PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Akar Sekularisme dalam Konsep Kenegaraan




Sebagai umat Islam, kita harus meyakini pernyataan-pernyataan dalam al-Quran dan Sunah yang menyinggung tentang negara, walaupun pada dasrnya hal itu tidak secara detail diterangkan oleh al-Quran. Sebaliknya pandangan atau doktrin sekuler yang memisahkan antara agama dan negara harus kita tolak, tentunya dengan alasan yang kuat. Karena pada mulanya isu pemisahan itu merupakan sebuah upaya imperialis Barat untuk mendeskriditkan Islam dalam percaturan politik global. Contoh konkrit dari upaya ini adalah seperti yang terekam dalam sejarah Turki bahwa Kemal Attatruk dengan Turkinya mendeklarasikan berdirinya sebuah Negara Sekuler (al-dawlah al-'ilmaniyyah) yang dalam prakteknya jelas-jelas memisahkan masalah agama dengan urusan kenegaraan.
Nampaknya akar-akar sekularismepun menjadi tema yang sangat menarik untuk didiskusikan. Lutfi Syaukani seorang tokoh JIL dalam sebuah forum diskusi Islamlib mengatakan, bahwa dia sangat terkejut ketika mendapati tulisan dalam buku karya Karen Amstrong The Battle for God, yang menyatakan bahwa Imam Ja'far al Shadiq, salah satu imam dua belas, dianggap sebagai penganjur ”sekulerisasi” sejati. Dikatakan "imam syiah keenam, Ja'far al Shadiq (wafat th. 765 M) secara efektif telah  memisahkan agama dan politik. Ia memprivatisasi agama dan membatasinya dalam wilayah pribadi. Hal ini dilakukannya untuk melindungi agama, sehingga agama dapat terus bertahan dalam dunia yang tampak memusuhinya. Kebijakan sekularisasinya ini datang dari insting spiritual. Kaum syiah tahu bahwa mencampuradukkan agama dengan politik bisa berbahaya". Bagi Luthfi pernyataan ini sungguh menarik karena selama ini isu tetang sekularisme yang terdengar datang dari kalangan moderenis. Isu ini sekaligus mengejutkan, karena gagasan seperti itu  datang dari seorang imam.
Bagi kaum sekuler pemisahan antara otoritas spiritual dan temporal secara aktual telah dimulai sejak dinasti Umayah. Hal itu terlihat jelas pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz,  yang dianggap lebih konsen mengurusi urusan politik ketimbang urusan agama. Dan perubahan kata khalifah atau amirul mukminin menjadi raja, juga merupakan akar sekularisme. Permasalahan agama yang tidak lagi diselesaikan dibawah naungan para khalîfah, semakin menguatkan pendapat mereka bahwa memang benih-benih sekularisme telah tumbuh sejak dulu. Cak Nur menambahkan bahwa pada urusan politik, sekularisasi telah dimulai tak lama setelah Nabi wafat, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Umayah dan Abasiyah. Lebih jauh  dikatakan bahwa negara Islam hanyalah ide baru tanpa akar historis yang jelas (unhistorical accident),  ia adalah konsep baru yang tidak pernah ada pada zaman nabi dan khulafaur râsyidin.
Perbedaan konsep dasar demokrasipun menjadi satu topik yang menarik untuk diperbincangkan, bahwa kedaulatan dalam Islam berada di tangan Tuhan sementara demokrasi  yang selama ini kita ketahui mengajarkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Mereka juga meragukan keberadaan wakil Tuhan dibumi atau khalîfatulLâh.  Kemudian penggunaan istilah dawlah islâmiyah oleh al-Maududi dan Sayyid Quthb juga dipersoalkan. Mereka mengatakan,  bahwa kata dawlah dalam bahasa Arab sama sekali tidak mempunyai arti yang berkaitan dengan negara, dia hanya mempunyai arti “giliran”. Seperti ketika kita menyebut dawlah umayyah, maka pernyataan kita akan mempunyai makna  “giliran umayah”. Selanjutnya mereka juga menganggap semua yang terjadi di Iran paska revolusi Islam adalah sebagai akar sekularisme dalam bernegara.
Pemisahan agama dan negara yang mereka lakukan jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab dalam Islam tidak ada rumusan pemisahan antara masalah agama dan negara. Justru dalam konsepsi makna kata ad-din yaitu Islam, yang diantara maknanya adalah ketundukan, kepasrahan, keadilan, serta arti yang lainnya hanya bisa berlaku dalam konteks sosial masyarakat, dan bukan melulu berkutat dalam permasalahan kesalehan pribadi. Kesempurnaan beragama seorang muslim semakin dapat terealisasikan dalam interaksi yang terjalin antara sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat
Pendapat kaum sekuler yang jelas-jelas memisahkan antara agama dan negara juga mendapat bantahan dari beberapa tokoh orientalis sendiri. Diantaranya Dr. V Fitzgerald yang mengungkapkan bahwa Islam bukan hanya agama tetapi juga political system. Meskipun, akhir-akhir ini banyak umat Islam yang mengklaim dirinya sebagai kaum yang moderat, namun ujung-ujungnya juga ingin memisahakan antara agama dan negara. Dr. Schacht juga melantunkan nada yang serupa, bahwa Islam pada dasarnya lebih dari sebuah agama. Ia memberikan pandanagan tentang teori hukum dan politik yang intinya Islam adalah sebuah sistem terpadu yang mencakup agama dan negara. H.A.R Gibb juga berpendapat sama dengan mengatakan bahwa Islam bukan hanya kumpulan keyakinan-keyakinan tetapi juga menganjurkan tegakanya sebuah bangunan sosial politik masyarakat yang independen, yang mempunyai cara atau undang-undang tersendiri dalam pelaksanaanya. Bahkan R. Strothman menegaskan bahwa Muhammad Saw. selain seorang Nabi juga seorang negarawan. Hal senada juga diungkapkan oleh D.B Macdonald, C.A Nallino dan Thomas w Arnold.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]