PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Desakralisasi Fatwa

Sekarang ini, masyarakat sudah tak asing lagi mendengar kata fatwa. Banyaknya fatwa yang beredar, ditambah blow-up media, menjadikan fatwa yang dahulu hanya dipahami oleh segelintir orang, kini menjadi hal yang lumrah.

Merujuk kepada Ensiklopedi Hukum Islam, fatwa didefinisikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, sehingga penanya pun (apalagi orang lain) tidak wajib melaksanakan apa yang difatwakan seorang mufti. Fatwa bisa dikeluarkan melalui lembaga resmi fatwa dalam suatu pemerintahan, atau melalui organisasi massa Islam, maupun secara personal.

Masa kini, marak sekali masalah yang muncul dari tersebarnya fatwa yang tidak berdasarkan metodologi pengambilan hukum yang benar, juga yang tidak melalui sebuah lembaga atau individu yang memiliki keahlian dan spesialisasi di bidang ini. Dalam bahasa arab kita menyebut masalah ini dengan sebutan faudha fatwa, fatwa yang simpang siur. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya polemik di masyarakat dalam menyikapi banyaknya fatwa terkait satu permasalahan. Apalagi jika hasil hukumnya cenderung berpihak untuk kepentingan golongan tertentu, atau terlihat kontroversial. Selanjutnya hal ini tentunya akan menuai banyak protes, sekaligus menghabiskan waktu umat muslim dalam hal yang kontra produktif.

Kita ambil contoh kasus tentang fatwa pembacaan al-Quran dengan langgam jawa beberapa waktu ke belakang. Meskipun ada fatwa ulama yang berkompenten dalam bidangnya terkait hal ini, tapi ada saja orang yang merasa dirinya alim dan merasa berhak untuk berfatwa dalam hal ini, yang kemudian hal ini hanya menambah runyam kisruh yang ada. Hal ini diperingatkan Imam Ghazali dari dulu, bahwa “Jika orang yang tidak tahu (bodoh) itu diam, maka tidak akan terjadi perselisihan.”
Di satu sisi, umat Islam sangat membutuhkan fatwa atas problematika kontemporer yang mereka alami. Tapi di sisi lain, dengan merebaknya (faudha) fatwa yang beredar, menjadikan fatwa seolah menjadi kehilangan nilai sakralnya.

Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda:
“Qadhi (penentu keputusan) itu ada tiga, satu di surga dan dua di neraka, (1) Yang di surga adalah Qadhi yang tahu kebenaran lalu memberikan keputusan dengannya. (2) Sedang qadhi yang tahu kebenaran lalu zalim dalam keputusannya, maka ia di neraka. (3) Begitu pula, qadhi yang memberi keputusan tanpa ilmu, ia di neraka.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi  dan Ibnu Majah).

Sebenarnya sakralitas fatwa sejak dahulu selalu dijunjung tinggi oleh para ulama, salah satu caranya adalah dengan menetapkan standar dan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh seorang mufti (pembuat fatwa). Belum lagi ketika pembuatan hukum tersebut membutuhkan proses dan tingkatan yang bertahap, sesuai kaidah yang berlaku. Dalam kitab Shinâ’atul Fatwa wa Fiqhul Aqalliyât karya syekh Bin Bayyah, dikatakan bahwa fatwa merupakan sebuah perkara besar dalam Islam. Fatwa adalah bentuk legitimasi wewenang dari Nabi Muhammad dalam menjalankan tugasnya untuk menjelaskan hukum Allah.  Dengan nilai kemuliaan dan pahala yang dimilikinya demikian besar, hal ini juga menjadikan adanya resiko (acaman) dan beban tanggung jawab yang besar pula, yaitu bagi mereka yang mengambil posisi seorang mufti tanpa ilmu yang mumpuni dalam bidang ini. Oleh karenanya disebutkan ancaman keras bagi orang yang sembarangan mengeluarkan fatwa tanpa ilmu.
Imam Juaini dalam Syarh ar-Risalah-nya menyebutkan: “Barang siapa yang hanya menghapal nash–nash hukum dari Imam Asy-Syafi’i dan perkataan manusia dengan segala rahasianya, tanpa mengetahui hakikat dan makna yang terkandung di dalamnya, maka dia tidak boleh berijtihad dan mengqiyaskan suatu masalah, tidak pula menjadi seorang ahli fatwa. Jika dia tetap berfatwa, maka tidak boleh diterima.”

Imam Malik sendiri sebagaimana disebutkan dalam kitab I’lamul Muwaqi’in milik Ibnul Qayyim, tidak pernah mengeluarkan sebuah fatwa hingga 70 ahli agama bersaksi atas kemampuannya dalam hal itu. Tidak sepatutnya bagi seseorang untuk merasa bahwa dirinya mampu untuk berfatwa, sebelum ia ditanya (diuji) oleh orang yang lebih mampu darinya. Imam Malik berkata, “Hendaknya jika ditanya tentang suatu perkara, seseorang itu membayangkan bahwa dirinya berada di antara surga dan neraka.”

Selanjutnya, menurut Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, orang yang berfatwa akan tetapi dia tidak memiliki kemampuan dalam berfatwa, maka dia berdosa, karena dia telah bermaksiat dalam hal ini.
Salah satu solusinya adalah pengawasan terhadap fatwa yang bermunculan. Dalam hal ini diperlukan sebuah lembaga pengawas yang memantau fatwa yang beredar di masyarakat. Sudah selayaknya bagi masyarakat untuk tidak kembali diresahkan oleh munculnya fatwa yang nyeleneh dan membuang-buang waktu. Hal ini juga harus ditambah dengan usaha memahamkan masyarakat awam tentang seluk beluk fatwa dan siapa saja yang berhak memberikan fatwa. Semua ini untuk mengantisipasi jika di kemudian hari terdapat fatwa yang dirasa kurang pas, sehingga masyarakat bisa lebih cerdas dalam mencerna dan selanjutnya menanggapi fatwa tersebut.

Wallahu a’lam bi al-shawab []

Penulis:Muhammad Ismail Alfaruqy

----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]