Desakralisasi Fatwa
Sekarang
ini, masyarakat sudah tak asing lagi mendengar kata fatwa. Banyaknya
fatwa yang beredar, ditambah blow-up media, menjadikan fatwa yang dahulu
hanya dipahami oleh segelintir orang, kini menjadi hal yang lumrah.
Merujuk
kepada Ensiklopedi Hukum Islam, fatwa didefinisikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang
merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, sehingga penanya pun (apalagi orang
lain) tidak wajib melaksanakan apa yang difatwakan seorang mufti. Fatwa bisa dikeluarkan
melalui lembaga resmi fatwa dalam suatu pemerintahan, atau melalui
organisasi massa Islam, maupun secara
personal.
Masa kini, marak sekali masalah yang muncul dari tersebarnya fatwa yang tidak berdasarkan metodologi pengambilan hukum yang benar, juga yang tidak
melalui sebuah lembaga atau individu yang memiliki keahlian dan spesialisasi di bidang ini. Dalam bahasa arab kita menyebut masalah ini
dengan sebutan faudha fatwa, fatwa yang simpang siur. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya polemik di masyarakat dalam menyikapi banyaknya fatwa terkait
satu permasalahan. Apalagi jika hasil hukumnya cenderung berpihak untuk kepentingan golongan tertentu,
atau terlihat kontroversial. Selanjutnya hal ini tentunya akan menuai banyak protes, sekaligus
menghabiskan waktu umat muslim dalam hal yang kontra produktif.
Kita ambil contoh kasus tentang fatwa pembacaan al-Quran dengan langgam jawa beberapa
waktu ke belakang. Meskipun ada fatwa ulama yang berkompenten dalam bidangnya terkait
hal ini, tapi ada saja orang yang merasa dirinya
alim dan merasa berhak untuk berfatwa dalam hal ini, yang kemudian hal ini hanya
menambah runyam kisruh yang ada. Hal ini diperingatkan
Imam Ghazali dari
dulu, bahwa “Jika
orang yang tidak tahu (bodoh) itu diam, maka tidak akan terjadi
perselisihan.”
Di satu sisi, umat Islam
sangat membutuhkan
fatwa atas problematika kontemporer
yang mereka alami. Tapi di sisi lain, dengan
merebaknya (faudha) fatwa
yang beredar, menjadikan fatwa seolah menjadi kehilangan nilai sakralnya.
Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda:
“Qadhi (penentu keputusan) itu ada tiga, satu di surga
dan dua di neraka, (1) Yang di surga adalah Qadhi yang tahu kebenaran lalu
memberikan keputusan dengannya. (2) Sedang qadhi yang tahu kebenaran lalu zalim
dalam keputusannya, maka ia di neraka. (3) Begitu pula, qadhi yang memberi
keputusan tanpa ilmu, ia di neraka.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Sebenarnya sakralitas
fatwa sejak dahulu selalu dijunjung tinggi oleh para ulama, salah satu caranya adalah dengan menetapkan standar dan
persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh seorang mufti (pembuat fatwa). Belum lagi ketika pembuatan
hukum tersebut membutuhkan proses dan tingkatan yang bertahap, sesuai kaidah yang berlaku. Dalam
kitab Shinâ’atul Fatwa wa Fiqhul Aqalliyât karya
syekh Bin Bayyah, dikatakan bahwa fatwa merupakan sebuah perkara
besar dalam Islam. Fatwa adalah bentuk legitimasi wewenang dari
Nabi Muhammad dalam menjalankan tugasnya untuk menjelaskan hukum Allah. Dengan nilai kemuliaan dan pahala yang
dimilikinya demikian besar, hal ini juga menjadikan adanya resiko (acaman) dan beban
tanggung jawab yang besar pula, yaitu bagi mereka yang mengambil posisi seorang
mufti tanpa ilmu yang mumpuni dalam bidang ini. Oleh karenanya disebutkan
ancaman keras bagi orang yang sembarangan mengeluarkan fatwa tanpa ilmu.
Imam Juaini dalam Syarh ar-Risalah-nya
menyebutkan: “Barang siapa yang hanya menghapal nash–nash hukum dari Imam
Asy-Syafi’i dan perkataan manusia dengan segala rahasianya, tanpa mengetahui hakikat dan
makna yang terkandung di dalamnya, maka dia tidak boleh
berijtihad dan mengqiyaskan suatu masalah, tidak pula menjadi seorang ahli fatwa. Jika dia tetap berfatwa, maka
tidak boleh diterima.”
Imam Malik sendiri sebagaimana
disebutkan dalam kitab I’lamul Muwaqi’in milik
Ibnul Qayyim, tidak pernah mengeluarkan sebuah fatwa hingga 70 ahli
agama bersaksi atas kemampuannya dalam hal itu. Tidak
sepatutnya bagi seseorang untuk merasa bahwa dirinya mampu
untuk berfatwa, sebelum ia ditanya (diuji)
oleh orang yang lebih mampu darinya. Imam Malik berkata, “Hendaknya jika
ditanya tentang suatu perkara, seseorang itu membayangkan bahwa dirinya berada
di antara surga dan neraka.”
Selanjutnya, menurut Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, orang yang
berfatwa akan tetapi dia tidak memiliki kemampuan dalam berfatwa, maka dia berdosa, karena dia telah bermaksiat dalam
hal ini.
Salah
satu solusinya adalah pengawasan terhadap
fatwa yang bermunculan. Dalam hal ini diperlukan sebuah lembaga pengawas yang
memantau fatwa yang beredar di masyarakat. Sudah selayaknya bagi masyarakat
untuk tidak kembali diresahkan oleh munculnya fatwa yang nyeleneh dan
membuang-buang waktu. Hal ini juga harus ditambah dengan usaha
memahamkan masyarakat awam tentang seluk beluk
fatwa dan siapa saja yang berhak memberikan fatwa. Semua ini
untuk
mengantisipasi jika di kemudian hari terdapat fatwa yang
dirasa kurang pas, sehingga masyarakat bisa lebih cerdas dalam mencerna dan selanjutnya
menanggapi fatwa tersebut.
Wallahu a’lam bi al-shawab []
Penulis:Muhammad Ismail Alfaruqy
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :