PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Sekilas Tentang Syair Arab Klasik



Jazirah Arab terletak di ujung Barat Daya benua Asia. Wilayah tersebut merupakan daerah luas, berbentuk persegi panjang, memiliki letak strategis dan meliputi tiga bagian sumber mata air. Ada tiga tempat yang menjadikan letak Jazirah Arab menjadi istimewa. Pertama, karena terletak di antara  rangkaian gunung berapi yang meliputi daerah timur dan selatan. Kedua, adanya pesisir pantai yang terbentang antara beberapa mata air dari gunung dan laut. Serta yang ketiga, karena adanya anak bukit dan dataran tinggi disekitarnya. Selain ketiga keistimewaan di atas, Jazirah Arab juga dikenal dengan kehidupan padang pasirnya. Oleh karenanya Jazirah Arab memiliki iklim tersendiri yang sangat panas dan kering serta kondisi geografis yang cukup keras. Tanahnya sangat tandus dan tidak ada hujan. Tidak heran jika kemudian masyarakat Arab memiliki tabiat hidup yang juga keras. Kahidupan mereka nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mempertahankan hidup.[1]

Para sejarawan sendiri membagi masyarakat Arab klasik[2] menjadi dua bagian, Pertama, Qahthaniyyûn, yaitu sebutan bagi masyarakat Arab yang berdomisili di daerah selatan. Nama Qahthaniyyûn adalah sebutan bagi keturunan Ya’rub bin Qahthan. Kedua, ‘Adnaniyyûn, yaitu masyarakat Arab yang dinisbatkan sebagai keturunan dari Adnan. Mereka tinggal di daerah utara.[3]

Meskipun demikian, ada fenomena menarik yang perlu dikaji pada masyarakat Arab pra Islam. Di balik kerasnya kehidupan pada masyarakat Arab Klasik, mereka ternyata memiliki kebiasaan dan tradisi menghormati tamu, pemurah dan pemberani. Masyarakat Arab ketika itu bahkan dikenal sebagai masyarakat penyair. Tradisi menggubah syair semarak dilakukan, menjadi budaya dan identitas bagi mereka. Maka tidak heran jika ketika itu muncul banyak para punggawa syair (penyair) dan seniman-seniman pelantun bait, sajak dan lagu-lagu. Di masa ini pula para penyair Arab ternama dilahirkan. Mereka melahirkan syair-syair yang memiliki keindahan dan susunan bahasa yang teratur serta memiliki kedalaman makna.

Syair menjadi hal yang sangat berharga dan sangat diistimewakan. Bahkan seorang penyair dijadikan sebagai tolak ukur kehebatan sebuah kaum, karena penyair bagi mereka adalah aset paling berharga untuk menopang sebuah kehormatan. Syair juga menjadi legitimasi bagi mereka untuk mengenang peristiwa-peristiwa penting (Ayyâmu’l ‘Arab).[4] Peperangan menjadi hal yang sangat lumrah bagi mereka, sehingga mereka jadikan sebagai inspirasi untuk bersyair.

Selain sebagai ekspresi dari setiap munculnya sebuah kejadian bersejarah, syair juga memiliki nuansa artistik pada tema-tema tertentu lainnya seperti: al-Hamâsah yaitu syair-syair yang berkaitan dengan keberanian, kekuatan dan ketangkasan seseorang dalam medan peperangan. An-Nasib, yaitu syair-syair yang digunakan untuk mengekspresikan kekaguman mereka kepada seorang wanita.  Al-Madh, yaitu syair-syair puisi yang digunakan untuk menyampaikan pujian dan penghargaan kepada orang lain. Al-Ritsâ’, yaitu kumpulan syair yang digunakan untuk mengekspresikan rasa sedih, putus asa dan kepedihan. Al-Ghazzâl, yaitu tema syair yang membicarakan ihwal seorang wanita yang dicintai. Serta masih banyak lagi tema-tema lainnya yang menjadi bahan penyair untuk mengekspresikan rasa hatinya dalam sebuah bait syair. 

Sebuah komunitas dalam kesusteraan adalah sebuah keniscayaan. Oleh karenanya kegiatan kesuteraan ataupun kepenyairan di masa Jahiliah dilakukan di sebuah tempat tertentu dan dilaksanakan oleh komunitas tertentu. Tempat yang masyhur sebagai ajang untuk aktifitas kepenyairan di masa Jahiliah adalah pasar-pasar yang terletak di berbagai daerah Arab. Pasar diyakini oleh para penyair sebagai tempat yang representatif untuk mengekspresikan karyanya. Karena di pasarlah tempat di mana segala aktifitas masyarakat Arab ketika itu berpusat. Pasar sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra klasik. Di antara pasar-pasar tersebut adalah pasar Hajar dan Musyqar yang terdapat di Bahrain, pasar Syahar di Hadramaut, pasar Syan’a di Yaman, pasar Ukadz, Majnah, Dzul Majjah dan Habasyah di Hijaz (Sekarang Mekah). Sedangkan pasar yang terletak di antara daerah Arab dan daerah A’jam[5] adalah pasar Ablah, Hirah dan Anbar.[6]

Semua karya sastra di zaman jahiliah, terutama syair-syairnya menggambarkan kehidupaan masyarakat Arab ketika itu. Meskipun beberapa syair jahili muncul karena fanatik terhadap suku (kabilah) dan pembelaan terhadapnya, namun banyak pula syair-syair yang dipertahankan oleh Islam karena banyak mengandung hikmah, semangat juang dan nilai-nilai lain yang positif yang selaras dengan ajaran Islam.

Dalam periwayatannya, syair-syair jahiliah diriwayatkan dari mulut ke mulut melalui jalur transmisi seperti halnya hadis yang berkembang dalam tradisi Islam. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Arab ketika itu masih menjadi masyarakat ummi yang tak bisa baca tulis. Namun demikian ada sebagian individu yang dikenal telah mampu menuliskan syair. Sehingga saat ini kita mengenal sebutan al-Mu’allaqât, yaitu sebutan untuk syair-syair dan kasidah panjang nan indah yang diucapkan oleh para penyair jahiliah dalam berbagai kesempatan dan tema. Al-Mu’allaqât ini kemudian digantungkan di dinding Ka’bah pada masa jahiliah. Yang paling masyhur ketika itu adalah tujuh syair yang kemudian dikenal dengan al-Mu’allaqât al-Sab’ah yang dibawakan oleh tujuh pujangga terkenal dalam sebuah perlombaan yang diadakan di pasar Ukadz. Nama-nama pujangga tersebut adalah: Umru’ul Qais bin Hajr al-Kindi, Zuhair bin Abi Sulma, Tharfah bin al-’Abdi, Antarah bin Syadad, Amru bin Kulsum, al-Haris bin Hilzah dan Lubaid bin Rabiah.

Dr. Musthofa Sadiq Rafii dalam bukunya “Târîkh Adabi’l ‘Arabiy” membagi tingkatan para penyair sesuai periodesasinya kepada empat tingkatan. Pertama, Penyair masa jahiliyah yang diwakili oleh para penyair al-Mu’allaqât al-Sab’ah, Nabighah al-Dzubyani, A’sya Qais, Muhalhil, Uda bin Zaid, ‘Ubaid bin Abras, Umayyah bin Abi Shalat, Syanfari, Abu Dawud dan lain masih banyak lagi. Kedua, adalah Mukhadlrim yaitu para penyair yang hidup pada masa jahiliah, namun mereka juga mengalami masa-masa munculnya Islam. Di antara  mereka adalah, Hasan bin Tsabit, al-Hataiah, Ka’ab bin Zuhair, Abdah bin Thayyib, Nabighah al-Ja’di, al-Khunatsa. Tingkatan penyair ketiga adalah penyair pada periode Islam yang diwakili oleh al-Farazdak, al-Akhthal, Umar bin Abi Rabiah, al-Mutanabbi, Abu Tamam, al-Buhtari dan masih banyak lagi penyair-penyair lainnya terutama yang hidup pada masa dinasti Umawiyah dan Abbasiyah. Sementara klasifikasi keempat untuk tingkatan para penyair adalah para penyair kontemporer yang diwakili oleh Ahmad Syauqi, Hafidz Ibrahim, Ahmad Zaki Abu Syadi, Abbas Mahmud al-Aqad, Shalah Abdul Shobur, Aisyah al-Taymuriyah, Fauzi al-Ma’luf dll.[7]

[1] Dr Afif Abdurrahman, op. cit., hal. 8

[2] Arab Klasik adalah sebutan untuk masyarakat Arab sebelum Islam datang atau bisa juga disebut dengan Arab Jahili

[3] Dr. Abdul Aziz Nabawi, Maujiz Târîkh al-Syi’ri’l ‘Arabiy, Hay’ah Misriyyah al-‘Âmmah Li’l Kitâb, cet I, 2006, hal. 1

[4] Istilah Ayyâmu’l ‘Arab dijadikan oleh masyarakat Arab ketika itu untuk menyebut kejadian-kejadian penting, terutama dalam peperangan. Sebutan tersebut diambil karena hampir dipastikan setiap hari ada peperangan dan huru-hara yang dilakukan oleh beberapa kabilah Arab. Lih. Ibid, hal. 8

[5] Orang Arab terbiasa menggunakan kata a’jam untuk penyebutan bangsa yang ada di luar ras mereka

[6] Musthafa Shadiq al-Rafi’I, Târîkh Adabi’l ‘Arab, Maktabah Iman, Jilid I, cet I, 1997, hal. 80

[7] Ibid, jilid 2, hal 55-56. Lihat juga Dr. Abdul Aziz Nabawi, op. cit., hal 177-181
  
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]