PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

HISTORIOGRAFI : MUNAFIK dalam ISLAM

Salaf al-Shalih, beberapa konsensus dan ijtihad mereka.
Sejarah awal islam(al-salaf) yang terbagi menjadi beberapa kurun mencatat, saat Nabi Muhammad Saw. masih hidup, umat islam bersatu bulat dalam segala hal, meski perbedaan pendapat masih ada. Namun hal itu dianggap sesuatu yang wajar, sebagai tanda manusia itu makhluk yang berfikir dan bernalar. Bukti bahwa islam tidak mengukung  kebebasan berpendapat. Jika terjadi suatu silang pendapat yang lumayan sulit, segeralah Rasul yang menyelesaikan.  Keputusan datang melalui ijtihad beliau sendiri, maupun menunggu wahyu dari Allah Swt. Konversi-konversi beliau itulah yang diterminologikan sebagai As-sunnah, yakni berupa kompilasi perkataan, perbuatan, dan cita-cita beliau yang belum terlaksanakan.  Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran surat An-Nisa: 59, “kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah  ia kepada Allah(Al-Qur’an)dan Rasul-Nya(As-sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepda Allah dan hari kemudian.” Di sini terbaca pula bahwa tugas Rasul disamping beristinbath, juga sekaligus sebagai mufassir dan mubayyin wahyu Ilahi.

Dalam beberapa kasus, beliau juga meminta tolong, membimbing, sekaligus membenarkan para sahabat dalam ber-ijtihad. Seperti ketika Abu bakar berijtihad   dalam masalah  tawanan perang badar, atau ketika Rasul membenarkan ijtihad siasat sahabat  Sa’ad bin Muadz  dalam menghadapi bani Quraidhah. Terangnya, adanya Rasul Saw pada kurun awal islam tersebut, menjadi kekuatan yang sangat penting bagi umatnya. Tapi tetap saja ada beberapa perselisihan yang memang disengaja ditiup oleh sekawanan orang munafik, terutama di Madinah Dan hanya Rasulullah sajalah yang mengetahui tentang apakah orang ini pantas disebut munafik ataukah tidak.



Setelah Rasul wafat, para sahabat masih bersatu mengenai kepercayaan  yang sekarang terkenal dengan istilah rukun iman yang enam, yang menjadi pokok aqidah mereka. Mereka tidak berselisih paham tentang hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Bahkan, ada suatu kasus tentang pembangkangan suatu kaum untuk membayar zakat dan murtad dari islam, segera saja Abu Bakar melakukan tindakan.  Jika terjadi perbedaan faham dan masalah baru, segera mereka mengembalikan pada Qur’an dan Sunnah. Segera pula para khulafaurrasidin mengadakan musyawarah bersama sahabat lain yang masih hidup. Saat itulah banyak muncul konsensus-konsensus bersama(ijma’).  Masa itulah yang  masyhur dengan masa salaf al shalih. Dilanjutkan oleh para tabi’in dan  tabiut tabiin. Generasi berikutnya tidak lagi termasuk di dalamnya hingga muncul Ibnu Taimiyyah pada abad 7 ketujuh H, yang mendengungkan kembali paham salafi. Jadi penulis  sendiri tidak sependapat dengan orang-orang yang  sekarang ini yang mengkalim bahwa dirinya orang-orang salaf, apalagi  perilaku sehari mereka tidak mencerminkan sedikitpun nilai-nilai manusia zaman salaf al-shalih. Tidak bisa juga dipungkiri mengenai terjadinya kasus perselisihan pendapat, tapi dirasa perselisihan tersebut tidak sampai kepada hal-hal yang prinsipil, semacam pada aspek teologi(akidah).



Munafik dan Benih-benih  perpecahan

Pada masa pemerintahan dua khalifah Abu Bakar  r.a dan Umar bin Khatab r.a  sampai pada enam tahun pertama dari kepemimpinan khalifah Ustman bin Affan, suasana dan keadaan umat islam masih berjalan seperti zaman Rasulullah Saw., dengan keteguhan mereka pada dua sumber utama islam yang diwariskan oleh Rasul. Hingga suasana yang tenteram itu menjadi musnah setelah enam tahun berjalannya  pemerintahan khalifah Usman bin  Affan r.a. Meski beliau seorang yang  jujur dan baik, tapi mempunyai beberapa kelemahan, terutama menyangkut orang-orang yang duduk di pemerintahannya. Usman dinilai melakukan praktek nepotisme dengan banyak mengangkat sanak familinya untuk menduduki berbagai jabatan penting. Asumsinya, jika yang bersama memerintah adalah kerabatnya, tentu akan memudahkan dalam hal koordinasi dan dalam hal penjagaan amanat. Tapi itikad baik beliau  ini dijadikan kesempatan oleh orang-orang yang tidak menyukainya, terutama kaum kaum munafik untuk memasuki dan merusak tatanan politik masa itu.

Menurut mayoritas sejarawan islam, Abdullah bin saba’, seorang mantan tokoh yahudi yang  lalu masuk islam dinilai menjadi  biang keladi huru hara yang terjadi di tubuh umat islam. Ia dinilai sebagai dedengkot kaum munafik, musuh dalam selimut bagi islam, sebab masuk islam sekedar berpura-pura, tapi jiwanya tidak lain yahudi. Ia menuntut  kepada Usman agar pejabat-pejabat yang diangkatnya itu diberhentikan sebagian atau seluruhnya. Gerakan protes itu ia koordinir dalam sebuah  gerombolan yang telah dihasutnya untuk membenci Usman. Jarum perpecahan pun dimasukkan dengan jalan mempropagandakan anti Bani Umayyah (termasuk di dalamnya Usman bin Affan) dan mengajak orang banyak untuk berpihak kepada Bani Hasyim, sebagai pewaris utama kenabian. Secara resmi ia mengirimkan  surat-surat ajakan dan kampanye yang di kirimkan ke berbagai negeri islam yang waktu itu wilayah islam sudah demikian luas hingga Mesir. Dari Mesir datanglah kira-kira lima ratus orang, juga rombongan lain dari Bashrah, Kufah dan daerah–daerah lain menuju Madinah memenuhi undangan Abdullah bin Saba’. Orang-orang Mesir  dalam hal ini menuntut agar wali negeri Mesir  Abdullah bin Abi  Sarah dipecat  dan digantikan dengan Muhammad bin Abi Bakar. Tuntutan orang-orang mesir ini pun segera dikabulkan oleh Usman. Tetapi setelah utusan dari Mesir pulang, di tengah perjalanan mereka(utusan Abdullah Saba’) menangkap seorang yang membawa surat  rahasia ini. Isi surat itu berisikan perintah agar Abdullah bin Abi Sarah segerah membunuh Muhammad bin Abi Bakar. Orang-orang Mesir terkejut dan marah dan kembali ke Madinah menuntut kepada Khalifah  agar beliau mempertanggung jawabkan isi surat itu. Sebab surat tersebut dicap dengan  stempel resmi khalifah. Usman bersumpah tidak menahu akan surat tersebut, sebab ternyata yang membuat surat itu adalah Marwan bin Hakam. Hingga suatu hari rumah beliau dikepung  oleh banyak orang, terutama  orang-orang Mesir. Mereka menuntut dua alternatif, pertama khalifah harus  turun tahta, kalau tidak maka tuntutan kedua harus dipenuhi yakni  Marwan bin Hakam harus dihukum qishas. Beliau pun menolak, sebab Marwan belum resmi membunuh, baru membuat surat menyuruh bunuh seseorang saja. Akhirnya mereka berhasil membunuh khalifah Usman bin Affan  dan wafatlah beliau pada akhir tahun ke 35 H dalam usia 82 tahun. Abdullah bin Saba’ menepuk dada sebab usahanya telah berhasil dalam membuat fitnah, menghasut dan mengobarkan api pemberontakan.

Ali bin Abi Thalib r.a pun diangkat  menjadi khalifah  menggantikan Usman bin Affan. Kebijaksanaan Ali pun ternyata tidak dapat memadamkan pertentangan yang apinya telah menjalar kemana-mana. Maka benih-benih yang ditanam Abdullah bin Saba’ ,yakni benih perpecahan itu terus tumbuh meluas bahkan pribadi Ali bin Abi Thalib sendiri dijadikan sasaran dan alat untuk  memecah belah umat islam. Hembusan fitnah dan angin pertentangan politik semakin keras. Pertentangan antara kaum pembela  Usman bin Affan yang telah meninggal dunia dengan  khalifah Ali bin Abi Thalib yang baru diangkat menjadi  khalifah yang keempat itu dikobarkan pula oleh kaum penghasut. Marwan bin Hakam sebagai pemimpin dari Bani Umayyah bertolak dari madinah menemui wali negeri Syam saat itu, Muawiyah bin Abi Sufyan. Kedua  tokoh Bani Umayyah ini pun  ingin menuntut balas atas terbunuhnya Usman, dan kedua meminta agar Ali bin Abi Thalib segera meng-qishas pembunuh Usman, apalagi Bani Umayyah mengetahui ketika Usman dikepung rumahnya oleh para pemberontak, Ali lah yang memberi saran  kepada Usman agar  Usman segera memenuhi tuntutan kaum pengepung rumah Ustman. Yakni agar  Usman turun tahta, kalau tidak menyerahkan Marwan bin Hakam  untuk di-qishas. Saran Ali ini didapati saat keadaan yang telah sedemikian gawat dan khalifah pun  tidak dapat menguasai keadaan pengepungan rumahnya yang hampir mencapai empat puluh hari.

