PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Permasalahan-Permasalahan Mandi Wajib

a. Mengurai rambut ketika mandi wajib
Dalam permasalahan ini, ulama berbeda pendapat.
Pertama, menurut Hasan, Thawus, dan sebagian Hanabilah, ketika mandi wajib, wanita haid wajib mengurai rambutnya.
Dalilnya, Hadis Aisyah Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda ketika ia haid pada saat melaksanakan haji: “Lepaskanlah jalinan rambutmu, sisirlah dan tinggalkanlah umrah” (HR. Bukhari).[1]
Wajhu al-Dilâlah:
Hadis ini menyatakan kewajiban melepas ikatan rambut dan menyisirnya pada saat mandi wajib.
Tujuannya adalah agar air sampai ke kulit kepala.[2] Hukum ini hanya berlaku bagi wanita haid dan nifas. Sedangkan dalam mandi janâbah,[3] hal ini tidak diwajibkan. Karena mandi janâbah sering dilakukan. Jika diwajibkan akan memberatkan wanita tersebut.
Kedua, menurut Jumhur Ulama dan sebagian Hanabilah, ketika mandi wajib wanita haid disunatkan mengurai rambutnya. Imam Syafii menyebutkan bahwa wanita haid tidak perlu mengurai ikatan rambutnya ketika mandi wajib; baik mandi wajib karena haid atau janabah dan tidak menyebutkan bahwa hukumnya sunat.[4]  Dalilnya, Hadis Ummu Salamah Ra., ia berkata:
Saya bertanya terhadap Rasulullah Saw., ya Rasulullah, saya seorang perempuan dengan jalinan rambut yang kuat. Apakah saya harus membuka jalinannya ketika mandi janabah? Rasulullah menjawab, tidak, cukup bagimu menyedok kepalamu tiga kali. Kemudian menyiram tubuhmu dengan air, maka kamu telah suci” (HR. Muslim, Abu Daud dan Turmudzi)[5]

Wajhu al-Dilâlah:
Hadis ini menyatakan, ketika mandi wajib, wanita haid tidak wajib mengurai ikatan rambut, tapi cukup dengan menyedoknya dengan air tiga kali. Yang diwajibkan adalah menyampaikan air pada kulit kepala. Hal ini bisa saja tanpa harus mengurai jalinan rambut.
Jika mengurainya diwajibkan, pasti Nabi menjelaskannya. Sedang hal itu tidak terjadi, karena mengakhirkan penjelasan dari waktu kebutuhan tidak dibolehkan
Pendapat yang paling rajih adalah pendapat kedua. Adapun Hadis Aisyah Ra. merupakan perintah Nabi dalam ihram, bukan dalam mandi wajib.[6]

  1. Mengakhirkan mandi wajib tanpa uzur (sebab syar’i)
Tidak pantas seseorang yang junub —termasuk haid, mengakhirkan mandi wajib disebabkan malas atau lalai, karena akan mengakhirkan salat dari waktunya. Inilah yang diisyaratkan oleh Hadis marfu’ dari Ibnu Abbas :
“Tiga orang yang tidak akan didekati malaikat: orang junub, orang mabuk, dan laki-laki yang menyerupai wanita”.
Yang dimaksud dengan orang junub di sini adalah orang junub yang mengakhirkan mandi wajib, dan malaikat di sini adalah malaikat pembawa rahmat dan barakah.[7]

  1. Haid datang dalam keadaan junub (Hâidh ‘alaihâ jinâbah)
Wanita haid wajib mandi setelah berhentinya darah haid. Di sini muncul pertanyaan, apakah wanita haid wajib mandi jika sebelum datangnya haid dia dalam keadaan junub?
Abdul Karim Zaidan menyebutkan bahwa wanita yang mengalami haid ketika junub tidak diwajibkan mandi janâbah, tapi ditangguhkan sampai darah berhenti. Setelah itu, baru mandi wajib untuk janâbah sekaligus haid. Apabila mandi janâbah dilakukan dalam keadaan haid, maka dianggap sah serta hukum janâbah-nya hilang.
Adapun haid masih tetap, sampai darah haid berhenti kemudian mandi wajib.[8]

