Renungan: Mulailah Dengan Ilmu!
Mulailah
Dengan Ilmu!
Penulis: Rahmah Rasyidah
Penulis: Rahmah Rasyidah
Banyak
yang beranggapan dunia adalah panggung sandiwara yang berputar pada porosnya. Dilahirkan,
dewasa, menikah, tua lalu mati. Musibah dan bencana adalah bumbu kehidupan yang
pahit dirasa namun harus tetap ditelan. Karena begitulah hidup, gula garamnya
sudah memiliki takaran masing-masing yang dinamakan ‘takdir’.
Namun
tidak bagi mereka yang menganggap kehidupan memiliki tujuan pasti. Tidak stagnan
dalam labirin yang diciptakan oleh akal manusia. Ada Dzat Yang Maha Pengatur
yang mengatur kehidupan manusia sejak dia dilahirkan hingga berjumpa ajalnya.
Kehidupan yang merupakan nikmat terbesar umat manusia di seluruh dunia tentu
tidaklah gratis, ia memiliki tujuan paten yaitu beribadah kepada Allah Swt
dengan berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman yang selalu
terjaga, dan hidup sesuai dengan syari’at yang telah Dia tetapkan.
Sejak
panji Islam dikibarkan oleh Rasulullah Saw 14 abad yang silam, dunia seperti
terlahir kembali. Tak pernah lekang dari catatan sejarah, bagaimana futuhat
Islam untuk menyebarkanam agama rahmatan lil’alamin mampu berkibar di
kerajaan Byzantium (Roma Timur) dan kerajaan Persia, lalu menjelang akhir abad
itu, mampu menciptakan wilayah kekhalifahan yang terbentang dari Afrika Timur
sampai India. Demikianlah hingga akhirnya Islam tersebar ke seluruh dunia. Akan
tetapi, kita tidak bisa menafikan bahwa Islam tidak akan sampai kepada kita
tanpa peranan para sahabat dan para tabi’in radhiyallahu ‘anhum serta
para ulama terdahulu. Para ulama mengerahkan kemampuan mereka dalam segala
disiplin keilmuan seperti hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih, balaghah, dan
lain sebagainya.
Sebut
saja Imam Bukhari, pemilik kitab al-Jami’ ash-Shahîh yang
dinobatkan sebagai kitab rujukan umat Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Beliau berhasil mengumpul hadits sahih dengan sanad
yang bersambung kepada Rasulullah Saw. Begitu pula ulama yang lain seperti Imam
Ibnu Katsir, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal
dan lain sebagainya.
Sejenak
mari kita telaah lebih dalam makna ulama dalam realita kehidupan saat ini. Di
Negara Indonesia yang merupakan salah satu negara muslim, jika dibandingkan
dengan jumlah penduduk muslimnya, sangat sedikit sekali didapati para ulama
yang mampu mengayomi umat Islam di dalamnya. Kata ulama sendiri memiliki
interpretasi yang berbeda-beda di mata masyarakat. Sebagian mereka menilai para
ulama adalah mereka yang memiliki tingkat keilmuan islam yang sangat tinggi,
sebagian lagi menyamakannya seperti halnya para da’i, ustadz, kyai, atau muballigh.
Memang benar, jika kita mengartikan seorang ulama dengan makna seseorang yang
memiliki atau menguasai suatu ilmu keislaman, maka banyak kita jumpai da’i,
ustadz, atau kyai yang sudah menjamur di Indonesia. Akan tetapi, berapa banyak-kah
alim ulama dapat kita temukan di negeri ibu pertiwi ini yang benar-benar
menyampaikan islam dengan ilmu?
Oleh karena
itu, sebuah konklusi muncul bahwa ulama memiliki kaitan erat dengan ilmu. Seorang
ulama tidak akan disebut ulama jika ia tidak memiliki ilmu. Imam Bukhari
berkata, al-Ilmu qobla al-qauli wa al-‘amali, yang artinya ilmu itu
sebelum perkataan dan perbuatan. Maka sudah seyogyanya sebelum kita berkata
atau berbuat suatu amalan, hendaknya kita mengetahui ilmunya terlebih dahulu. Begitu
pula sebuah ilmu jika ia ditegakkan sebelum ucapan dan amal, maka pelakunya
akan diberi ganjaran meskipun dalam perkara sepele. Adapun jika ucapan dan amal
didahulukan sebelum ilmu, walaupun boleh jadi perkaranya sebesar gunung, maka
ia tidak akan bermakna apa-apa. Hal itu karena perkataan dan amalan tidak akan
benar dan diterima kecuali jika ia sesuai dengan syari’at, dan manusia tidaklah
mengetahui sesuai dengan syari’at kecuali dengan ilmu.
Lalu, jika
kita saja diwajibkan berilmu sebelum beramal, bagaimana dengan seorang ulama
yang dia menjadi tokoh dan panutan umat Islam? Jika semua orang hanya berkicau
tanpa ilmu, dunia akan jadi semrawut karena banyaknya fatwa bathil
dari berbagai pihak. Lalu apa yang bisa mengurai benang kusut itu selain ilmu?
Ingatlah
sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu secara
langsung dari hati hamba-hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan
mewafatkan para ulama sehingga ketika Allah tidak lagi menyisakan ulama,
jadilah manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh sebagai ulama, mereka
bertanya kepadanya dan ia pun menjawab tanpa ilmu sehingga ia sesat dan menyesatkan,”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits
ini menunjukkan bahwa seorang (yang dianggap) ulama (padahal sejatinya) bodoh
yang menjadi pemimpin atau panutan suatu tempat dan mengarahkan masyarakat
tanpa ilmu, maka ia akan sesat dan menyesatkan orang lain. Maka, mari kita jadikan
ilmu tujuan penting dan utama. Mari mulai dengan ilmu sebelum yang lain, khususnya
ilmu yang membuat ibadah menjadi benar, ilmu yang meluruskan aqidah, ilmu yang
memperbaiki hati, ilmu yang menjadikan seseorang berjalan dalam amalannya
sesuai dengan sunah Rasulullah Saw, bukan di atas kebodohan. Wallahu a’lam.
----------------------------------Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :