Metode Penyusunan Hadits Versi Imam Malik
Perhatian kaum Muslimin terhadap hadits adalah imbas dari posisi hadits itu sendiri dalam Islam. Karenanya dapat dimengerti bahwa sejak zaman Nabi Saw.—di samping penjagaan Al-Qur'an—hadits pun diperlakukan secara istimewa oleh para sahabat, juga generasi-generasi berikutnya.
Di masa Nabi Saw., para sahabat sedikit pun tidak pernah ragu dalam menunaikan seruan-seruan beliau, karena mereka menyakini bahwa beliaulah satu-satunya hamba yang mempunyai wewenang untuk menerjemah instruksi-instruksi Allah Swt. ke dalam amalan praktis. Namun dalam perjalanan selanjutnya terjadi penyelewengan terhadap penafsiran hadits-hadits Nabi, karena kepentingan individu atau golongan.
Oleh karena itu para tâbi‘în melakukan berbagai usaha untuk menjaga keotentikan hadits dan memerangi orang-orang yang sesat. Salah satu usaha yang dilakukan para tâbi‘în adalah menyeleksi hadits dengan hati-hati dari sisi periwayatannya. Mereka yakin bahwa hadits Nabi adalah bagian dari agama. Maka semua orang harus waspada dari siapa agamanya itu diambil, sebagaimana yang dikatakan Muhammad bin Sirin: “Ilmu ini (hadits) adalah bagian dari agama, maka waspadalah dari siapa kamu mengambil agamamu.” Beliau juga berkata: “Para tâbi‘în sebelumnya tidak pernah bertanya tentang isnâdu’l hadîts, akan tetapi ketika terjadi fitnah mereka mengatakan: ‘Sebutkanlah nama-nama perawi hadits yang kamu terima.’ Mereka akan melihat, jika hadits itu bersumber dari ahli sunnah maka diambilnya, dan jika berasal dari ahli bid‘ah, maka mereka akan menolaknya.”[1]
Kodifikasi hadits menurut Imam Malik harus didukung dengan berbagai hal, diantarnya:
1. Kejelasan biografi imam-imam hadits;
2. Adanya syarat yang ketat dalam menerima dan menolak suatu riwayat hadits, yang meliputi:
a. Kesinambungan sanad (ittishâl al-sanad);
b. Perawi-perawi hadits ini haruslah orang yang terjamin keadilannya (al-'adl). Adil berarti memiliki sifat terpuji, wara‘ dan muru’ah (menjaga kehormatannya) menurut pandangan umum. Di antara kriteria adil adalah: muslim, baligh, berakal, tidak melakukan dosa besar, sering melakukan amalan sunah dll. Hal ini tidak hanya terbatas kepada kaum lelaki saja, tetapi mencakup siapa saja yang memiliki sifat tersebut;
c. Dhâbith, dibagi menjadi dua: pertama, dhâbith shadran yaitu kuatnya ingatan dan hafalan seseorang, sehingga ia dapat mengulangi hafalan haditsnya kapan dan dimana saja saat dibutuhkan; kedua, dhâbith kitaban yaitu terjaganya hadits pada tulisan seseorang dari sejak ia mendapatkannya hingga periwayatannya kepada orang lain dan tidak ada kerusakan atau perubahan yang mempengaruhi esensi dan validitas hadits yang diriwayatkan.
d. Matan hadits tidak ada yang cacat, yang bisa menyebabkannya ditolak, atau hadits ini tidak syâdz atau menyalahi riwayat yang terpercaya atau yang lebih terpercaya.
3. Dukungan perangkat analisa antara lain ilmu al-jarh wa ta‘dîl, ilmu rijâlu’l hadîts, ilmu gharîbu’l hadits, dan ilmu Nâsikh wa’l Mansûkh fi’l hadîts.
Dalam hal ini Imam Malik pernah berkata: “Ilmu itu tidak diambil dari empat orang, yaitu: orang yang jahil, orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak kepada perkara bid‘ah, pembohong yang selalu berbohong jika berbicara dengan sesamanya, jika tidak ingin dicap sebagai pembohong terhadap hadits Nabi, juga tidak diambil dari Syaikh yang memiliki banyak kelebihan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dibawa dan yang bicarakannya.”[2] Dari sini dapat kita ketahui bahwa Imam Malik adalah ulama yang sangat memperhatikan kodifikasi hadits baik itu dari segi riwâyah maupun dirâyah.