  1. Meninggal dunia ketika haid
Berdasarkan masalah di atas (haid dalam keadaan junub), ada dua hal yang mewajibkan mandi. Pertama, janâbah. Kedua, haid.
Dua sebab yang mengharuskan mandi wajib ini dapat dilakukan sekaligus. Begitu juga dalam permasalahan mandi wajib wanita yang meninggal ketika haid. Permasalahan ini di-qiyâs-kan pada permasalahan pertama.
Hadas besar yang mewajibkan mandi bagi wanita haid dapat digabung dengan mandi jenazah. Karena ajal adalah ketentuan Allah Swt.. Tidak seorangpun dapat menduga. Begitupun wanita haid. Seandainya ia menduga ajalnya akan datang ketika ia haid, iapun tidak akan bisa mandi wajib karena darah haid masih ada.
Merujuk pada makna janâbah menurut Shabuni, bahwa janâbah adalah suatu kondisi yang mewajibkan mandi. Ini berarti, meninggal dunia termasuk di dalamnya. Jadi, hadas besar yang ada pada tubuh jenazah bisa disucikan sekaligus dengan mandi jenazah.
   
  1. Tayamum Pengganti mandi wajib
Apabila air tidak didapatkan setelah darah haid berhenti, maka boleh bertayamum. atau ketika ada air, tapi takut memadlaratkan.[9]
Dalilnya, Hadis Abu Hurairah Ra., ia berkata: “Orang Arab datang kepada Rasulullah Saw.. Mereka bertanya, rombongan kami yang di dalamnya ada wanita haid, junub, dan wanita yang habis melahirkan berada di padang pasir yang kering dari air selama 4 bulan. Rasulullah Saw. bersabda, cukup bagimu tanah, yakni tayamum” (HR. Baihaqi).[10]  
VII. Qadla Salat dan Puasa
Jumhur ulama sepakat, wanita haid diharamkan salat dan puasa. Ini merupakan keringanan (rukhshah) yang diberikan Allah Swt. kepada para wanita, tapi ia hanya diwajibkan mengqadla puasa dan tidak diwajibkan mengqadla salatnya.
Karena qadla salat menyusahkan wanita tersebut. Dalilnya adalah:
Pertama, Hadis Aisyah Ra., ia berkata: “Kami mengalami haid pada masa Rasulullah Saw., maka kami diperintahkan mengqadla puasa, tapi, tidak diperintahkan mengqadla salat” (HR. Muslim).
Kedua, Hadis Aisyah Ra.: “Seorang perempuan bertanya pada Aisyah Ra., apakah kami harus mengqadla salat (yang ditinggalkan) pada saat kami haid? Aisyah Ra. Bertanya, apakah kamu  Harûrâ’ (golongan yang tinggal di desa dekat Kufah)? Kami haid pada masa Rasul dan tidak disuruh mengqadla salat”  (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).[11]


[1] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 492.
[2] Ibid., hal. 492.
[3] Menurut al-Shabuni, janâbah adalah segala hal yang mewajibkan menjauhi salat, membaca al-Qur’an, memegang mushaf, dan masuk mesjid sampai mandi janâbah. Selanjutnya beliau menyebutkan penyebab janâbah ini, salah satunya haid. Sedangkan yang dimaksud janâbah di sini adalah janabah karena jimak.  Lebih lanjut lih. Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 386.
[4] Muhammad bin Idris al-Syafi’I, op. cit., hal. 77.
[5] Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, op. cit.,  hal. 246, Abu Daud Sulaiman Ibnu al- Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 129 dan Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 355.
[6] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 492. 
[7] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhu al-Thahârah, op. cit., hal. 243.
[8] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 107.
[9] Ibid., hal. 138 dan 165 dan Muhammad bin Idris al-Syafi’I, op. cit.,  hal. 108. lih.
[10] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 129.        
[11] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, op. cit., hal. 497, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, op. cit.,  hal. 261 dan Abu Daud Sulaiman Ibnu al- Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 136.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]