Apakah Boleh Membatalkan lamaran ?
Khithbah adalah sebuah perjanjian di antara kedua belah pihak (khathib dan makhthubah). Meskipun ia merupakan janji yang konsekuensinya adalah memenuhi apa yang dijanjikan, Islam tetap membolehkan membatalkannya, baik itu datang dari khâthib atau dari makhthûbah.[1] Menurut Sayid Sabiq, membatalkan khithbah tidak termasuk khianat yang menjadi salah satu ciri orang-orang munafik,[2] selama hal itu didasarkan pada alasan serta pertimbangan-pertimbangan syariat.
Menurut Hanabilah, seorang wali berhak menolak dan menerima lamaran anak gadisnya bila dia mempunyai hak wali ijbâr[3] dan atas dasar maslahat bagi anak gadisnya.[4]Apabila sebaliknya, maka wanita lebih berhak dari pada walinya. Demikian juga jika wali menerima lamaran anak gadisnya, sedang dia menyukai dan memilih selain khâthib yang melamar melalui ayahnya. Pada kondisi seperti ini yang didahulukan adalah pilihan anaknya, yang berarti secara otomatis mengugurkan lamaran pertama.[5] Karena khithbah adalah masa yang dikhususkan untuk memikirkan dan memilih pendamping hidup, baik itu bagi khâthib sendiri ataupun bagi makhthûbah-nya.[6]
Ringkasnya, membatalkan khithbah hukumnya boleh. Ia makruh jika tanpa sebab yang jelas dan dibenarkan menurut syariat,[7] seperti ditakutkan tidak bisa menjaga hati atau menimbulkan fitnah bagi diri dan agamanya. Ini adalah pendapat yang dipegang Jumhur Ulama. Sedang Malikiyah berpendapat, bahwa membatalkan lamaran termasuk khianat (tidak menepati janji). Dengan dalil firman Allah Swt.: “… dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. al-Isrâ`: 34)
Menurut Dr. Fikriyah Ahmad Sayid, kedua pendapat di atas (Jumhur dan Malikiyah) masih perlu pertimbangan dan pemisahan antara lamaran yang sudah lama dan yang baru beberapa waktu.[8]
1. Lamaran yang sudah lama
Pada kondisi pertama ini, sejatinya pelamar tidak membatalkan lamarannya. Karena hal ini akan mencemari nama makhthûbah dan keluarganya serta menimbulkan pertanyaan bagi orang lain. Dalam artian lain, si pelamar sejatinya tetap membuktikan janjinya (menikahi makhthûbah) selama hal tidak ada uzur syar’i atau hal-hal yang memadaratkan bagi kedua belah pihak. Jika sebaliknya, maka membatalkan nikah lebih baik dari pada mempertahankannya.
2. Lamaran yang baru sebentar
Pada kondisi ini, si pelamar boleh membatalkan lamarannya. Hal ini senada dengan pendapar Jumhur Ulama di atas tadi.
Menurut Hamid Ahmad Thahir, ada beberapa hal yang menjadi faktor pendorong terjadi pembatalan khithbah, di antaranya: tergesa-gesa dalam melamar atau menerimanya tanpa pertimbangan yang matang; terlalu banyak ikhtilâth (bercampur-baur) antara khâthib dan makhthûbah-nya; krisisi ekonomi seperti deflasi yang tinggi; terlalu banyak persyaratan yang harus dipenuhi antara kedua belah pihak; pertimbangan-pertimbangan duniawi; dan lain sebagainya.[9]
Maka dari itu, sebelum menerima lamaran, sejatinya seorang wanita memikirkannya dengan matang dan penuh pertimbangan, apalagi ketika ternyata dirinya belum siap berumah tangga. Menolak lamaran karena uzur yang jelas lebih baik dari pada membatalkan lamaran karena menginginkan yang dianggapnya lebih baik dari khâthib-nya. Lebih jauhnya, membatalkan lamaran karena sesuatu yang dibenarkan lebih baik dari pada berpisah setelah menikah.
1. Konsekuensi Pembatalan Khithbah, Kaitannya dengan Hal-hal yang Diberikan Khâthib Pada Makhthûbah atau Walinya
Jika pembatalan khithbah terjadi, maka konsekuensi yang timbul kaitannya dengan barang yang diberikan khâthib adalah sebagai berikut:
a. Jika yang diberikan itu disepakati atau adat menganggapnya sebagai mahar (maskawin), baik sebagian ataupun seluruhnya,[10] para ulama sepakat, hal itu dihukumi sebagai mahar. Dengan itu, Khâthib berhak meminta kembali seluruhnya. Jika ternyata sudah rusak dengan sendirinya atau karena dipakai, maka dia berhak meminta gantinya. Begitu juga jika khathib meninggal dunia, maka ahli warisnya boleh memintanya kembali,[11] dengan dalil khithbah bukan akad nikah. Ia hanya sebagai janji nikah. Dengan itu, makhthûbah hanya berhak memilikinya jika akad nikah terlaksana, bukan hanya dengan janji nikah semata.[12]
b. Jika yang diberikan dianggap sebagai hadiah atau hibah biasa, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyah, jika masih utuh seperti perhiasan, khâthib berhak memintanya kembali. Jika ternyata sudah rusak, baik dengan sendirinya atau karena dipakai, maka khâthib tidak berhak meminta ganti apapun bentuknya.[13]
Menurut Malikiyah, Jika khâthib memberi atau membelanjakan sesuatu bagi makhthûbah-nya, kemudian ternyata makhthûbah-nya menikah dengan orang lain, menurut pendapat yang terkuat, khâthib berhak meminta kembali apa yang diberikannya, kecuali jika karena adat atau syarat.[14]
Menurut Syafi'iyah, jika masih utuh, khâthib berhak meminta kembali apa yang dihadiahkan dan yang dihibahkannya. Jika ternyata sudah rusak, maka khâthib berhak meminta gantinya.[15] Pendapat ini adalah yang difatwakan Atiyah Shaqar dan Muhammad Mutawali Sya’rawi.[16]
Menurut Hanabilah, apa yang dihadiahkan khâthib tidak boleh diminta kembali, baik pembatalan khitbah-nya dari khâthib maupun dari makhthûbah, karena apa yang diberikan khâthib adalah hadiah. Meminta kembali hadiah tidak dibolehkan, kecuali apa yang dihadiahkan seorang ayah bagi anaknya.[17] Ini adalah yang difatwakan Ali Jum’ah.[18]
Menurut para ulama, pendapat yang paling kuat adalah pendapat Malikiyah. Bila pembatalan khithbah datang dari khâthib, maka dia tidak berhak memintanya kembali meskipun masih utuh. Jika pembatalan dari makhthûbah, maka khâthib berhak meminta semua apa yang dihadiahkannya.[19] Menurut Atiyah Shaqar, pendapat ini lebih pantas dan pas untuk difatwakan. Tapi jika adat kebiasaan berbicara lain, maka ketika itu permasalahan dikembalikan pada kesepakatan dan kebiasaan masyarakat setempat.[20] Sedang menurut Wahbah Zuhaili, pendapat yang terkuat adalah pendapat Hanabilah.
2. Ganti Rugi Akibat Pembatalan Khithbah
Jika khâthib atau makhthûbah membatalkan lamaran, dan pihak yang lain (khâthib atau makhthûbah) merasa dirugikan, baik itu kerugian materi atau non materi seperti pencemaran nama baik dan hilangnya kesempatan menerima lamaran yang datang ketika masih dalam lamaran (bagi makhthûbah), apakah pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi? Dalam hal ini ulama kontemporer berbeda pendapat. Menurut Abdul Karim Zaidan, ada dua kemungkinan akan terjadi:[21]
Pertama, yang dirugikan adalah pihak yang membatalkan
Pada kondisi ini, pihak yang membatalkan menanggung kerugian yang diakibatkannya, meskipun pembatalannya itu dengan alasan yang bisa diterima. Hal ini disebabkan pertimbangan yang belum matang ketika ia mengajukan lamarannya. Begitu juga halnya jika yang membatalkan adalah makhthûbah sendiri atau walinya
Kedua, yang dirugikan adalah pihak yang dibatalkan (kháthib atau makhthûbah)
Pada kondisi ini, pihak yang dirugikan tetap tidak bisa menuntut ganti rugi, baik itu pembatalan karena alasan yang diterima ataupun tidak. Karena pihak yang membatalkan mengambil haknya yang diberikan syariat, yaitu membatalkan lamaran yang telah diajukannya (bagi khâthib) dan membatalkan lamaran yang telah diterimanya (bagi makhthûbah). Hal ini senada dengan kaidah fikih, al-jawâz al-syar’iy yunâfî al-dhâman. Bahwa apa yang dibolehkan syariat secara otomatis menafikan adanya tanggungan. Selain itu, kerugian yang ditimbulkan dari pembatalan lamaran ini tidak termasuk madarat yang disinyalid dalam Hadis Nabi sekaligus kaidah fikhiyah, bahwa madarat itu mesti dihilangkan. Karena kedua belah pihak sejatinya mengetahui bahwa masa lamaran adalah masa yang masih erlatif; bisa jadi sampai nikah dan bisa juga tidak. Sehingga dengan itu tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan penyesalan apabila pernikahan tidak jadi dilangsungkan.
Sebagian ulama berpendapat,[22]bahwa pihak yang menyebabkan kerugian wajib menggantinya, meski pembatalan itu hak yang diberikan syariat.Karena pengambilan hak tidak dibenarkan jika menimbulkan madarat bagi orang lain. Madarat atau kerugian yang ada bisa hilang dengan pembayaran ganti rugi bagi pihak yang dirugikan. Adapun ukuran ganti rugi yang wajib dibayar diserahkan pada hakim. Hal ini mengingat besar kecil kerugian berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, antara satu zaman dengan zaman yang lain. Begitu juga antara satu adat dengan adat yang lain.
Menurut Dr. Fikriyah, pendapat kedua ini lebih adil dibanding dengan pendapat yang pertama (Abdul Karim Zaidan). Karena meskipun hak mengambil hak tidak mewajibkan tanggungan, tapi hal itu tetap saja tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Selain itu, Muhammad Abu Zuhrah mengatakan,[23] pihak yang dirugikan berhak meminta ganti apabila yang membatalkan terlibat dengan hal-hal yang bisa menimbulkan kerugian tersebut. Misalnya: (1) makhthûbah meminta sarana tertentu dari khâthib-nya. (2) khâthib meminta makhthûbvah untuk meninggalkan pekerjaannya. Dari contoh di atas, maka ketika makhthûbah membatalkan lamaran, khâthib berhak meminta ganti rugi. Begitu juga sebaliknya
[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 74 dan lih juga Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 66.
[2] Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 317.
[3] Wali ijbâr adalah wali yang berwenang menikahkan anak gadisnya tanpa perlu meminta izinnya terlebih dahulu pastinya dengan syarat-syarat tertentu. Lebih lengkapnya lih. Dr. Raja Ahmad Ahmad, Dirâsa li’l Madzhab al-Syâfi’iy fi’l Zawâj wa Ahkâmihi, Diktat kuliah Syariah Islamiyah Puteri III, Universitas al-Azhar, 2005-2006. hal. 60-71.
[4] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 523.
[5] Lih. ibid., hal. 522-523.
[6] Syekh Ali Jum’ah, al-Kalim al-Thayyib, Fatâwâ ‘Ashriyyah, Dâru’l Salâm, Kairo, cet. I, 2005, hal. 341.
[7] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 74.
[8] Lih. Dr. Fikriyah Ahmad Sayid, al-Ahwal al-Syakhshiyyah fî al-Syari’ati’l Islâmiyyah, Diktat Kuliah Univ. al-Azhar, Fak. Syari’ah Islamiyah, Tk. II, Th. 2005-2006, hal. 62-64. Lama dan sebentarnya waktu lamaran (jarak antara nikah dan lamaran) tergantung adat kebiasaan yang berlaku. Karena bisa jadi apa yang dianggap lama menurut yang satu belum tentu lama bagi yang lainnya. Begitu juga sebaliknya.
[9] Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, op. cit., hal. 86.
[10] Atiyah Shaqar, op. cit., hal. 100.
[11] Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 67.
[12] Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, op. cit., hal. 86-87, Lih. Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 74-76, lih. Syekh Ali Jum’ah, op. cit., hal. 358, Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 66, Atiyah Shaqar, op. cit., hal. 100 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 318
[13] Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 75, lih juga Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, ibid., hal 87, Atiyah Shaqar, ibid., hal. 101, Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, ibid., hal. 66 dan Al-Sayyid Sabiq, ibid., hal. 319.
[14]Maksudnya bila kedua belah pihak mensyaratkan serta adat yang ada mengatakan, jika pembatalan khitbah datang dari pihak makhtûbah dan biasanya khâtib berhak meminta kembali apa yang diberikannya, maka hukum itu yang mesti diambil. Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 75.
[15] Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 319 dan Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, op. cit., hal. 87.
[16] Atiyah Shaqar, op. cit., hal. 101, Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. ciit., hal. 66.
[17] Lih. Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 76 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 319
[18] Lih. Syekh Ali Jum’ah, op. cit., hal. 358.
[19] Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, op. cit., hal. 87.
[20] Lih. Atiyah Shaqar, op. cit., hal. 101 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 319
[21] Lih. Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 76-78.
[22] Dr. Fikriyah Ahmad Sayid, al-Ahwal al-Syakhshiyyah fî al-Syari’ati’l Islâmiyyah, op. cit., hal. 69-70.
[23] Ibid., hal. 70.
Post A Comment
Tidak ada komentar :