Memilih Calon Suami Islami ? Perhatikan Hal-hal ini !
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika memilih calon suami:[1]
1. Mampu memberikan bâ`ah (jimak dan biaya rumah tangga).[2] Hal ini jelas tidaklah berlebihan karena ketika Fatimah binti Qais istisyârah pada Nabi, dia berkata: “Adapun Mu’awiyah dia adalh orang miskin, tak punya apa-apa”.
2. Lemah lembut terhadap istri. Ini juga bukan hal yang aneh. Dalam Hadis Fatimah Nabi pun berkata: “Sedang Abu Jaham tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid”.[3] Hadis ini merupakan anjuran untuk tidak memilih calon suami yang kasar dan suka memukul tanpa sebab. Kalau tidak demikian, maka Nabi tidak akan menasehati Fatimah dan menyarankannya untuk menikah dengan Zaid.
3. Sekufu[4]. Ini dimaksud supaya tidak terjadi keretakan dalam rumah tangga. Hal ini mengingat posisi suami yang sangat penting; sebagai pemimpin keluarganya (qawâm).[5]
Setelah pemaparan di atas, timbul satu pertanyaan; apakah kecondongan (cinta, red) termasuk salah satu pertimbangan syari’at dalam memilih calon suami atau istri? Dalam artian lain, apakah syariat membenarkan jika seorang wanita menolak lamaran karena tidak ada kecondongan pada sang pelamarnya? Atau, apakah cinta yang merupakan salah satu pondasi rumah tangga diperlukan sebelum nikah (akad) ataukah setelahnya? Menurut Hamid Ahmad Thahir, jawabannya adalah firman Allah: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. ar-Rûm: 21)
Wajhu al-Dilâlah:
Lafal “al-sakan” pada ayat di atas berarti kecondongan dan keramahan setelah jimak. Artinya, ketentraman jiwa yang dijanjikan Allah Swt. adalah ada setelah nikah (setelah jimak), bukan sebelumnya. Setelah timbul ketentraman, maka akan datang cinta dan kasih sayang. Karena tidak akan ada kasih sayang kecuali setelah timbulnya cinta. Cinta yang sebenarnya adalah cinta setelah menikah dan merasakan ketentraman, bukan sebelumnya. Karena perasaan yang timbul sebelum nikah hanyalah sebuah fatamorgana. Ia terlihat indah tapi kenyataannya tidak ada. Karena ia tidak bisa dirasakan dan dimiliki. Atau bisa dimilki, tapi kepemilikan itu menimbulkan konsekuensi dosa dari zina hati yang dilarang agama.
Meski demikian, --menurut hemat penulis, bukan hal dilarang ketika kecondongan dijadikan salah satu alasan menerima atau menolak lamaran. Karena yang jadi terpenting adalah tidak menjadikan ada dan tidak ada kecintaan menjadi satu-satunya alasan untuk tidak menerima tawaran menikah. Pandangan penulis ini dengan beberapa argumen di antaranya:
1. Perintah melihat yang dilamar atau yang melamar merupakan satu isyarat dibolehkannya menerima atau menolak lamaran karena tidak ada kecondongan untuk menerimanya.
Karena dengan adanya kecondongan tersebut khâthib dan makhthûbah setidaknya mempunyai keyakinan yang kuat mereka bisa berjalan beriringan meniti jalan-Nya dengan pernikahan sehingga dengan kecondongan itu akan melahirkan generasi-generasi Islam yang diinginkan serta mampu mewujudkan hikmah disyariatkan nikah.
[1] Abu Malik Kamal Ibnu Sayid Salim, op. cit., hal. 379
[2] Ibid., hal. 379.
[3] Ibid., hal. 380. Tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya maksudnya suka memukul wanita.
[4] Untuk lebih jelasnya, tema kafa’ah ini akan dibahas oleh Laela Happy Dian.
[5] Abu Malik Kamal Ibnu Sayid Salim, op. cit., hal. 380.
Post A Comment
Tidak ada komentar :