Sistematika Imam Malik dalam Penulisan al-Muwaththa’
1. Di antara tradisi Imam Malik dalam menuliskan al-Muwaththa’ adalah: dalam muqaddimah judul, ia menyebutkan hadits-hadits yang datang dari Rasululullah dan juga âtsar yang berasal dari para sahabat dan tâbi‘în. Selain itu salah satu syarat perawi adalah harus dari penduduk Madinah, karena Imam Malik sendiri tidak pernah keluar dari kota Madinah.
2. Terkadang dalam Kitab al-Muwaththa’ disebutkan amal penduduk Madinah dan perkara-perkara sosial yang berlaku di kota Madinah.
3. Selain itu Imam Malik kadang-kadang menyertai suatu hadits dengan penafsiran beberapa kalimat, ungkapan atau menyertakan keterangan dan tujuan dari beberapa jumlah kalimat.
4. Ia juga menerapkan sistem penulisan menurut urutan kitab dan bab Fiqh. Setiap kitab terdiri dari beberapa bab dan setiap bab terdiri beberapa hadits yang sesuai dengan judul bab tersebut, kemudian disertai dengan âtsar sahabat dan tabi‘în.
5. Penyeleksian sanad hadits dengan ketat.
6. Imam Malik menuliskan hadits tentang amal penduduk Madinah ke dalam beberapa bab, walau hadits itu merupakan hadits âhâd yang bertentangan dengan amal ahlu Madinah itu sendiri. [3]
Di antara ulama yang memperhatikan hadits mursal, munqathi‘ dan mu‘dhal yang terdapat dalam al-Muwaththa’ adalah al-Hafidz Ibnu Abdul Barr. Abdul Barr mengatakan bahwa semua hadits yang mengandung lafadz “بلغنى” dan “عن الثقة” dan tidak disertakan sanad-nya berjumlah 61 hadits. Dari 61 Hadits ini, ada empat hadist yang tidak diketahui sanad-nya, yaitu:[4]
- حدثنى عن مالك :أنه بلغه : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (إنى لا أنسى ولكن أنسى لأسن) [5
- أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ( أرى أعمار الناس قبله أو ماشاء الله من ذلك فكأنه تقاصرأعمار أمته ألا يبلغوا من العمل مثل الذى بلغ غيرهم فى طول العمر فأعطاه الله ليلة القدر) [6]
- وحدثنى عن مالك,أن معاذ ابن جبل قال:آخر ما أوصانى به رسول الله صلى الله عليه وسلم حين وضعت رجلي فى الغرز أن قال: (أ حسن خلقك للناس) [7]
- قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:( إذا نشأت بحرية"أى السحابة" ثم تشاءمت فتلك عين غديقة "أى كثيرة الماء")[8]
Para ulama hadits sendiri membela keempat hadits tersebut dan menyatakan bahwasanya makna dari hadits tersebut benar adanya. Ini dapat dibuktikan dalam beberapa buku-buku hadits. Akan tetapi Syaikh Al-Syinqithi dalam bukunya yang berjudul Idha‘atu’l al-Hâlik mengambil pendapat Ibnu Shalah dengan memberikan sanad terhadap keempat hadits di atas. Imam Al-Suyuthi menyatakan bahwa semua isi al-Muwaththa’ shahîh dengan tanpa pengecualian. Karena al-Muwaththa’ terdiri dari beberapa hadits mursal yang dapat dijadikan hujjah—menurut Imam Malik dalam madzabnya—tanpa syarat tertentu, demikian juga halnya telah disepakati oleh ulama dari beberapa madzhab lain.
Sedangkan Ibnu Hazm menyatakan bahwa dalam al-Muwaththa’ terdapat beberapa hadits dha‘îf karena beberapa ulama men-dha‘îf-kan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hazm menemukan sekitar 500 hadits musnad dan sekitar 103 hadits mursal.
Kedudukan al-Muwaththa’ dalam Kutubu’l Ahâdîts
Dari uraian di atas akan terlihat bahwa para ulama yang lebih mengistimewakan al-Muwaththa’ dari kitab Shahîhain bisa dikatakan sangat berlebihan. Di antara mereka adalah Ibnu al-Araby. Adapun Imam Syafi‘i mengatakan, bahwa al-Muwaththa’ adalah ashahhul kutub setelah al-Qur’an, dengan alasan Shahîh Bukhâriy dan Shahîh Muslim belum ada. Sedangkan Ibnu al-Atsir (wafat 606H) dalam bukunya Jâmi‘ al-Ushûl min Ahâdîts al-Rasûl mengatakan bahwa al-Muwaththa’ menempati posisi keenam kutub al-sittah menggantikan Sunan Ibnu Majah. Namun banyak ahli hadits yang tidak sependapat dengan hal ini. Sedangkan Ibnu Shalah dan beberapa ulama lainnya menempatkan al-Muwaththa’ pada posisi ketiga setelah Shahîh Bukhâriy dan Shahîh Muslim. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat lain, yaitu bahwa al-Muwaththa’ tidak termasuk dalam kutub al-shahhâh, sebab di dalamnya terdapat hadist mursal, balâghât dan munqathi‘, serta ditambah dengan keberadaan pendapat-pendapat Imam Malik atau pun beberapa permasalahan Fiqh.[9]
Imam Malik dan Syubhât Sekitar al-Muwaththa’
Tidak ada perdebatan di kalangan para ulama bahwa al-Muwaththa’ merupakan kitab pertama hasil kodifikasi hadits. Akan tetapi kaum orientalis tak pernah berhenti untuk menyelewengkan sejarah Islam. Hingga muncul anggapan bahwa al-Muwaththa’ adalah kitab Fiqh dan bukan kitab hadits. Bahkan diantara ulama Muslim sendiri pun ada yang mengatakan hal ini. Salah satunya adalah Ali Hasan Abdul Qadir dalam bukunya Nadhrah ‘Âmmah fî Târîkhi’l Fiqhi’l Islâmiy melontarkan beberapa syubhat atau keraguan kepada umat Islam yaitu bahwa al-Muwaththa’ adalah kitab Fiqh dan bukan kitab Hadits. Beliau juga mengatakan Imam Malik bukanlah seorang muhaddits. [10] Jika al-Muwaththa’ dikelompokkan pada Majmu‘ Zaid, maka ia berhak diberi label kitab Fiqh pertama yang sampai kepada kita, hingga tidak bisa dikatakan sebagai kitab hadits. Dengan demikian, al-Muwaththa’ dan pengarangnya sama sekali tak mempunyai tempat yang layak dalam agama Islam. Jika seandainya Imam Malik adalah seorang muhaddits, tentu ia akan menyampaikan kepada kita semua hadits yang ada dan bukan mencampuradukkan dengan berbagai fatwa ulama. Dari sini terlihat bahwa Imam Malik tidak menguasai seluruh hadits. Musthafa al-Shiba‘i dalam bukunya Al-Sunnah wa Makânatuha fi’l Tasyrî‘ al-Islâmiy memberikan beberapa jawaban atas syubhat ini:
1. Orang yang mengatakan bahwa Imam Malik bukanlah seorang muhaddits berarti ia telah menyalahi kebenaran. Karena Imam Malik dikenal oleh semua ulama akan usahanya dalam pengumpulan hadits. Bahkan ia juga mengajarkan hadits-hadits dan dianggap sebagai kibâru’l muhadditsîn. Selain itu, seseorang tidak akan menjadi faqîh sebelum menjadi muhaddits. Sebab keduanya saling berkaitan. Maka tidak ada larangan untuk menggabungkan dua hal yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya, yaitu: pemahaman dan hafalan. Sedangkan mengapa ada hadits mursal dan munqathi‘ dalam buku Imam Malik, bisa dijawab karena dalam madzhabnya hadits mursal boleh dijadikan dalil. Adapun sebab tidak ditulisnya beberapa sanad disana adalah karena perawinya merupakan para sahabat yang dikenal dengan ke-‘adâlah-annya; dan hal itu sudah dimaklumi pada zamannya. Maka tidak benar kalau Imam Malik, tidak memperhatikan sanad hadits. Sebab, Imam Malik sendiri tidak akan meriwayatkan hadits kecuali yang berasal dari orang-orang tsiqqah, sebagaimana yang dikatakan oleh Sufyan Ibnu Tsauri.
2. Sedangkan syubhat yang mengatakan bahwa al-Muwaththa’ bukanlah kitab hadits melainkan kitab Fiqh, menurut banyak ulama adalah tidak benar sebagaimana yang dikemukakan oleh banyak ulama dari berbagai madzhab yang ada. Contohnya; Muhamamad Ibnu Hasan—ulama mazdab Hanafi—ia meriwayatkan hadits dari Imam Malik, begitu pula al-Auza‘i, Imam Syafi'i dll. Jika seandainya al-Muwaththa’ adalah kitab Fiqh, maka tidak mungkin semua madzhab itu mendukung penuh dengan mengambil hadits dari Imam Malik.[11]
Penerimaan Hadits Mursal
Imam Malik menerima hadits mursal dan balâghât karena sejalan dengan apa yang telah berlaku pada mayoritas ulama kala itu, seperti: Hasan al-Bashry, Sufyan bin ‘Uyyainah dan Abu Hanifah. Salah satu contoh hadits mursal yang ada dalam kitab tersebut adalah Riwayat Nabi dengan ahli Khaibar, Imam Malik berkata: “dari Ibnu Syihab, dari Sa'id bin Musayyab, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda kepada Yahudi Khaibar ketika hari penaklukan Khaibar: ‘Aku membebaskan kalian di tanah Khaibar ini, sebagaimana Allah telah memberi kebebasan kepada kalian sebelumnya, akan tetapi buah-buahan ini menjadi milik kami dan kalian’.”[12] Di sini Imam Malik menyandarkan haditsnya kepada Sa'id Ibnu Musayyab seorang tâbi‘în yang terkenal dengan ke-‘adâlah-annya. Dengan demikian Imam Malik tidak menerima hadits mursal secara mutlak tetapi menentukan syarat-syarat tertentu. Seluruh sahabat diakui ke‘âdil-annya karena mereka mendapat kehormatan dari Allah Swt. untuk menemani Nabi dalam berjuang, berjihad dalam membawa dan menyebarkan risalah Islam. Mereka bersabar atas penderitan dan siksaan kaum kafir atau musyrik. Juga karena mereka berhijrah meninggalkan kampung halaman, harta benda serta anak istri demi mengikuti serta menolong Nabi Saw.
[1] ‘Izzat ‘Athiyyah, Mausû‘ah ‘Ulûm al-Hadîts al-Syarîf, op. cit., hal. 847
[2] Muhammad Abu Zahrah, Mâlik; Hayâtuh wa ‘Ashruh wa Ra’yuhu wa Fiqhuhu, Darul Fikr al-Arabi, hal. 188
[3]Mahmud Hilal Muhammad Al-Sisi, al-Dhiyâ’ al-Mubîn fî Manâhiji’l Muhadditsîn, Kairo, cet. II, 1994, hal. 206
[4]‘Izzat ‘Athiyyah, Mausû‘ah ‘Ulûm al-Hadîts al-Syarîf, op. cit., hal. 857
[5]Malik bin Anas, al-Muwaththa’, direvisi dan dikomentari oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, Darul Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Kairo, 1951, hal.107
[6]Ibid., hal. 273
[7]Ibid., hal. 706
[8] Ibid., hal. 176
[9]‘Izzat ‘Athiyyah, Mausû‘ah ‘Ulûm al-Hadîts al-Syarîf, op. cit., hal. 859
[10]Musthafa al-Shiba‘i, Al-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyrî‘ al- Islâmiy, op.cit., hal. 391
[11] Ibid., hal. 393
[12] Muhammad Abu Zahrah, Mâlik; Hayâtuh wa ‘Ashruh wa Ra’yuhu wa Fiqhuhu, op. cit., hal. 245
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :