PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Mengenal Bentuk Darah Haid

Menurut bahasa, haid atau haidhah berasal dari kata hâdha yang berarti fâdha (mengalir).[1] Sedangkan menurut istilah, haid adalah darah yang keluar pada waktu tertentu dari rahim wanita dalam keadaan sehat, bukan karena melahirkan ataupun sakit.[2]

              

A.    Kriteria Darah Haid


Adapun kriteria darah haid adalah: hitam, muhtadimun (serasa terbakar), dan berbau.[3] Para ulama sepakat bahwa pada hari-hari biasa, darah haid terkadang berwarna hitam, merah, keruh (pertengahan antara hitam dan putih), dan kuning.[4] Sedangkan penghabisan dari haid adalah keluarnya cairan berwarna putih.[5] Hanafiyah menambahkan bahwa warna kehijau-hijauan juga termasuk darah haid. Karena ia merupakan jenis dari warna keruh. Warna ini terlihat karena makanan yang salah sehingga merusak warna darah.[6] Syafiiyah mengklasifikasikan warna darah haid berdasarkan kekuatan warnanya: hitam (yang paling kuat), merah, syaqrah (hitam tanah), kuning, dan terakhir keruh. Menurutnya, sifat darah haid semuanya ada empat: keras dan berbau (paling kuat), berbau, keras, dan terakhir tidak keras dan tidak berbau.[7]

Apakah warna keruh dan atau kuning termasuk darah haid?

Menurut Ibnu Qudamah, apabila darah yang keluar berwarna kuning dan atau keruh pada hari biasanya dia haid, maka itu adalah darah haid. Jika warna ini terlihat di luar hari biasanya, maka tidak dianggap darah haid. Yang termasyhur menurut Malikiyah, warna keruh dan kuning, baik keluar pada hari biasa haid atau di luar hari-hari biasa setelah bersuci, masih dianggap darah haid.[8]

Pendapat yang rajih dari pendapat-pendapat di atas adalah pendapat pertama; darah berwarna keruh dan kuning yang keluar pada hari-hari biasa haid masih dianggap darah haid. Sedang di luar itu tidak dianggap darah haid.[9] Dalilnya:

-    Hadis Aisyah Ra., ia berkata: “Para wanita mendatangi saya dengan membawa kotak yang berisi kapas berwarna kuning dan keruh. Saya berkata: ”kalian jangan tergesa-gesa (bersuci) sampai kalian melihat warna putih bersih…” (HR. Bukhari).[10]

-    Hadis Ummu Atiyah Ra., ia berkata: “Kami tidak menganggap warna keruh dan kuning sesudah suci sebagai bagian dari haid” (HR. Jamaah kecuali Muslim dan Turmudzi).[11]

Wajhu al-Dilâlah

Hadis Aisyah di atas menjelaskan, jika seorang wanita masih melihat warna kuning dan atau keruh setelah haid, maka ia jangan tergesa-gesa untuk bersuci. Ini berarti, warna kuning dan atau keruh pada masa haid atau beriringan dengan waktu haid masih termasuk darah haid.

Sedangkan Hadis Ummu Atiyah  menjelaskan bahwa warna keruh dan atau kuning yang keluar sebelum datangnya haid dan sesudah bersuci tidak termasuk darah haid. Hukum ini berlaku  jika waktu antara keluarnya warna kuning dengan darah haid terpisah. Tapi jika beriringan atau bisa dikatakan sebagai pembukaan darah haid, maka warna kuning ini termasuk darah haid.[12]

[1] Ibnu Mandzur, Lisânu’l ‘Arab, vol. II, Dâru’l Hadîts, Kairo, 2003. hal. 685.

[2] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu’l Islâmiy wa Adillatuhu, vol. I, Dâru’l Fikr, Damaskus, cet. IV,  2004, hal. 610. Lih. juga al-Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, vol. I, Dâru’l Fathi, Kairo, cet. II, 1999,  hal. 102.

[3] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, ibid., hal. 610.

[4] Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 102.

[5] Ibnu al-Hammam al-Hanafi, Fathu’l Qadîr, vol. I, Bûlâq, Mesir, 1315 H, hal. 112.

[6] Ibid., hal. 113.

[7] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 613-614.

[8] Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashshal fi Ahkâmi’l Mar`ah wa Baiti’l Muslim fi al-Syarî’ah al- Islâmiyyah, vol. I, Muassasah al-Risâlah, Beirut, cet. III, 2002, hal. 106.

[9] Ibid., hal. 107. Lih. juga Abu Muhammad Asyraf bin Abdu al-Maqshud, Fatâwâ’l mar`ah al-Muslimah, Maktabah Adhwâ`u al-Salaf, Riyâdh, cet. III,  1996, hal. 269 dan lih. al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 103.

[10] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathu’l Bâriy bi Syarhi Sahîhi’l Bukhâriy, vol. I, Dâru’l Hâdîts, Kairo,  2004, hal. 495.

[11] Ibid., hal. 502. lih. juga. Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, Sunan Abî Dâud Syarh  wa Tahqîq Duktûr al-Sayyid Muhammad Sayyid, Duktûr ‘Abdu’l Qâdir ‘Abdu’l Khair, al-Ustâdz Sayyid Ibrâhîm, vol. I, Dâru’l Hadîts, Kairo, 1999, hal. 160, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, vol. I, Dâru’l Ma’rifah, Beirut, cet. VI, 2001, hal. 204 dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, vol. I, Dâr al-Bayân li al-Turâts, hal. 212.

[12] Lebih lanjut lih. Abu Muhammad Asyraf bin Abdu al-Maqshud, op. cit., hal. 271-272. 
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]