Sastra Islami adalah sastra yang konstruktif. Sastra sekuler adalah sastra yang menghancurkan
Sinar: Duktur, sebenarnya,
sejak kapan sastra Islam itu ada? Serta bagaimana pula perkembangannya dalam
alur sejarah?
Sastra Islam muncul di
zaman Rasulullah Saw. di mana pada saat itu banyak para penyair Islam dari
kalangan sahabat, seperti Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Sa'id bin
Zubair dan lain-lain. Saat itu, setiap kali akan melakukan peperangan,
masing-masing pasukan menyiapkan seorang penyair yang bertugas membakar
semangar para bala tentara. Ada satu syair yang selalu dibacakan ketika mau
perang "Hadza'l yaum lahû mâ ba'dahu. Syuddu 'alaihim sidû. Wal'Lâhi lâ
nuqâti hâulai'l kafarati bi silâhin wa lâ bi 'udadin wala bi 'adadin.
Walâkinna nuqâtiluhum bi hadza' al-dîn alladzi huwa'l Islâm" (Hari ini adalah hari yang menentukan hari esok. Perangilah mereka.
Demi Allah! Kita tidak akan memerangi mereka dengan senjata, peralatan atau
dengan jumlah kita yang banyak, tetapi sesungguhnya, kita memerangi mereka dengan
agama al-Islam ini).
Bila garis sejarah itu
kita tarik ke zaman kontemporer, sastra Islam juga memiliki posisi yang cukup
vital dan siginifikan. Saat ni bahkan sudah berkembang satu cabang ilmu sastra
yaitu 'kritik sastra'. Kritik sastra yang dimaksudkan di sini adalah meletakkan
karya sastra seseorang dalam sebuah neraca Islam. Karya yang berjalan satu alur
dengan prinsip Islam akan kita ambil, sebaliknya jika ia bertolak belakang,
kita campakkan ke 'tong sampah'. Para penganut faham sekulerisme mengajukan
sebuah pertanyaan, mengapa harus ada sastra Islam, bukankah sastra adalah
sebuah fenomena generik? Mereka pada dasarnya enggan diikat oleh norma dan
etika. Mereka menginginkan kebebasan dalam seni estetika ini. Kita jawab
pertanyaan mengapa harus ada label Islam dalam sastra. Kita namakan dengan
sastra Islam, karena kita adalah umah arabiyah yang beragama Islam. Kitab
suci kita, al-Quran, juga diturunkan dengan bahasa arab. Bahasa arab dalam
sejarah, merupakan satu-satunya bahasa yang dipakai langsung sebagai bahasa
kitab suci. Bible dan Taurat tidak diturunkan dengan bahasa umatnya, Ibrani,
tetapi diturunkan dengan menggunakan bahasa lain, yaitu Armenia atau Suryaniyah.
Ketika pertanyaan tadi kita ulang, mengapa tokoh sekuler berada dalam satu front
penentang arus sastra Islam, kita akan terringat dengan 'sabdanya' Jamaluddin
al-Afghani. Bagi reformer Islam satu ini, sebenarnya motif mereka (baca:
sekuleris) bukanlah semata-mata menghalangi perekembangan sastra Islam, tapi lebih
jauh dari itu, mereka sedang berusaha untuk menghambat laju perkembangan Islam
itu sendiri.
Sinar : Bagaimana nasib perkembangan sastra Islam
saat ini?
Alhamdulillah, satra Islam
di era kontemporer bisa dikatakan cukup memuaskan. Sebagai contoh adalah
keberhasilan kita memasukkan sastra Islam sebagai mata kuliah di perguruan
tinggi. Saya saat ini memiliki mahasiswa-mahasiswa program magister dan
doktoral yang secara spesifik menulis tentang tentang sastra Islam. Ini lompatan
luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya di universitas manapun. Tidak bermaksud
untuk sombong, bahkan ada mahasiswa yang menulis tesis tentang Jabir Qumaihah
Syi'ran (Jabir Qumaihah sang penyair). Lalu ada juga yang menulis disertasi
dengan judul Jabir Qumaihah wa Juhûduhu an-Naqdiyyah (Jabir Qumaiha dan
Proyek Kritik Sastra). Insya Allah munâqasyah-nya tidak akan lama lagi.
