PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Metode Penulisan Sejarah Islam



Metode merupakan hal terpenting dan harus diperhatikan dalam menyampaikan atau menerima ide seseorang kepada orang lain. Dengan metode yang benar, akan mendapatkan respon yang benar pula. Maka dibutuhkan data-data dari fakta yang jelas, supaya tidak ada kerancuan dalam sejarah.[1]

Terlepas dari perdebatan kaum muslimin mengenai sifat sejarah, baik bersifat sebagai ilmu pengetahuan atau bersifat seni, akan tetapi kedua sifat tersebut berhubungan erat dengan ilmu hadis. Karena hadis merupakan salah satu sumber pengetahuan dan merupakan alat untuk menafsirkan al-Qur’an. Dikatakan sejarah sebagai seni oleh ilmuwan yang konsentrasi pada ilmu peradaban dan sejarah, karena ia bisa dihasilkan dari seni menghayal. Tapi dianggap sebagai disiplin ilmu ilmiyah, karena harus berdasarkan validitas data. Dan al-Syakawi menganggap sejarah Islam sebagai hasil dari seni-seni hadis Nabi Saw., yang berarti mempelajari dan menuliskan sejarah Islam dan sîrah Nabi berdasarkan hadis Nabi Saw.. [2]

Sebagaimana metode sanad dalam ilmu hadis; silsilah periwayatan dari orang yang terpercaya, Jalaluddin al-Suyuthi (1445-1505 M) menulis Sejarah Islam berdasarkan referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Sejak kecil pola pikirnya terbentuk dari pendidikan keluarganya terutama sang ayah (Kamaluddin Abu Bakar-pakar fikih-). Suyuthi kecil sudah sibuk dengan ilmu fikih dan hafal al-Qur’an sebelum sempurna umurnya 8 tahun. Menginjak dewasa dia konsentrasi dalam ilmu sejarah karena dorongannya untuk mengetahui hal ikhwal manusia muslim pada masa Nabi Saw. dan masa para sahabatnya. Suyuthi dalam menulis sejarah Islam acapkali menyertakan referensi untuk menghindari serangan kritikus ulama modern, dan yang paling penting dia mengambil data dari referensi-referensi dan data-data tervalid dari sumbernya langsung. Berawal dari menjaga amanat ilmiyah inilah, bukunya yang berjudul Târîkhu’l Khulfâ yang 5 jilid diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Janet dan kemudian ke bahasa Prancis. Melihat dari keuletan Suyuthi ini, dia sampai disuruh menuliskan hadis oleh Khalifah al-Mutawakkil  pada masa Abbasiyah.[3]

Ada fase-fase yang harus dilalui dalam menulis sejarah, khusunya sejarah Islam, yaitu:

  • Menyiapkan dan mengumpulkan referensi, khususnya buku-buku yang membahas sejarah Islam.
  • Mengumpulkan materi bahasan.
  • Fase kritik; mengkritisi beberapa referensi yang telah di telaah. Hal ini diperlukan karena ada perbedaan ilmuwan tentang riwayat. Sehingga tidak ada pengertian sejarah yang hanya sekedar kisah yang bisa ditafsirkan sesuai kehendak penelaah.
  • Fase tafsir (hermeneutik), fase ini adalah fase yang paling sulit. Karena harus konsisten dengan tulisannya sesuai dengan penelitian serta tidak terlepas dari kaidah bahasa yang sirat dalam referensi.


Metode dalam penulisan pun harus ada catatan, karena tidak adanya catatan berarti tidak ada isi. Begitu juga sebaliknya, tidak ada muatan isi jika tidak ada catatan. Catatan ini bisa berbentuk:


  • Buku rujukan beserta halamannya.
  • Keterangan sebuah kata atau baris yang butuh penjelasan lebih lanjut.
  • Catatan penjelasan kata atau tulisan agar pembaca tidak mangulang bacaanya dari depan.
  • Kritik nash atau dalil-dalil/data-data/bukti-bukti sejarah.
  • Kritik dan mendiskusikan ide penulis lain yang cenderung mendistorsikan sejarah.
  • Pemberitahuan mengenai tokoh, tempat atau kerangan nama yang telah tercantum dalam tulisan.[4]


Disebutkan pula dalam makalah Ali Muhafadhah, Universitas Yarmuk, bahwa metode penulisan sejarah Islam harus mengklasifikasikan per periode (zaman kejayaan). Cara yang ditempuh yaitu mengumpulkan data kejadian sesuai dengan generasi. Kemudian mengumpulkan sanad-sanad yang berkenaan dengan setiap generasi yang akan dibahas.[5]

[1] Anwar al-Jundi, op. cit., hal. 8
[2] Dr. Abdul Mun’im Ibrahim Addasuki al-Ajimi, op. cit.,, hal. 14
[3]Dr. Husain Muhammad Rabi, Manhaj al-Suyûthiy fiy Kitâbati al-Târîkh, Hai’ah Mishriyah ‘Âmmah, Kairo, 1978 M, hal. 47
[4] Dr. Abdul Mun’im Ibrahim Addasuki al-Ajimi, op. cit., hal. 67
[5] Ali Muhafadhah, op. cit., hal. 35
-------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]