Sudahkan Anda Melakukan Ketaatan-Ketaatan ini pada Suami ?
Taat terhadap suami merupakan kewajiban yang pertama bagi istri. Sebab, suami merupakan pemimpin bagi istrinya. Allah Swt. berman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”. (QS. an-Nisâ`: 34)
Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas menjelaskan bahwa suami merupakan pemimpin bagi sitri. Kewajiban yang dipimpin terhadap pimpinan adalah mematuhi perintahnya selama tidak mengarah pada maksiat.[1]Allah Swt. berfirman: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyûznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka jaganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tiggi lagi Maha Besar ”. (QS. an-Nisâ`: 34)
Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan suami untuk memberi pelajaran kepada istrinya dengan menasehatinya, meninggalkannya atau memukul ketika istri tidak taat. Hal ini menunjukkan bahwa istri wajib taat kepada suaminya.
Adapun macam-macam ketaatan istri terhadap suaminya adalah:
a. Taat ketika Suami Mengajaknya Jimak (Hubungan Suami Istri)
Istri yang shalehah adalah istri yang taat dan patuh terhadap suaminya. Seorang istri harus mengikuti suaminya selama tidak mengarah kepada maksiat. Hal ini dikarenakan tidak ada taat bagi makluk jika dia memerintahkan untuk bermaksiat. Hadis Rasulullah Saw.: “Jika suami mengajak istriya ke tempat tidur dan istrinya menolak, maka baginya laknat para malaikat sampai pagi”. (HR. Abu Hurairah)
Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu hal yang harus ditaati istri adalah memenuhi permintaan suami untuk berjimak. Jika istri menolak tanpa ada alasan syar`I dan karena penolakannya tersebut menjadikan suaminya marah, maka malaikat akan melaknatnya sampai fajar datang. Ungkapan fajar ini merupakan kinayah, sebab hubungan suami istri tidak mesti di malam hari akan tetapi juga bisa di siang hari kecuali bulan Ramadhan. Jadi yang dimaksud dengan fajar di sini adalah sampai suaminya ridha dan tidak marah lagi.[2]
Ibnu Hajm mengatakan: “Diwajibkan kepada hamba sahaya dan yang merdeka untuk tidak menolak tuan dan suaminya ketika mereka mengajaknya berjimak kecuali ada halangan sakit, haid dan puasa wajib. Jika mereka menolak tanpa ada alasan syari’ maka mereka akan medapatkan laknat”.[3]
Suami berhak meminta istrinya untuk berjimak kapan saja, siang atau malam dan boleh juga bersenang-senang dengannya sesuai keinginan suami kecuali menjimak istri melalui dubur, karena Allah mengharamkan yang demikian.[4] Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian (suami) medatangi (menjimak) istri-istri di kelemahan mereka ”. (HR. Turmudzi) Rasulullah juga bersabda: “Allah melaknat orang yang mendatangi (menjimak) istri-istrinya di dubur”. (HR. Abu Daud)
Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas menjelaskan bahwa suami haram menggauli istrinya melalui dubur. Jika suami meminta yang demikian, maka istri tidak boleh menurutinya, karena hal tersebut merupakan maksiat.
b. Taat dalam Bersuci
Seorang istri harus taat kepada suami dalam masalah bersuci. Apabila istri berhenti haid atau nifasnya lalu suami memerintahkan untuk segera bersuci maka istri wajib mentatinya. Suami berhak memaksa istri jika dia menolak, sama saja apakah istrinya muslimah atau ahli kitab, sebab haid dan nifas meghalangi suami untuk melakukan jimak, sedangkan jimak merupakan hak suami. Oleh sebab itu, tindakan suami yang demikian tidak salah karena dia menuntut haknya dari istrinya. Suami yang memaksa istrinya untuk bersuci terkhusus bagi yang sudah baligh merupakan cara agar dia (istri) segera kembali melakukan kewajiban yang ditinggalkannya selama haid seperti salat.[5]
c. Taat dalam Kebersihan
Begitu juga dalam kebersihan, istri wajib taat terhadap suami. Jika suami meminta untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kebersihan rumah dan lingkungan maka tidak alasan bagi istri untuk menolaknya. Namun jika suami memaksa istri untuk memotong kuku, membuang kotoran dari tubuhnya (istri), apakah istri juga wajib taat? Sebagai jawaban, ulama berbeda pendapat:
Pertama, suami berhak memaksa istrinya untuk membersihkan kotoran yang ada di badannya, karena kesempuraan suami untuk bersenang-senang degan istrinya tidak lepas dari kebersihan badan istrinya. Ini adalah pendapat yang terkuat.[6]
Kedua, suami tidak berhak memaksa istrinya untuk membersihkan badannya dari kotoran, memotong kukunya dan lain sebaginya.[7]
d. Taat dalam Berhias
Apabila suami meminta istrinya untuk berhias, seperti memakai celak, memotong rambut, apakah istri harus memenuhi permintaan suami? Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat. Hanabilah berpendapat, tidak mesti seorang istri memakai pacar, pemerah wajah atau peghitam rambut, sebab yang demikian tidaklah terlalu urgen (dibutuhkan). Jika memakai pengharum untuk meghilangkan bau yang tidak sedap di tubuh atau untuk meghilangkan sesuatu yang tidak enak dipandang, maka istri mesti memakainya.
Syafiiyah berpendapat, istri tidak wajib memakai celak, pewarna pipi, minyak wangi atau perhiasan lainya. Namun, jika suami meminta maka istri wajib mentaatinya.
Sedangkan Hanafiyah berpendapat, apabila maksud berhias adalah untuk menambah kenikmatan dan kesempurnaan dalam bersenag-senang maka tidak wajib bagi istri berhias. Tetapi suami boleh memilih, jika mau dia boleh meminta istri untuk berhias dan istri harus mentaatinya. Namun jika tidak maka tidak mesti istri melakukannya.
e. Taat dalam Meninggalkan Perkara yang Sunat
Rasulullah Saw. bersabda: “Seorang istri tidak boleh berpuasa sunat dimana suaminya ada, kecuali suami mengizinkannya”.
Wajhu al-Dilâlah:
Hadis ini melarang istri untuk mengerjakan puasa sunat tanpa seizin suami jika suami berada di rumah. Alasan pelarangannya adalah: karena jika istrinya berpuasa, maka suami tidak bisa meminta istrinya untuk berjimak jika dia menginginkan hal demikian. Memenuhi permintaan suami sifatnya wajib. Ia tidak boleh ditangguhkan dengan alasan mengerjakan puasa sunat. Apabila istri sedang puasa sunat dan suaminya menginginkan berjimak, maka istri harus membatalkan puasanya. Namun jika suami tidak di rumah maka istri boleh melakukan puasa sunat.[8]
Hadis di atas juga menjelaskan, seorang suami boleh melarang istrinya untuk melakukan puasa sunat kecuali istri melakukan puasa wajib seperti mengganti puasa Ramadan. Dalam Hadis ini juga mengambarkan betapa besar hak suami terhadap istri. Walaupun istri melakukan ibadah sunat, yang demikian harus dibatalkan jika bertentangan dengan kewajibannya dalam melayani suami.
[1] Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, op. cit., hal. 169.
[2] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, op. cit., hal. 294 dan lih. juga Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 278.
[3] Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 283.
[4] Dubur: Anus.
[5] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 284.
[6] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6858.
[7] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 21.
[8] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 356.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :