Kesolehan lebih berharga dari segalanya dalam mencari jodoh
Sebagian ulama berpendapat bahwa kafâ'ah dalam pernikahan lebih dititik beratkan pada kesalihan pribadi dan akhlaknya, bukan keturunan, pekerjaan, kekayaan dan lain sebagainya. Seorang laki-laki yang saleh dan tidak memiliki nasab yang terpandang boleh menikahi perempuan dari keturunan ningrat. Begitu juga seorang laki-laki yang hanya memiliki penghasilan menengah kebawah boleh menikah dengan perempuan yang memiliki ekonomi yang mapan. Allah Swt. berfirman: "Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu". (QS. al-Hujurât: 13)
Wajhu al-Dilâlah
Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia merupakan saudara bagi yang lain. Tidak ada yang membedakan mereka kecuali ketakwaan yang ada di dada.
Dari Abi Hatim al-Mazani, Rasulallah Saw. bersabda: "Jika datang padamu laki-laki yang tidak diragukan agamanya dan akhlaknya, maka terimalah pinangannya. Jika kamu menolaknya maka akan timbul fitnah dan kerusakan yang besar". (HR. Turmudzi)
Wajhu al-Dilâlah
Hadis ini menjelaskan betapa pentingnya akhlak dibandingkan dengan harta, jabatan dan keturunan dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan laki-laki yang berakhlak baik tidak diragukan amanah, agamanya, dan dia dapat dipercaya untuk membawa istrinya ke jalan yang diridlai-Nya.
Dalam Bidâyatu'l Mujtahid disebutkan bahwa Malikiyah berpendapat, jika wali tidak sengaja menikahkan anaknya dengan laki-laki pemabuk dan berakhlak buruk, dia berhak untuk memisahkan kembali dan hakim juga mempunyai kekuasaan membantu memisahkan keduanya.
Kafâ`ah Merupakan Hak Perempuan dan Walinya
Ulama berpendapat bahwa yang berhak meminta untuk dinikahkah dengan orang yang setara dengannya adalah pihak perempuan dan walinya. Hanabillah menambahkan baik wali dekat maupun wali jauh. Apabila perempuan menikah dengan pasangan yang tidak sekufu, maka wali berhak membatalkan pernikahan tersebut. Begitu juga dengan wali yang memaksa anaknya untuk menikah dengan pasangan yang tidak sekufu, maka anaknya boleh menuntut pembatalan akad. Dalam Hadis dikatakan: "Seorang gadis datang menghadap Rasulullah Saw., lalu dia berkata: "Sesungguhnya bapakku telah menikahkanku dengan anak kakaknya, karena untuk mengangkat kehormatanku." Rasulullah Saw. bersabda: "Semua kembali kepadamu" Gadis itu menjawab: "Aku rela dengan pilihan bapakku, tapi aku hanya ingin memberi tahu kepada semua wanita, bahwasanya bukan semua perkara tergantung kepada bapak" .
Wajhu al-Dilâlah
Hadis ini menyatakan bahwa perempuan juga memiliki hak dalam menentukan pasangan hidupnya. Namun, jika perempuan menikah tanpa memperhatikan kesetaraannya dengan pasangannya maka wali berhak memisahkan mereka.
Pihak yang Disyaratkan dalam Kafâ'ah
Kafâ'ah lebih ditunjukkan pada pihak laki-laki. Oleh sebab itu laki-laki harus bisa menyamai atau minimal mendekati calon pasangannya, apakah dari segi keilmuan, akhlak dan lain sebagainya. Adapun untuk pihak perempuan tidak terlalu disyaratkan se-kafâ'ah dengan pihak laki-laki. Bahkan perempuan boleh lebih rendah dari laki-laki. Maksudnya adalah yang dituntut untuk harus memiliki kafâ`ah adalah pihak laki-laki, karena dialah yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga nantinya. Berbeda dengan perempuan, dia tidak dituntut untuk se-kafâ`ah dengan pihak laki-laki, karena laki-laki yang shaleh dan memiliki kepribadian yang bagus bisa membimbing istrinya.
Waktu Penentuan Kafâ'ah
Menurut ulama, kafâ'ah ditentukan pada awal pernikahan (sebelum akad dilangsungkan) dan tidak disyaratkan harus berkelanjutan hingga setelah pernikahan. Apabila hal tersebut disyaratkan, tentu akan menyulitkan. Dalam kitab fatwa Hindiyah fiqhu'l Hanafiyyah dikatakan, kafâ'ah ditentukan pada awal pernikahan, bukan setelah pernikahan. Jika sebelum pernikahan dia memiliki kafâ`ah, kemudian setelah pernikahan sifat tersebut hilang, maka pernikahannya tetap sah.
Sedangkan Hanabilah mensyaratkan bahwa sifat tersebut harus berkelanjutan hingga setelah pernikahan. Apabila setelah pernikahan suami berubah, maka istri berhak membatalkan akad nikah tersebut, bukan wali.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Wajhu al-Dilâlah
Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia merupakan saudara bagi yang lain. Tidak ada yang membedakan mereka kecuali ketakwaan yang ada di dada.
Dari Abi Hatim al-Mazani, Rasulallah Saw. bersabda: "Jika datang padamu laki-laki yang tidak diragukan agamanya dan akhlaknya, maka terimalah pinangannya. Jika kamu menolaknya maka akan timbul fitnah dan kerusakan yang besar". (HR. Turmudzi)
Wajhu al-Dilâlah
Hadis ini menjelaskan betapa pentingnya akhlak dibandingkan dengan harta, jabatan dan keturunan dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan laki-laki yang berakhlak baik tidak diragukan amanah, agamanya, dan dia dapat dipercaya untuk membawa istrinya ke jalan yang diridlai-Nya.
Dalam Bidâyatu'l Mujtahid disebutkan bahwa Malikiyah berpendapat, jika wali tidak sengaja menikahkan anaknya dengan laki-laki pemabuk dan berakhlak buruk, dia berhak untuk memisahkan kembali dan hakim juga mempunyai kekuasaan membantu memisahkan keduanya.
Kafâ`ah Merupakan Hak Perempuan dan Walinya
Ulama berpendapat bahwa yang berhak meminta untuk dinikahkah dengan orang yang setara dengannya adalah pihak perempuan dan walinya. Hanabillah menambahkan baik wali dekat maupun wali jauh. Apabila perempuan menikah dengan pasangan yang tidak sekufu, maka wali berhak membatalkan pernikahan tersebut. Begitu juga dengan wali yang memaksa anaknya untuk menikah dengan pasangan yang tidak sekufu, maka anaknya boleh menuntut pembatalan akad. Dalam Hadis dikatakan: "Seorang gadis datang menghadap Rasulullah Saw., lalu dia berkata: "Sesungguhnya bapakku telah menikahkanku dengan anak kakaknya, karena untuk mengangkat kehormatanku." Rasulullah Saw. bersabda: "Semua kembali kepadamu" Gadis itu menjawab: "Aku rela dengan pilihan bapakku, tapi aku hanya ingin memberi tahu kepada semua wanita, bahwasanya bukan semua perkara tergantung kepada bapak" .
Wajhu al-Dilâlah
Hadis ini menyatakan bahwa perempuan juga memiliki hak dalam menentukan pasangan hidupnya. Namun, jika perempuan menikah tanpa memperhatikan kesetaraannya dengan pasangannya maka wali berhak memisahkan mereka.
Pihak yang Disyaratkan dalam Kafâ'ah
Kafâ'ah lebih ditunjukkan pada pihak laki-laki. Oleh sebab itu laki-laki harus bisa menyamai atau minimal mendekati calon pasangannya, apakah dari segi keilmuan, akhlak dan lain sebagainya. Adapun untuk pihak perempuan tidak terlalu disyaratkan se-kafâ'ah dengan pihak laki-laki. Bahkan perempuan boleh lebih rendah dari laki-laki. Maksudnya adalah yang dituntut untuk harus memiliki kafâ`ah adalah pihak laki-laki, karena dialah yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga nantinya. Berbeda dengan perempuan, dia tidak dituntut untuk se-kafâ`ah dengan pihak laki-laki, karena laki-laki yang shaleh dan memiliki kepribadian yang bagus bisa membimbing istrinya.
Waktu Penentuan Kafâ'ah
Menurut ulama, kafâ'ah ditentukan pada awal pernikahan (sebelum akad dilangsungkan) dan tidak disyaratkan harus berkelanjutan hingga setelah pernikahan. Apabila hal tersebut disyaratkan, tentu akan menyulitkan. Dalam kitab fatwa Hindiyah fiqhu'l Hanafiyyah dikatakan, kafâ'ah ditentukan pada awal pernikahan, bukan setelah pernikahan. Jika sebelum pernikahan dia memiliki kafâ`ah, kemudian setelah pernikahan sifat tersebut hilang, maka pernikahannya tetap sah.
Sedangkan Hanabilah mensyaratkan bahwa sifat tersebut harus berkelanjutan hingga setelah pernikahan. Apabila setelah pernikahan suami berubah, maka istri berhak membatalkan akad nikah tersebut, bukan wali.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :