PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Syarat yang membuat istri wajib mendapatkan nafkah


1. Akad Nikah yang Sah
Akad nikah yang sah merupakan salah satu syarat wajibnya nafkah. Dengan sahnya akad nikah, maka suami berhak menahan istrinya untuk tetap tinggal di rumah dan mendapatkan pelayanan darinya.

Apabila hakim memutuskan kepada suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya karena telah terjadi akad nikah yang sah dan dikemudian hari diketahui bahwa akadnya fâsid (batal), maka nafkah yang telah diberikan dikembalikan lagi. Beda lagi apabila keduanya saling meridhai, maka tidak wajib untuk mengembalikan nafkah tersebut.[1]



2. Istri Menyerahkan Diri kepada SuamiPenyerahan diri istri kepada suaminya, baik secara hakiki ataupun secara hukum merupakan syarat wajib nafkah baginya. Secara hakiki yaitu bersedia untuk jafaf. Sedangkan secara hukum istri bersedia diajak suami untuk pindah ke rumah yang telah di sediakan suami. Sebagian ulama berpendapat penyerahan di sini maksudnya menyerahkan diri untuk berjimak. Apabila suami dan istri belum melakukan jimak, maka suami tidak berkewajiban memberikan nafkah.[2]

Seandainya istri tidak sanggup menyerahkan diri kepada suaminya karena alasan yang syar'i, maka suami harus tetap memberikan nafkah padanya walaupun suami belum medapatkan haknya.[3]Adapun sebab yang membolehkan istri tidak menyerahkan diri kepada suaminya di antaranya adalah:[4]

Suami tidak memberikan mahar atau maharnya di tangguhkan kecuali jika itu merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Maka alasan istri untuk tidak menyerahkan diri di sini sesuai syariat, karena istri tidak berkewajiban melanyani suami sebelum suami mambayar maharnya. Dalam kondisi ini dia tetap berhak meminta nafkah.

Suami meminta istrinya untuk pindah ke rumah hasil curian. Dalam kondisi seperti ini istri tidak wajib menyerahkan dirinya. Walaupun demikian dia tetap berhak meminta nafkah dari suaminya.

Istri juga tidak wajib menyerahkan diri kepada suaminya ketika istri meminta suaminya untuk menyewa rumah, namun suaminya tidak juga menyediakan rumah. Dalam kondisi ini, istri tetap berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.

Tidak adaya persiapan rumah yang syar'i, seperti serumah dengan madunya atau rumah tersebut dihuni oleh banyak orang.

Apabila penolakan istri terhadap suaminya tanpa alasan yang sesuai dengan syariat, maka suami tidak wajib memberikan nafkah terhadapnya. Pada kondisi ini istrinya telah berbuat nusyûz terhadap suaminya.

 3. Istri Tidak Nusyûz Terhadap Suami
Nusyûz istri menurut ahli Fikih[5] adalah istri berbuat maksiat terhadap suaminya atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap suaminya (keluar dari ketaatan), seperti menolak ketika suaminya mengajak jimak, keluar rumah tanpa izin suami, menolak ketika diajak pindah rumah atau menolak ketika suami mengajaknya pergi.[6]

Suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya yang nusyûz, karena ketidak patuhan istrinya kepada dia mengurangi haknya terhadap diri istrinya. Dari sanalah gugur kewajiban suami.

Tidak termasuk nusyûz ketika istri keluar rumah tanpa izin suami disebabkan keperluan syar'i, sebagaimana pendapat Syafi'iyah bahwa jika seorang istri keluar dari rumah suami tanpa izin suami maka ia telah nusyûz, kecuali jika ada keperluan yang penting, seperti keluar rumah karena ingin ke kamar mandi jika kamar mandinya di luar rumah atau keluar rumah karena menghindari rumah roboh. Hal ini disepakati juga oleh ulama lainnya karena keperluan yang syar'i diterima sebagai darurat. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih

Ketika timbul gejala nusyûz dari istri, seperti berkata kasar, cemberut atau membentak-bentak yang tidak seperti biasanya—awalnya istri selalu berkata sopan dan lemah lembut, maka suami harus segera memperbaikinya dengan menegur dan menasehatinya, tidak memukul atau meninggalkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyûz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka metaatimu, maka jaganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tiggi lagi Maha Besar ”. (QS. an-Nisâ': 34)

Ayat di atas lebih menitik beratkan pada menasehati istri yang keluar dari ketaan. Setelah istri dinasehati untuk segera bertakwa pada Allah dan takut azab Allah, tapi istri tidak mau mendengarkan atau tidak tersentuh dengan nasehat tersebut, maka suami megambil jalan kedua untuk memperbaiki istrinya.

Cara kedua ini adalah dengan berpisah tempat tidur sebagai peringatan baginya. Ulama berbeda pendapat dalam mengartikan  berpisah di sini.[7]Jumhur berpendapat bahwa pisah di sini adalah tidak menjimaknya. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa pisah di sini yaitu  mejimaknya tapi tidak sempurna. Selain itu ada juga yang berpendapat pisah tempat tidur.

Selain itu Jumhur ulama membolehkan suami untuk tidak bicara terhadap istrinya yang nusyûz dengan syarat tidak melebihi tiga hari. Rasulullah bersabda: ”Maka siapa yang tidak saling menegur lebih dari tiga hari, kemudian dia mati, maka nerakalah tempatnya”.[8]

Cara terakhir dalam mendidik istri adalah memukul istri dengan pukulan yang tidak membuat luka. Adapun tempat yang tidak boleh dipukul yaitu wajah, karena wajah merupakan bagian tubuh yang paling terlihat dan merupakan mahkota tubuh. Suami hendaknya mencari alat pemukul yang rigan seperti sapu tangan, karena tujuan dari memukul di sini yaitu memberikan pelajaran bukan menyakiti. Walaupun suami dibolehkan memukul istri, tapi nabi menganjurkan jangan sampai memukul kecuali istri benar-benar telah keluar  dari ketaatan. Selama istri masih bisa dinasehati dan ditegur dengan berpisah tempat tidur, jangan sampai suami mengambil langkah yang ketiga ini.

[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 157.

[2] Ibid., hal. 157.

[3] Ibid., hal. 158.

[4] Ibid., hal. 158.

[6] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 611, lih. juga Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 161 dan lih. juga Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, Mughni’l Muhtâj, vol. III, Dâru Ihyâi al-Turâtsi’l ‘Arabiy, Beirut, hal.320.

[7] Abu Dawud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, Sunan Abî Dâwud Syarh wa Tahqîq Duktûr al-Sayyid Muhammad Sayyid, Duktûr ‘Abdu al-Qâdir ‘Abdu'l Khair, al-Ustâdz Sayyid Ibrâhîm, vol. II, Dâru’l Hadîts, Kairo, 1999.

[8] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 46.
  
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]