PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Fikih Anti Korupsi : Hukum memanfaatkan Hasil Korupsi

Istilah memanfaatkan mempunyai pengertian yang luas, termasuk di antaranya adalah memakan, mengeluarkannya untuk kepentingan ibadah, sosial dan sebagainya. memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan harta yang dihasilkan dengan cara-cara ilegal lainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak korupsi sama dengan harta rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya. Jika cara memperolehnya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama.

Dalam hal ini ulama fikih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh dengan cara-cara ilegal adalah haram, sebab pada prinsipnya harta itu bukanlah milik yang sah, melainkan milik orang lain yang diperoleh dengan cara tidak sah.  Dasar yang menguatkan pendapat ulama Fikih ini antara lain ialah firman Allah Swt.:

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالبطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون

Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS. al-Baqarah: 188)

Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain yang diperoleh dengan cara-cara batil, termasuk di dalamnya mencuri, menipu dan termasuk korupsi . Harta kekayaan yang diperoleh dari hasil korupsi menurut penulis dapat juga diqiyaskan  (dianalogikan) dengan harta kekayaan yang diperoleh cara riba, karena kedua bentuk perbuatan itu sama-sama ilegal . Jika memakan harta yang diperoleh secara riba diharamkan.[1] Sehingga memakan hasil korupsipun menjadi haram. Di samping itu dalam kaidah fikih yang menunjukan keharaman memanfaatkan harta hasil korupsi yaitu:

ما حرم أخذه حرم عطاءه

“Apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram memberikannya atau memanfaatkannya”.[2]

Oleh karena itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, sepanjang suatu perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan hasilnya. Namun jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram maka hasilnya boleh dimanfaatkan. Dan selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula pelakunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemilik yang sah.

Jika ulama Fikih sepakat mengharamkan pemanfaatan harta kekayaan hasil korupsi, namun mereka berbeda pendapat mengenai akibat hukum dari pemanfaatan hasil korupsi tersebut. Misalnya, hukum shalat atau haji yang dilaksanakan dengan menggunakan hasil korupsi.

Mazhab Syafii, mazhab Maliki, mazhab hanafi mengatakan bahwa shalat dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara batil (menipu/ korupsi) adalah sah selama dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan. Meskipun demikian, mereka tetap berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, karena kain itu bukan miliknya yang sah. Demikian juga pendapat mereka tentang haji dengan uang yang diperoleh secara korupsi, hajinya tetap sah, meskipun ia berdosa menggunakan uang tersebut. Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya ditentukan oleh terpenuhi rukun dan syarat amalan yang dimaksud.

Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dengan menggunakan kain hasil korupsi tidak sah, karena menutup aurat dengan bahan yang suci adalah salah satu syarat sah sholat. Menutup aurat dengan kain yang haram memakainya sama dengan sholat memakai pakaian bernajis, Lagi pula sholat merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.. Oleh karena itu, tidak pantas dilakukan dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh Allah Swt..

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah. Ia memperkuat pendapatnya dengan hadis yang menerangkan bahwa Allah Swt. adalah baik, dan tidak menerima kecuali yang baik (HR. at-Tabrani)

Pada kesempatan lain Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Jika seseorang pergi naik haji dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai membaca talbiyah datang seruan dari langit: Allah akan menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu bahagia. Perbekalanmu halal, kendaraanmu juga halal, maka haji diterima dan tidak dicampuri dosa”. Sebaliknya bila pergi dengan harta yang haram, lalu ia mengucapkan talbiyah maka datang seruan dari langit: tidak diterima kunjunganmu dan kamu tidak berbahagia. Berbekalanmu haram, belanjamu dari yang haram, maka hajimu berdosa, jauh dari pahala (tidak diterima)”. (HR. at-Tabrani)

Atas dasar logika dan hadis tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan tentang tidak sahnya ibadah dengan menggunakan perlengkapan hasil korupsi.

[1]  Lihat al-Quran surat ali imran (3) ayat: 130
[2] Musthafa  Ahmad az-Zarqa (anak pengarang), Syarh al-Qowaid al-Fikihiyah li Syeikh Ahmad bin asy-Syeikh Muhammad az-Zarqa, (Damaskus, Dar al-Qolam, 2001) cet ke-2 hal 215-216
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]