Ditenggarai, Abdullah bin Saba’ masih berperan dalam berbagai upaya menghancurkan umat islam saat itu. Dahulu ia menghasut Bani Hasyim dan orang-orang yang bukan dari Bani Umayyah agar benci kepada Bani Umayyah (termasuk Usman bin Affan) Tetapi sekarang setelah Usman terbunuh, Abdullah bin saba’  kembali menghasut Bani Umayyah agar menuntut Ali bin Abi Thalib supaya dapat menghukum pembunuh Usman. Aisyah binti Abi Bakar r.a janda Rasulullah  juga ikut menuntut agar Ali meng-qishas pembunuh Usman. Akhirnya terjadilah perang saudara antara orang-orang Mekah yang dipimpin Sayyidah Aisyah dengan menyerbu Kufah(ibu kota baru setelah Madinah) yang di dalamya terdapat pasukan Ali. Peperangan dimenangkan pihak Ali, akan tetapi korban yang berjatuhan hampir mencapai sepuluh ribu. Perang saudara itu  kita kenal dengan perang Jamal. Kemudian pada tahun 37 H/658 M, terjadi juga peperangan antara  pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan pasukan Ali bin Abi Thalib di Siffin. Penyebab utamanya adalah karena Muawiyah enggan mengakui kekuasaan Ali, Ali pun kemudian memecat Muawiyah darijabatannya menjadi wali Syam. Padahal sebenarnya Muawiyah tidak menghiraukan pemecatan itu. Pasukan Ali berjumlah sekitar 95.000 orang dan pasukan Muawiyah  80.000 orang. Perang saudara kedua ini telah membawa korban  puluhan ribu tentara yang meninggal dari kedua belah pihak. Dan ketika kemenangan hampir diraih pihak Ali,  pihak Muawiyyah dengan wakilnya Amru  bin Ash, berhasil mengadakan ajakan arbitrase. Ia memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengacungkan Al-Qur’an  di ujung tombak, tanda perdamaian. Dikarenakan Ali melihat gelagat ke arah perdamaian dan atas dasar desakan  sebagian  pasukannya yang tidak tahan melihat korban berjatuhan, Ali pun menerima permintaan damai dari pihak Muawiyah .

Di tempat yang bernama Daumatul Jandal, dilaksanakanlah arbitrase. Wakil Ali adalah Abu Musa al Asy’ari dan wakil Muawiyah adalah Amru bin Ash. Dalam perundingan ini Amru bin Ash berhasil mengelabuhi Abu Musa al Asy’ari. Amru  mempersilakan Abu Musa al Asy’ari  untuk menaiki mimbar terlebih dahulu dan berbicara, sesuai dengan persetujuan semula. Abu Musa berkata, “saat ini aku turunkan Ali dari jabatannya sebagai khalifah.” Lalu tibalah giliran Amru bin Ash  menaiki mimbar dan berkata, “aku telah menyetujui  menurunkan Ali, dan sekarang aku mengangkat Muawiyah  sebagai khalifah.” Semua yang hadir pun terkejut. Tapi memang demikianlah yang dikehendaki pihak Muawiyah. Ia menggunakan arbitrase sekedar taktik untuk menyelamatkan diri dari kehancuran, bukan untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian sempurnalah permusuhan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah. Padahal keduanya sama-sama berasal dari suku Quraisy. Hembusan api fitnah yang ditiup oleh Abdullah bin Saba’ telah berhasil memporak-porandakan umat islam.



“Muslim tetapi munafik”

Selanjutnya, setelah  fitnah al kubra itu pun munculah berbagai aliran politik dan teologi seperti Syiah dan Khawarij yang menjauhkan umat islam dari apa yang diajarkan oleh Rasul Saw., menyelesaikan perselisihan pendapat dan perpecahan dengan jalan musyawarah. Berbeda dengan era Usman bin Affan,  timbul perpecahan yang di dasar-sebabkan karena sekedar masalah ambisi, kesalahfahaman dan penghianatan (yakni dari Abdullah bin Saba’, seorang yahudi yang bercita-cita menghancurkan islam dari dalam). Pangkal perselisihan bukanlah pada masalah syariat atau akidah, tetapi persoalan politik dan imamah semata yang seharusnya dapat diselesaikan  bersama seperti ajaran Rasul. Tapi umat islam meninggalkan Rasulnya dan mau begitu saja dihasut oleh isu-isu kaum munafik. Maka, kewaspadaan umat islam terhadap “islam tapi munafik ini” harus betul-betul ditingkatan. Agar kita tidak lagi menjadi umat yang mudah saja seperti buih, diombang-ambingkan ke sana kemari tanpa pegangan. Wal-lahu alam bi al-shawab


Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]