Tasawuf dalam Islam; Dipandang Sebelah Mata (3)
Tasawuf; Nilai Spiritualitas Agama yang Sering Dipandang Sebelah Mata
Ketika di berbagai Negara Eropa, ramai
orang keluar dari agamanya. Sebenarnya hal itu terjadi, karena mereka menganggap bahwa
agama sudah tidak bisa lagi memuaskan dahaga spiritual mereka. Agama hanya
berisi perintah dan larangan, tapi sunyi dari nilai-nilai spiritual yang
mendamaikan jiwa.
Dahaga akan
nilai spiritual dan pencarian terhadap kedamaian jiwa, sejatinya adalah fitrah
setiap manusia. Karena memang manusia pada dasarnya memiliki perjanjian
primordial dengan Tuhan, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat al-A’râf:
172;
“Dan ingatlah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’,
mereka menjawab ‘Betul, kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami’”.
Ketika seorang Nietzsche
memproklamasikan kematian Tuhan, maka sejatinya dia sedang memproklamirkan
kematian kehidupan spiritualitasnya sendiri. Warisan agama yang diterima dan
dipahaminya tidak lagi sebuah agama yang mampu membukakan tabir keagungan dan keindahan
Ilahi.
Pemikir semacam August Comte juga
secara berani memberikan kesimpulan, bahwa
dalam masyarakat saintifik–teknokratik, agama tidak lagi memiliki posisi yang
diperhitungkan, bahkan dianggap sebagai sisa–sisa keterbelakangan masa lalu.
Dalam situasi masyarakat modern,
dengan berbagai problematika yang kompleks di semua lini kehidupan, tasawuf
sebagai syariat batin akan memperlihatkan wajah Islam yang sebenarnya, juga khazanah
spiritual Islam yang sangat kaya. Di masa ketika banyak hal terlihat abu-abu,
seringkali Islam dipakai sebagai pembenaran bagi obsesi duniawi, termasuk
obsesi politik dan hasrat kekuasaan maupun kekerasan. Dengan izin Allah, tasawuf akan membantu seseorang menyelami agama
lebih dalam, sehingga sampai pada nilai esoteris agama dan tidak hanya berpuas
diri menikmati nilai eksoteriknya saja.
Posisi vital tasawuf dalam kehidupan
beragama, seringkali malah dijadikan tersangka oleh sebagian umat, dengan
berbagai alasan yang sama sekali tidak berdasar.
Mereka menuduh tasawuf sebagai salah satu sebab kemunduran umat, bahwa para sufi adalah orang–orang
yang hidup dalam kejumudan dan enggan
diajak maju.
Jikapun anggapan mereka benar adanya, sejatinya yang mereka saksikan
bukanlah orang–orang yang merepresentasikan ajaran tasawuf yang sebenarnya.
Dan memang tidak menutup kemungkinan, bahwa
ada orang yang belajar tasawuf, kemudian sampai pada kesimpulan yang salah,
lantas mengejawantahkan pemahamannya dalam realita kehidupan yang dihadapinya.
Sebab lain yang menjadikan sebagian
umat Islam melabeli tasawuf dengan nilai negatif adalah bahwa mereka belum mengerti betul ajaran
para sufi. Bahkan tak jarang, mereka
salah kaprah dalam memahami
istilah dan simbol yang sering digunakan oleh kaum sufi.
Kasus semacam ini pernah juga
dialami oleh sulthân al-‘ulama
Imam al-Izz bin
Abdussalam. Pernah
suatu masa, beliau menjadi
orang yang keras menentang pemikiran kaum sufi, terkhusus terhadap Syaikh
Muhyiddin Ibnu Arabi. Hal tersebut terjadi, karena
al-Izz bin Abdussalam belum memahami simbol-simbol yang dipakai oleh
Ibnu Arabi. Namun
kemudian setelah beliau memahami simbol-simbol tersebut, beliau terkagum dengan
Ibnu Arabi dan menyematkan gelar Imam min aimmati al-Islam (salah satu imam umat Islam) pada
Ibnu Arabi. Bahkan kemudian
Imam al-Izz bin Abdussalam banyak menulis karya terkait tasawuf, diantaranya Zabdah
Khulâshat al-Tashawuf, Syajarat al-Ma’ârif, al-Ilmâm fî Adillat
al-Ahkâm, al-Farq baina al-Îmân wa al-Islâm, dan kitab-kitab
lainnya.
Menurut Abdu
al-Ilah al-Zahrawi al-Hamidi al-Syadzili dalam buku al-Tashawuf ‘Ilmun wa
Ittibâun wa al-Radd âla Man Ittahamû Rijâlahu bi al-Ibtidâ’, termasuk
faktor yang juga menyebabkan sebagian kalangan menyematkan label negatif pada
kaum sufi ataupun ajaran tasawuf adalah mereka (para pelabel negatif kaum sufi)
mencampur adukkan antara permasalahan akidah dan syariat. Mereka tidak bisa
membedakan antara domain akidah dan domain syariat, sehingga bermuara pada pengharaman
atau pembid’ahan banyak ritus kaum sufi, seperti tawassul, tabarruk, ziarah
kubur ataupun hal lainnya. Yang lebih memperihatinkan lagi, mereka mendakwa hal
tersebut dengan bersembunyi di balik bayang-bayang kaidah Sadd al-Dzarî’ah,
yang mana tidak sesuai untuk diterapkan dalam kasus ini.
Penulis: Fahrudin al-Brengkowi(BEndahara Pcim Mesir)
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :