PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Hak-hak Wanita Dalam al-Qur’an

Hak-hak Wanita Dalam al-Qur’an

Muhammadiyah

Dalam masyarakat Arab sebelum Islam hak-hak wanita secara umum telah terampas namun pada kalangan tertentu seperti pembesar-pembesar kabilah, hak-hak wanita mereka telah terpenuhi seperti Hindun isteri Abi Sufyan dan Khodijah R.A sebelum menjadi isteri Nabi S.A.W.

Ketika Islam datang, Islam membawa pencerahan bagi para wanita, ia memberikan hak-hak mereka yang sesuai dengan fitrah mereka sebagai seorang wanita. Semua hak-hak wanita yang diberikan Islam telah tercantum secara detail dalam Al-Qur’an. Adapun hak-hak itu sebagai berikut:

A. Hak untuk Hidup
Hidup adalah pemberian dari Allah SWT. dan merupakan hak bagi setiap manusia oleh karena itu, pembunuhan dilarang oleh Islam kecuali pada keadaan yang dibenarkan seperti Qishosh. Allah menjelaskan dalam ayatnya surat an-Nisa’ ayat 93:

و من يقتل مؤمنا متعمدا فجزاءه جهنم خالدا فيها و غضب الله عليه و لعنه و اعدله عذابا عظيما

“Dan siapa orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah murka padanya dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisâ’: 93)

Selain itu Allah juga mengumpamakan seseorang yang membunuh atau merusak di muka bumi bagaikan membunuh seluruh manusia. Allah mengungkapkannya dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 32:
من اجل ذالك كتبنا على بني اسراءيل انه من قتل نفسا بغير نفس او فساد فى الأرض فكأنما قتل الناس جميعا


“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa siapa orang yang membunuh manusia bukan karena (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya…”.

Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 45:

و كتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس و العين بالعين والأنف بالأنف و الأذن بالأذن و السن بالسن و الجروح قصاص فمن تصدق به فهو كفارة له

“Dan Kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukapun ada qishashnya. Siapa orang yang melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya…”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa sifat syirik tidak berpengaruh terhadap ketetapan hukum ini, hal ini menunjukkan bahwa Islam benar-benar telah menetapkan hak untuk hidup bagi setiap manusia laki-laki ataupun wanita.[1]

B. Hak Beragama

Maksud dari hak beragama adalah kebebasan dalam beraqidah (berkeyakinan) dan kebebasan melakukan ibadah. Persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam kebebasan beragama dan beribadah, telah dicantumkan dalam ِِAl-Qur’an, yaitu:

انّ المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصائمين والصائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاكرين الله كثيراً والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجراً عظيماً

"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang selalu dalam ketaatannya; laki-laki dan perempuan yang jujur; laki-laki dan perempuan penyabar; laki-laki dan perempuan yang khusyu '; laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (QS. Al-Ahzab: 35).

Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin, Allah Swt. berfirman:

...ان أكرمكم عند الله أتقاكم...

“…Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu…”.(QS. al-Hujurat: 13).

Dalam segi pahala melakukan kebaikan, Allah Swt. pun tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita, keduanya akan menerima pembalasan dari kebaikan mereka dan masuk surga. Allah Swt. menjelaskan dalam firman-Nya:

فاستجاب لهم ربهم أني لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعضٍ..

"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain ...." (QS. Al-Imran: 195).

Jadi Al-Qur'an tidak menganut faham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu melainkan Pria dan wanita dan suku bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi 'abid (hamba).

C. Menuntut Ilmu

Islam agama pertama yang mewajibkan umatnya menuntut ilmu, sebagaimana dalam hadits Rasulullah Saw.:

طلب العلم فريضة على كل مسلم



“Mencari ilmu wajib bagi setiap muslim (baik laki-laki ataupun wanita)”

Wanita seperti laki-laki, yaitu tidak dapat melaksanakan kewajibannya tanpa memiliki ilmu, oleh karena itu Islam telah memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik dan mengajari anaknya dengan baik, dalam hadits Rasulullah dijelaskan, yang artinya: “Siapa saja dari seorang laki-laki yang telah memilik anak perempuan, maka ajarilah dia, perbaguslah ajarannya dan ajarkanlah dia sopan santun, perbaguslah adabnya”

Dalam bidang pendidikan tidak perlu diragukan lagi, Al-Qur'an dan Hadits banyak memberikan pujian kepada perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan. Al-Qur'an menyinggung sejumlah tokoh perempuan yang berprestasi tinggi, seperti Ratu Balqis, Maryam, istri Fir'aun, dan lian-lain.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah didatangi kelompok kaum perempuan yang memohon kesediaan Nabi untuk menyisihkan waktunya guna mendapatkan ilmu pengetahuan.[2]

Sejarah Islam banyak menceritakan beberapa nama perempuan yang telah menguasai ilmu pengetahuan penting seperti 'Aisyah isteri Nabi sang perawi hadits, al-Syekhah Syuhrah yang digelari dengan "Fakhr al-Nisa" (kebanggaan kaum perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, Rabi'ah al-Adaw'iyah (seorang sufi) dan lain sebagainya.

D. Dari Segi Hukum dan Politik

Sebagai warga negara wanita berhak mengemban amanah tugas-tugas kenegaraan, seperti jabatan peradilan (hukum) dan politik, Abu Hanifah memperbolehkan wanita menjadi seorang hakim kecuali pada masalah qishash dan hudud (kriminalitas) dan ibnu Jarir at-Thobari juga telah memperbolehkan wanita menjadi hakim secara mutlak, baik dalam masalah krimitalitas ataupun yang lain, adapun alasannya karena tugas kehakiman sama dengan tugas memberi fatwa, sedangkan salah satu dari syarat pemberi fatwa bukanlah hanya laki-laki.[3]

Menurut hemat penulis wanita boleh berkecimpung dalam masalah hukum dan politik tetapi harus sesuai dengan sisi kemaslahatan bagi wanita itu sendiri dan kemaslahatan bagi usrah (keluarga), kemaslahatan masyarakat, serta kemaslahatan Islam. Karena tidak ditemukan ayat atau hadits yang melarang kaum perempuan aktif dalam dunia politik. Sebaliknya Al-Qur'an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.

Adapun dilarangnya wanita untuk menjadi presiden atau sejenisnya, bukan untuk menyepelekan wanita tapi karena patut kita akui bahwa potensi wanita biasanya tidak tahan untuk menghadapi konfrontasi yang mengandung resiko besar, namun terkadang ada seorang wanita yang lebih mampu daripada laki-laki, seperti Ratu Saba' yang telah diceritakan Al Qur'an. Tetapi hukum tidak bisa berdasarkan asas yang langka, melainkan harus berdasarkan apa yang banyak berlaku. Karena itu ulama mengatakan, "Sesuatu yang langka itu tidak bisa menjadi landasan hukum."

Wanita juga memiliki kebebasan dalam memenuhi haknya untuk berpartisipasi pada masalah-masalah kenegaraan. Adapun hak-hak wanita dalam bidang politik yaitu:

ü Hak memilih seorang pemimpin

Al-Quran sudah menetapkan hak wanita dalam membai’at seorang pemimpin, disebutkan dalam surat al-Mumtahanah ayat 12:

يآ ايها النبي اذا جآءك المؤمنات يبايعنك على ان لا يشركن بالله شيئاً ولايسرقن ولا يزنين ولايقتلن أولادهن ولايأتين ببهتان يفترينه بين أيديهن وأرجلهن ولايعصينك في معروف فبايعهن واستغفر لهن الله...

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina dan tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam rusan yang baik, maka terimalah janji setiap mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah Muhammad untuk mereka…”

ü Hak mendapatkan kedudukan tertentu dalam pemerintahan

Namun hak ini harus sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh wanita itu sendiri serta tidak menyalahi kodratnya sebagai wanita dan tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah.

ü Hak mengikuti permusyawaratan umum demi kemaslahatan umat

Islam telah menyuruh para pemimpin agar melakukan musyawarah dengan rakyatnya, laki-laki ataupun perempuan, masalah ini dijelaskan dalam Al-Qur’an.

...فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأمر...

“…..maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu…(QS. Ali-Imrân: 159)

Ayat diatas menggunakan kata hum (mereka laki-laki), namun yang dimaksud di sini adalah laki-laki dan perempuan karena disebutkan dalam sebuah kaidah nahwu “al-ashlu wi al-kalimah mudzakkar (asal sebuah kalimat adalah untuk laki-laki)”, dan hunnah (mereka perempuan) adalah cabangnya, jika disebut aslinya maka secara otomatis cabangnya akan ikut pula, jadi tidaklah salah penggunaan kalimat ini.[4]

ü Hak melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap pemimpin

Amar ma’ruf nahi mungkar memiliki posisi yang besar dalam Islam, dikatakan oleh Imam al-Qhazali: “ amar ma’ruf nahi mungkar adalah poros penting dalam agama”. Di dalam masalah takalif (kewajiban-kewajiban) agama wanita juga memiliki kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut (Islam), contohnya melakukan amar ma’ruf nahi mungkar atas sesamanya, sebagaimana Allah Swt. mensifati seorang beriman dalam Al-Qur’an:

والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة وبؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسوله اولئك سيرحمهم الله ان الله عزيز حكيم

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".(QS. At-Taubah: 71).

Kata awliya' dalam ayat tersebut di atas menurut Quraish Shihab mencakup kerjasama, bantuan, dari penguasaan, sedangkan "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.

Syarat-syarat diperbolehkannya wanita berkecimpung dalam masalah politik dan hukum:

1. Tidak meninggalkan kewajiban-kewajibannya seperti sebagai seorang istri ataupun ibu.

2. Pekerjaannya dalam politik dan hukum merupakan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang halal[5]

E. Bidang Ekonomi

Dalam bidang ekonomi wanita bebas memilih pekerjaan yang halal, baik di dalam atau di luar rumah, mandiri atau kolektif, di lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dari tetap menghormati ajaran agamanya. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah nama penting seperti Khadijah binti Khuwaylid (istri Nabi) yang dikenal sebagai komisaris perusahaan, Zaynab binti Jahsy, profesinya sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malhan yang berprofesi sebagai tukang rias pengantin, istri Abdullah ibn Mas'ud dan Qilat Ummi Bani Anmar dikenal sebagai wiraswastawan yang sukses, al-Syifa' yang berprofesi sebagai sekretaris dan pernah ditugasi oleh Khalifah 'Umar sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah. Begitu aktif kaum wanita pada masa Nabi, maka 'A'isyah pernah mengemukakan suatu riwayat "Alat pemintal di tangan wanita lebih baik dari pada tombak di tangan kaum laki-laki."

[1]. Sausan Fahdi al-Hawwal, al-Mar’ah fi at-Tashawwur al-Quranî, Dar al-‘Ulum al-‘Arabiyah, Bairut, 2004), hal: 335-336

[2]Musthafa at-Thahhan, al-Mar’ah fi Maukib ad-Da’wah, Dar at-Tawzî’ wa an-Nasyrul Islamiyah, Sayyidah Zainab, 1999, hal. 34

[3].Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol fi Ahkami al-Mar’ah wa Baiti al-Muslim fi asy-Syariah al-Islamiyah, al-Resalah Publishers, Beirut, 2000, hal. 301

[4]. Ali Jum’ah Muhammad , al-Mar’ah fi al-Hadhoroh al-Islamiyah baina Nushushi asy-Syar’I wa Turots al-Figh wa al-Waqi’ al-Ma’isy, Darul as-Salam, Kairo, cet. I, 2006, hal. 51-52

[5] . Abdul Karim Zaidan, op. cit, hlm.303

----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]