal Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
- Drs. Oman Fathurohman SW, MA., Model Hisab Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
- Dr. Susiknan Azhari, MA., Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern [Yogyakarta: Suara Muhammadiyah].
- http://Suara-Muhammadiyah.com
- http://Muhammadiyah.or.id
Lampiran:
TEKS KEPUTUSAN TARJIH DARI WAKTU KE WAKTU
A. Keputusan Tarjih dari Waktu ke Waktu
- 1. Pada Kitab Puasa: Cara Berpuasa
Bila kamu menyaksikan datangnya bulan Ramadlan dengan melihat bulan atau persaksian orang yang adil atau dengan menyempurnakan bulan Sya'ban tiga puluh hari apabila berawan atau dengan hisab, maka puasalah dengan ikhlas niatmu karena Tuhan Allah Swt belaka dan berniatlah puasa sebelum fajar, kecuali bila kamu (wanita) sedang datang bulan atau sedang nifas, maka berbukalah dan gantilah puasa pada hari yang lain.
- Pada Kitab Beberapa Masalah: Masalah Hisab dan Ru'yah
Berpuasa dan Id Fitrah itu dengan ru‘yah dan tidak berhalangan dengan hisab... Apabila Ahli Hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga; manakah yang mu'tabar. Majlis Tarjih memutuskan bahwa ru'yah-lah yang mu'tabar.
- Pada Kitab Keputusan Wiradesa: Masalah Hisab/Astronomi
a) Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah Majlis Tarjih untuk berusaha mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan untuk kesempurnaan penentuan hisab dan mematangkan persoalan tersebut untuk kemudian membawa acara itu pada muktamar yang akan datang.
b) Sebelum ada ketentuan Hisab yang pasti mempercayakan kepada PP. Muhammadiyah untuk menetapkan 1 Ramadlan dan 1 Syawwal serta 1 Dzulhijah.
c) Selambat-Iambatnya 3 bulan sebelumnya, PP. Muhammadiyah Majlis Tarjih sudah mengirimkan segala perhitungannya kepada PWM untuk mendapatkan koreksi yang hasilnya segera dikirimkan kepada PP. Muhammadiyah Majlis Tarjih.
d) Tanpa mengurangi keyakinan/pendapat ahli Falak di lingkungan keluarga Muhammadiyah, maka untuk menjaga ketertiban organisasi, setiap pendapat yang berbeda dengan ketetapan PP. Muhammadiyah supaya tidak disiarkan.
- Pada Keputusan Munas Tarjih XXV Tentang Penetapan Awal Bulan Qamariah dan Mathla'
a) Hisab hakiki dan rukyat sebagai pedoman penetapan awal bulan Kamariah memiliki kedudukan yang sama.
b) Hisab hakiki yang digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah adalah hisab hakiki dengan kriteria wujudul-hilal.
c) MathIa' yang digunakan adalah Mathla' yang didasarkan pada wilayatul hukmi.
Mengusulkan kepada MTPPI PPM untuk:
- Meninjau kembali pernyataan "Apabila Ahli Hisab menetapkan bahwa bulan belum nampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga; manakah yang mu'tabar? Majelis Tarjih memutuskan bahwa rukyatlah yang mu'tabar" sebagaimana termaktub dalam HPT.
- Memasukkan Ilmu Falak dalam kurikulum sekolah-sekolah, Pesantren, dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
- Menyusun buku-buku panduan dan rujukan hisab dan rukyat yang digunakan oleh Muhammadiyah.
- Membina kader-kader tenaga teknis hisab atau ahli ilmu falak dimasing-masing Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
Pada Keputusan Munas Tarjih XXVI Tentang Hisab dan Rukyat
- Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan Rukyat sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadlan, Syawal dan Zulhijah. Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan adalah:
- Al-Qur'an Surat Al-Baqarah [02] ayat 185:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: "Karena itu, barangsiapa diantara kamu yang menyaksikan bulan Ramadlan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". (QS. Al-Baqarah [02]: 185)
- Al-Qur'an Surat Yunus [10]ayat 05:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَاب
Artinya: "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)". (QS. Yunus [10]: 05)
- Hadis dari Abdullah bin Umar:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ.
Artinya: "Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. bahwasanya Rasulullah Saw menjelaskan tentang bulan Ramadlan dan berkata: Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihat hilal. Bila awan menutup penglihatanmu maka perkirakanlah (kadarkanlah)". (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
- Hisab sebagaimana tersebut pada poin satu yang digunakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah ialah Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul Hilal. Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan adalah:
- AI-Qur'an Surat Ar-Rahman [55] ayat 05:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
Artinya: "Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (QS. Ar-Rahman [55]: 05)
- Al-Qur’an Surat Yasin [36] ayat 40:
لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
Artinya: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing masing beredar pada garis edarnya“. (Q.S Yasin [36]: 40)
- Matlak yang digunakan adalah matlak yang didasarkan pada Wilayatul Hukmi (Indonesia). Adapun dalil-dalil yang digunakan adalah :
a. Hadis dari Kuraib :
عن كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام . قال : فقدمت الشام ، فقضيت حاجتها واستهل علي رمضان وأنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر و فسألنى عبد الله بن عباس رضى الله عنهما ، ثم ذكر الهلال فقال متي رأيتم الهلال؟ فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت رأيته؟ فقلت نعم و راه الناس و صاموا و صام معه معاوية فقال لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكفي برؤية معاوية و صيامه؟ فقال لا هكذا أمرنا رسول الله صلي الله عليه و سلم.
Artinya: "Dari Kuraib (diriwayatkan bahwa) sesungguhnya Ummu Fadhl binti al-Harits mengutusnya menemui Muawiyah di negeri Syam. Ia berkata: Saya tiba di negeri Syam dan melaksanakan keinginannya. Dan masuklah bulan Ramadhan sementara saya berada di negeri Syam. Saya melihat hilal pada malam hari Jumat. Selanjutnya saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Lalu Abdullah bin Abbas ra. bertanya kepada saya dan menyebut tentang hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab: Kami melihat hilal pada malam hari Jumat. Ia bertanya lagi: Apakah kamu sendiri yang melihatnya ? Maka jawab Kuraib, Benar, dan orang lain juga melihatnya. Karenanya Muawiyah dan orang-orang disana berpuasa. Lalu Abdullah bin Abbas berkata: Tetapi kami melihat hilal pada malam hari Sabtu, karena itu kami akan terus berpuasa hingga 30 hari (istikmal) atau kami melihat hilal sendiri. Saya (Kuraib) bertanya: Apakah kamu (Abdullaah bin Abbas) tidak cukup mengikuti rukyat Mu’awiyah (di Syam) dan puasanya. Abdullah bin Abbas menjawab: Tidak, demikianlah yang Rasulullah Saw perintahkan kepada kami." (HR. Muslim)
b. Keumuman Hadis lbn Umar :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ.
Artinya: "Dari Abdullah bin Umar ra. (diriwayatkan bahwa) Rasulullah Saw menjelaskan tentang bulan Ramadhan dan berkata: Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula berbuka sehingga kamu melihat hilal. Bila awan menutup penglihatanmu maka perkirakanlah (kadarkanlah)". (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Apabila garis batas wujudul hilal awal bulan kamariah tersebut diatas membelah wilayah Indonesia, maka kewenangan menetapkan awal bulan tersebut diserahkan kepada kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Apa yang dikemukakan di atas adalah teks Keputusan Tarjih dari waktu ke waktu. Dalam kaitan dengan hisab dan rukyat, keputusan-keputusan tersebut mencerminkan perkembangan ijtihad tarjih mengenai masalah hubungan hisab dan rukyat untuk menentukan awal bulan kamariah. Pada huruf (Al), yang merupakan Putusan Tarjih pertama (di Medan tahun 1939), dinyatakan ada empat cara untuk menentukan awal Ramadhan, yaitu: (1) rukyat, (2) kesaksian orang adil, (3) penggenapan bulan Sya'ban 30 hari, (4) hisab.