Ada juga yang mengangkat tentang sastrawan seperti Umar Bahauddin al-Amiri, Jabir
Qumaihah, Najib Kaelani serta Hasan al-Bana. Ala kulli hal, sastra Islam
sudah berkembang dengan cukup mencengangkan, dalam berbagai jenisnya, baik dari
jenis sastra khutbah yang disampaikan di atas mimbar, sastra syair yang
digoreskan di atas kertas sampai pada tesis-desertasi yang disusun di
kampus-kampus. Fenomena di atas adalah lompatan tersendiri dalam lingkup sastra
Islam.
Sinar : Duktur, bisakah anda jelaskan dhawâbith
(garis pembatas) antara sastra Islam dan sastra non-Islam!
Sebenarya tidak ada
definisi yang pasti tentang sastra Islam. Karena definisi itu sendiri ruangnya
dibatasi zaman. Ia tidak baku atau saklek. Definisi mengalami evolusi
dan manusia bisa saja mengutak-atiknya. Secara sederhana sastra Islam bisa kita
definisikan sebagai sastra yang membangun (konstruktif), bukan sastra yang bersifat
merusak (destruktif). Sastra Islam adalah sastra yang berbicara tentang qiyam
(values, nilai-nilai), akhlak dan menolak mentah-mentah adanya unsur
negatif di dalamnya. Menurut saya, inilah sastra Islam yang orisinil. Sastra
Islam memang tidak mesti ditulis dengan nomenklatur-nomenklatur keislaman.
Sepanjang orientasinya adalah pembangunan, maka tanpa menggunakan simbol-simbol
Islam pun, ia secara otomatis akan menjadi bagian dari sastra Islam. Mengapa
demikian? Karena Islam adalah agama yang lebih mementingkan qimah
(substansi).
Orang yang
mendefinisikan sastra Islam dengan sangat cemerlang adalah Rasulullah Saw.,
yaitu ketika nabi bersabda: "inna mina'l bayâni la sihran, wa
inna min al-syi'ri la hikmah (di dalam bayan ada kekuatan
sihir, di dalam syair ada kebijaksanaan)". Sihir adalah kekuatan ghaib
yang mengekang jiwa manusia. Maka nabi mengatakan bahwa dalam bayan ada
kekuatan sihir yang terpendam dalam lekuk-lekuk katanya. Rasulullah Saw.
melalui hadis ini sedang memberikan sebuah rumusan tentang sastra Islam. Bahwa
sastra Islam adalah sastra yang mengandung struktur kata-kata yang memikat dan
indah yang dapat mempengaruhi atifah (emosi) seseorang. Jadi ada dua
anasir pokok dalam sastra Islam; pertama, dalam uslûb atau komponen
bahasa yang digunakan (dalam ilmu sastra disebut al-adâu al-ta'biriy)
dan kedua, dalam dimensi substansi pemikiran. Dalam dimensi kedua, sastra Islam
haruslah mengandung unsur hikmah. Hikmah sendiri adalah sebuah lafaz yang
mengandung unsur kebijaksanaan dan kemanfaatan yang membangkitkan masyarakat.
Dalam sebuah pepatah disebutkan; "al-hikmah dlalatul mukmin, anna
wajadaha fahiya lahu" (hikmah adalah barang milik seorang yang
beriman, dari mana ia menemukannya, maka ia berhak menggunakannya).
(Hiwarpun berhenti sejenak, Dr. Jabir minta izin untuk
masuk ke dalam rumahnya. Setelah beberapa menit kami menunngu, Duktur datang
dengan membawa minuman dan memberikan beberapa buku karangan beliau, sebagai
cinderamata untuk Sinar Muhammadiyah)
Sinar: Bisakah antum
menjelaskan, seperti apa sastra yang dianggap sekuler itu?
Begini...Sastra sekuler
ada dua macam, pertama, sastra sekuleris-nasionalis, yang diwakili oleh
Najib Mahfudz. Sastra ini hanya mengangkat masalah rasio saja, tidak
menyinggung permasalahan keagamaan apalagi permasalahan akidah. Ya tentu kita welcome
saja dengan sastra jenis ini. Kedua, sastra sekuler liberal yang
menganut faham huriyatu al-ta'bir, seperti sastra berbau seks.
Untuk yang jenis satu ini, secara tegas kita tolak dan kita katakan "No".
Sastra sekuler tidak
memperhatikan masalah society building, tapi sebaliknya society
destroying. Sekarang kalau kita lihat, banyak sekali para sastrawan yang
mengangkat tema seks secara liar. Betul bahwa pembicaraan yang berbau seks
tidak haram. Al-Quran juga berbicara tentang itu. Seperti kisah Yusuf As. dan
Zulaikha istri seorang raja Mesir. Tapi al-Quran melakukannya dengan sopan alias
tidak vulgar. Namun sekarang kebanyakan orang hanya berhenti pada titik eksploitasi
aurat dan fisik saja, titik yang hanya bisa merangsang jiwa yang masih labil. Tentu
secara tegas harus kita tolak sastra seperti ini. Abbas Aqad menganggap sastra 'mazhab
selangkangan' ini sebagai sastra rendahan. Ia dianggap hanya bisa menghacurkan
karakter, melalaikan hati serta memundurkan umat. Kesimpulannya, suatu karya
sastra bisa dikatakan islami jika orientasinya akidah, akhlak islami dan building
of society. Sedangkan sastra sekuler adalah sastra yang orientasinya hanya
materi.
Sinar : Duktur, apa yang dimaksud dengan
kritik sastra Islam (an-naqdu al-adab al-islamiy) itu?
Yang disebut dengan
kritik sastra Islam adalah menjadikan Islam sebagai tolak ukur atau kriteria di
saat kita ingin mengkritik sebuah karya satra. Karya sastra haruslah mengandung
unsur-unsur kesopanan, keindahan, bersifat membangun dan tidak merusak. Sastra harus
memiliki orientasi sosial, mempedulikan masalah sulûki, tarbawiy
dan akhlâqiy. Jadi yang dimaksud dengan kritik satra Islam itu adalah komentar
sastra, dengan menjadikan variabel society building, carachter
building dan education building sebagai tolak ukur. Maka apa yang
sesuai dengan ajaran Islam kita terima dan apabila berbeda kita tolak.
Sinar : Duktur, mengapa di Mesir kami susah
mendapatkan buku-buku sastra Islam, seperti Najib Kaelani. sedangkan buku-buku
satra sekuler seperti jualan kacang saja (banyak)?
Ha ha ha... terus cari,
insya Allah kalian akan menemukannya.
Sinar : Sebelum mengakhiri pertemuan ini, mungkin antum
punya nasihat atau pesan kepada kami terutama bagi para generasi Islam?
Baiklah! Pertama dan
paling utama, berusahalan untuk selalu ber-taqarrub dengan Allah Swt.. Tiga
pesan lainnya, pertama, membaca, yang kedua membaca, dan yang
ketiga membaca. Allah hanya menginginkan seorang muslim yang berpengetahuan
luas, sekaligus muslim yang mengamalkan pengetahuannya di dunia ini. Usahakan jika
anda tidak membaca, anda merasa ada yang kurang. Seolah-olah anda telah
menyia-nyiakan umur anda. Jadi, hiduplah bersama Allah Swt. dan buku (pengetahuan,
red).
Post A Comment
Tidak ada komentar :