PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Sebelum Islam Datang, Begini Cara Berbagai Dunia Kucilkan Wanita




Kalau kita melihat ke belakang, bagaimana eksistensi wanita sebelum datangnya Islam ke permukaan bumi, maka kita akan menemukan, bahwa, kaum wanita pada waktu itu sangat tidak dihargai sekali. Mereka sama halnya seperti barang dijual, diwariskan, dan disuruh bekerja dengan kasar. Layaknya seperti binatang, yang diusir dari rumah ketika datang bulan, seakan akan mereka hanya mengotori rumah.

Kalau kita melihat bagaimana para Filosof terdahulu menghina kaum wanita dan merendahkan kedudukannya. Coba kita perhatikan guru pertama, Aristoteles, eyang para Filosof, yang berpendapat bahwa, ‘wanita tidak berhak mengenyam pendidikan, bahkan tidak layak menerimanya, kecuali menyangkut cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga saja.’ Malah kata Aristoteles, ‘kalau wanita diberikan hak yang lebih banyak lagi, maka hal itu menjadi pertanda akan musnah dan hancurnya suatu negara.’

Rousseau berpendapat bahwa, ‘wanita bukanlah makhluk yang berdiri sendiri. Tetapi, wanita adalah bagian pelengkap bagi tabiat laki-laki. Wanita diciptakan untuk membahagiakan dan melayani laki-laki, tak lebih dari itu. Kalau bukan untuk itu, tidak ada artinya keberadaan  wanita.’ Schopenhauer memandang wanita lebih  rendah daripada pria dalam soal akal, akhlak, dan pemikiran. Wanita itu otaknya melempem, akhlaknya kotor, dan tabiatnya jelek atau keterlaluan. Hanya bisa menipu, mengelabui, munafik, dan mubazir. Orang-orang yang mubazir adalah temannya setan.

Peron, seorang inggris, pernah mengatakan bahwa, wanita wajib memperhatikan rumah. Sementara kita wajib berbuat baik kepada mereka dalam soal makanan dan pakaian. Tetapi, mereka tidak boleh membaurkan diri dengan masyarakat. Kalau mereka belajar sesuatu, maka hendaklah yang ia pelajari agama, tetapi dengan catatan mereka tidak boleh mengenal syair dan politik, serta tidak boleh membaca selain buku-buku tentang ibadah dan makanan saja.

Demikian pandangan filosof tentang wanita. Sekarang mari kita lihat bagaimanakah keadaan wanita menurut sejarahnya yang ada pada dunia.

Di Yunani wanita sangat lemah, mereka tidak tinggal di rumah, jauh dari peradaban, tidak mendapat bagian sedikit pun dalam kehidupan. Mereka sangat terhina, sehingga ada yang menyebutnya sesuatu yang najis. Sedangkan dari perspektif hukumnya, wanita bagi mereka, hanya sebagai pemuas hawa nafsu yang dapat diperjualbelikan di pasar, mereka juga tidak diberi hak dalam hal waris. Pada puncak peradaban Yunani, laki-laki dan perempuan bercampur aduk dalam kehidupan masyarakat. Maka, menyebarlah kekejian sehingga mereka menganggap zina itu bukan suatu perbuatan yang munkar. Sampai pada masa wanita mengenyam masa kelaliman politik dan sastra, kemudian mengambil dan mementaskan wanita di dunia perfilman dengan busana telanjang dengan mengatasnamakan sastra dan seni.

Sedangkan di Romawi, seorang ayah tidak harus menerima dan menggolongkan seorang anak --baik laki-laki maupun perempuan-- ke dalam keluarga. Akan tetapi, anak yang baru lahir tersebut diletakkan di telapak kakinya, jika ia mengangkatnya dan menggendongnya, berarti dia menerima anak itu dan menggolongkannya sebagai keluarganya, kalau tidak, berarti ia menolaknya. Setelah itu anak tersebut di bawah ke lapangan dan membuangnya disana, jika ada yang menginginkannya boleh mengambilnya--jika laki-laki--, kalau tidak yah anak itu akan mati kelaparan dan kehausan, serta disengat dengan panasnya terik matahari atau dinginnya musim dingin. Kepala keluarga berhak memasukkan siapa saja ke dalam anggota keluarganya, dan mengeluarkan anaknya dengan cara menjualnya.

Orang India terdahulu berpendapat bahwasanya  manusia itu tidak boleh menuntut ilmu. Sedangkan wanitanya dalam Undang-undang Mono, wanita tidak mempunyai hak kebebasan dari belenggu ayah, suami dan anaknya. Jika seluruhnya meninggal dunia, maka ia wajib menisbatkan dirinya kepada orang terdekat suaminya. Dia juga tidak mempunyai hak untuk hidup setelah kematian suaminya. Akan tetapi, ia harus mati juga bersamaan dengan kematian suaminya, ia dibakar hidup-hidup ditempat suaminya dibakar. Adat seperti ini terus berlanjut sampai abad ke-17.
Orang-orang Jerman mempertaruhkan istri-istrinya di meja judi. Dalam masyarakat Cina, jika seorang suami mati, maka istrinya tidak boleh lagi menikah sepanjang hayatnya. Lain lagi dengan orang Sparte yang wanitanya boleh bersuami lebih dari satu orang. Tradisi yang jelek ini cukup banyak mendapat sambutan dan diterima oleh banyak wanita. Menurut undang-undang Romawi, wanita tidak layak berbuat sesuatu sepanjang hidupnya, persis bayi. Segala urusannya harus diwakilkan oleh kepala rumah tangga. Sementara menurut undang-undang Perancis, wanita tidak layak atau tidak berhak melakukan akad perjanjian tanpa restu dan izin suaminya.

Yang lebih aneh lagi beberapa negara bagian Perancis pernah menyelenggarakan suatu pertemuan pada tahun 586M yang membahas masalah apakah wanita dianggap manusia atau bukan? Dari topik pembicaraannya saja seakan-akan wanita itu diragukan kedudukannya seperti manusia. Setelah dibahas dan dibicarakan panjang lebar, bahkan terjadi dialog dan debat sengit antara para peserta, akhirnya mereka sampai pada satu keputusan, yaitu, bahwa wanita adalah manusia, tetapi, manusia hina yang hanya diciptakan untuk melayani pria semata, tidak lebih.

Sebagian kelompok Orang Yahudi menyamakan kedudukan anak perempuan dengan seorang pembantu, dan ayahnya mempunyai hak untuk memperjualbelikannya. Dia tidak mendapatkan hak waris, kecuali ayahnya tidak mempunyai anak atau saudara laki-laki, kalau tidak, maka ia tidak akan pernah mendapatkan warisan dari ayahnya. Dan saudaranya yang laki-laki berhak mendapatkan nafkah dan mahar dalam pernikahannya. Dia mendapatkan perabot rumah tangga, jika seorang ayah meninggalkannya, sedangkan jika peninggalannya berupa harta maka dia tidak mendapatkan apapun dari nafkah dan mahar walaupun yg ditinggalkan tersebut harta yang melimpah.

Menurut orang kristen seorang perempuan harus bertanggungjawab segala persoalan yang terjadi di masyarakat, karena ia di keluarkan untuk masyarakat. Dinikmati oleh siapapun yang menginginkannya dan menyatu dengan laki-laki seenak mereka. Mereka menetapkan bahwasanya menikah itu adalah suatu perbuatan yang kotor yang harus dijauhi. Dan mereka menganggap itu adalah pintu setan dan seorang perempuan harus malu dengan kecantikannya karena itu adalah senjata iblis untuk memfitnah dan menghasut. Al-Qadis Sustam  berkata, ‘mereka--perempuan-- adalah suatu kejelekan, dan menyebabkan malapetaka, berbahaya bagi kehidupan keluarga dan rumah tangga, suka membunuh, dan penyebab suatu penyakit yang parah.’ Al-Qadis Tirtolian21 juga berkata, “Mereka adalah tempat masuknya syaitan ke tubuh manusia, membuat cacat wahyu Allah dan mengingkari ciptaan Allah yaitu laki-laki.”

Pada abad ke-15 pernah diadakan pertemuan untuk membahas masalah Apakah perempuan itu hanya sekadar sesosok tubuh yang tidak mempunyai ruh atau memiliki ruh? Setelah pertemuan, mereka menetapkan mereka tidak mempunyai ruh yang selamat(dari api neraka) kecuali ibunya al-Masih.
Sementara di kalangan orang Arab, meskipun wanita mereka beri kebebasan yang cukup memadai, mereka masih saja menindas, menganiaya dan menyiksa kaum wanita. Mereka mewarisi wanita secara paksa. Jika ada seorang laki-laki yang meninggal dunia, anak lelaki tertuanya melemparkan pakaian bapaknya kepada istri bapaknya seraya berkata, “Aku mewarisinya--istri bapaknya-- sebagaimana aku mewarisi hartanya.” Anak tertua ini bisa memiliki bekas istri bapaknya, sedangkan wanita yang malang ini tidak bisa berbuat apa-apa untuk dirinya. Anak tertua laki-lki yang meninggal ini, jika berminat mengawini, bisa mengawini bekas istri bapaknya atau mengawinkannya dengan laki-laki lain untuk mendapatkan maskawinnya. Atau, dia melarang mantan istri bapaknya untuk menikah lagi sampai ia mati agar ia mewarisi hartanya. Orang-orang Arab jahiliah biasanya melarang wanita janda menikah lagi. Begitu juga pewarisnya melarang menikah sampai ia menentukan jodohnya, tidak peduli apakah janda yang bersangkutan suka atau tidak. Mereka juga bisa mengawini dua perempuan bersaudara. Bahkan, ada sebagian mereka yang menikah dengan anak perempuannya.

Dahulu, juga memiliki kebiasaan menikah yang tidak ada batasannya. Akan tetapi, ketika Islam datang, mereka disuruh menceraikan istri mereka dan diperintahkan untuk memilih empat saja dari mereka. Sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an (QS. al-Nisa’,4:3).
Pada zaman fir’aun, wanita sangat menikmati sekali kebebasan yang diberikan kepadanya, baik eksistensinya di masyarakat, maupun di keluarga. Yang mana, waktu itu orang Mesir belum mengenal ikhtilath dan hijab. Mereka pergi ke manapun dengan bebas, dan berbicara kepada siapa pun yang ia kehendaki.

Konon Hajib bin Zurrah, seorang pemimpin dari Bani Tamim, menikah dengan putrinya, lalu melahirkan anak yang kemudian diberi nama Dakhtanus, yaitu nama putri kaisar. Begitu juga, masyarakat Arab jahiliah dulu sangat benci kepada anak perempuan. Dan mengubur anak perempuan karena malu menanggung malu dan takut miskin, disebabkan lemahnya wanita dan tidak bisa ikut dalam peperangan, dan tidak dapat mencari rezki sendiri. Seperti yang termaktub dalam al-Qur’an Allah swt. berfirman,

“Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan(kelahiran) anak perempuan, hitamlah(merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”

Dari ayat tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan, bahwasanya, Islam melarang bagi manusia untuk menguburkan anak perempuannya yang baru lahir, karna itu adalah nikmat Allah yang diberikan kepada manusia yang patut disyukuri. Dan anak perempuan bukanlah sesuatu yang aib, karena dari merekalah akan muncul pemimpin-pemimpin bangsa. Sehingga, hadits menekankan dan melarang keras manusia untuk mengubur anak perempuan mereka yang baru lahir. Rasul saw. bersabda,
 “ Sesungguhnya Allah melarang kepada kalian durhaka kepada orang tua, dan mengubur(hidup-hidup) anak-anak perempuan, melarang(apa yang Allah tidak melarangnya) dan melarang(meminta apa yang tidak berhak ia minta), dan dibenci bagi kamu sekalian untuk qila wa qala (memberikan berita apa yang ia dengar dan seraya berkata: katanya begini dan begini, tanpa mengetahui siapa yang berkata), banyak bertanya, dan menimbun harta”.

Pada abad ke-6 Masehi setelah kelaliman yang melanda perempuan di seluruh dunia, di Mekah lahirlah seorang nabi yang meletakkan kebenaran untuk menghormati kaum hawa, dan memberikan hak-haknya dengan sempurna, dan mengangkat derajatnya yang mana dahulu hanya sebagai pemuas hawa nafsu dan pembuat fitnah dan menjadikan perempuan bagian dari masyarakat dan menjaga keselamatannya.

----------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta. 
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]