Catatan:
Sesungguhnya dalam putusan itu hanya ada dua cara dalam menentukan awal bulan, yaitu rukyat dan hisab. Sedangkan kesaksian orang adil dan penggenapan bulan Sya'ban 30 hari hanya varian belaka dari rukyat, karena kesaksian orang adil maksudnya adalah kesaksian seseorang yang telah melihat hilal dan orang lain yang tidak melihat memulai puasa berdasarkan kesaksian orang adil tersebut, begitu pula penggenapan bulan Sya'ban 30 hari, yaitu karena rukyat tidak berhasil.
Diktum (A2) memperlihatkan kecenderungan Majelis Tarjih untuk lebih mengutamakan rukyat daripada hisab. Hal ini terlihat dalam hal apabila terjadi pertentangan antara hisab dan rukyat dimana rukyat didahulukan. Putusan Wiradesa (A3) memperlihatkan kecenderungan Majelis Tarjih untuk lebih mengutamakan hisab. Hal itu terlihat dalam amanat agar Majelis Tarjih melakukan pengkajian dan pengumpulan bahan-bahan untuk penyempurnaan hisab, dan juga memerintahkan agar Majelis Tarjih melakukan hisab selambat lambatnya tiga bulan sebelum Ramadhan dan hasilnya disampaikan ke seluruh PWM untuk dikoreksi (tentunya kemudian untuk menjadi bahan penetapan awal Ramadhan). Tampaknya dengan semangat Keputusan Wiradesa inilah hingga kini digunakan hisab untuk menentukan awal bulan kamariah.
Keputusan Munas Tarjih XXV di Jakarta tahun 2000 (A4) menetapkan bahwa hisab hakiki dan rukyat sebagai pedoman penetapan awal bulan kamariah memiliki kedudukan yang sama. Dan memerintahkan Majelis Tarjih agar meninjau diktum keputusan pada bagian akhir huruf A2 tentang lebih mengutamakan rukyat dalam hal terjadi pertentangan antara hisab dan rukyat. Keputusan Munas Tarjih XXVI di Padang tahun 2003 mempertegas keputusan Jakarta bahwa hisab mempunyai fungsi dan kedudukan sama dengan rukyat sebagai pedoman penetapan awal bulan kamariah, serta melengkapinya dengan dalil-dalil syar'i, dan dengan demikian rukyat tidak lebih diutamakan daripada hisab.
Dengan penjelasan singkat di atas, maka dari keseluruhan teks putusan Tarjih di atas dapat disimpulkan beberapa tuntunan mengenai cara melaksanakan ibadah puasa Ramadhan yang meliputi:
- Puasa Ramadhan dimulai apabila bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, dan metode menentukan masuknya bulan Ramadhan-Syawal dan bulan-bulan lainnya dilakukan dengan dua cara, yaitu hisab dan rukyat. Dan bahwa kedudukan hisab adalah sama dengan rukyat, serta hisab yang digunakan adalah hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal. Dalam hal garis batas wujudul hilal membelah dua wilayah kesatuan Republik Indonesia, maka kewenangan menentukan awal Ramadhan-Syawal dan Zulhijah diserahkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
- Pelaksanaan puasa Ramadhan dengan mengikhlaskan niat kepada Allah Swt dan niat itu dilakukan sebelum waktu terbit fajar.
- Halangan berpuasa bagi wanita, yaitu apabila ia dalam keadaan haidh dan nifas; dalam keadaan ini wanita tidak boleh berpuasa, dan puasa yang tidak dikerjakan karena larangan tersebut harus dibayar (diganti) pada hari lain di luar bulan Ramadhan.
- Rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa, yaitu: pertama, bagi orang dalam perjalanan, dan kedua: bagi orang sakit; mereka boleh tidak berpuasa namun wajib diganti pada hari lain di luar bulan Ramadhan baik secara berturut-turut maupun tidak. Ketiga, bagi orang sakit menahun atau tua yang tidak mungkin lagi kembali sehat dan kuat mengerjakan puasa, mereka ini tidak berpuasa, tetapi membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin satu mud (0,5 liter) untuk satu hari. Sama dengan yang terakhir ini adalah wanita hamil dan menyusui.
(DOKUMENTASI PCIM MESIR)
Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarakatuh...
BalasHapusTerima kasih atas postingannya, salam Ukhuwah dari saya (kami) Warga Muhammadiyah di Kota Depok.