Sejarah Singkat dan Pengertian Maqâshid al-Syarî‘ah
Hampir semua ulama Ushûl
kontemporer, termasuk Ibnu ‘Asyur, bersepakat bahwa Imam al-Syathibi adalah
Bapak maqâshid al-syarî‘ah pertama sekaligus peletak dasarnya. Namun itu
tidak berarti bahwa sebelum beliau, ilmu
Maqâshid tidak ada. Imam al-Syathibi lebih tepat disebut orang pertama yang
menyusunnya secara sistematis. Kata al-maqâshid sendiri
menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh al-Tirmidzi al-Hakim, ulama
yang hidup pada abad ke-3 H. Beliaulah—menurut Raisuni—yang pertama kali
menyuarakan maqâshid al-syarî‘ah melalui buku-bukunya: al-Shalâh wa
Maqâshiduh, al-Hajj wa Asrâruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syarî‘ah, ‘Ilal
al-‘Ubûdiyyah dan juga al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam
al-Qarafi menjadi judul buku karangannya.
Setelah al-Hakim,
muncullah Abu Manshur al-Maturidi (333 H) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’
disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (365 H) dengan bukunya Ushûl al-Fiqh
dan Mahâsin al-Syarî’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu Bakr
al-Abhari (375 H) dan al-Baqilani (403 H). Sepeninggal al-Baqilani,
muncullah al-Juwaini, al-Ghazali, al-Razi, al-Amidi, Ibn Hajib, al-Baidhawi,
al-Asnawi, Ibn Subuki, Ibnu ‘Abdi al-salam, al-Qarafi, al-Thufi, Ibnu Taimiyyah
dan Ibn Qayyim.
Sedangkan menurut
Hammadi al-‘Ubaidi, orang yang pertama kali membahas maqâshid al-syarî’ah
adalah Ibrahim an-Nakha’i (96 H), seorang tâbi‘în sekaligus guru Abu
Hanifah. Setelah itu, baru muncul al-Ghazali, ‘Izzuddin Abdussalam, Najmuddin
al-Thufi dan terakhir Imam al-Syathibi. Meskipun versinya bermacam-macam, namun
dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum Imam al-Syathibi, maqâshid
al-syari‘ah sudah ada dan sudah dikenal hanya saja susunannya belum
sistematis.[1]
Maqâshid merupakan
bentuk jamak dari maqshad, artinya jalan yang lurus atau juga keadilan.[2] Adapun al-syarî‘ah,
secara bahasa diartikan sebagai jalan atau sumber air.[3] Sedangkan maqâshid
al-syarî‘ah sebagai sebuah ilmu mempunyai definisi yang bermacam-macam.
Bahkan Imam al-Syathibi yang dianggap sebagai bapak maqâshid, tidak memberikan batasan definisi yang jelas. Namun dari
beberapa pokok pikirannya, pengertian maqâshid al-syarî‘ah dapat
disimpulkan sebagai ilmu yang ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan
akhirat bagi manusia berdasarkan pada aturan-aturan tertentu sehingga dengannya
seseorang akan menjadi hamba Allah baik secara sadar (ikhtiyâran) maupun
terpaksa (idhtirâran).[4]
Ibnu ‘Asyur sendiri
hanya mendefinisikan maqâshid al-tasyri‘ al-‘âmmah, yaitu makna dan
hikmah yang dimiliki syâri‘ (pembuat syariat), diketahui melalui
pengamatan terhadap seluruh atau sebagian besar keadaan pensyariatan dimana
pengamatan tersebut tidak hanya terbatas pada satu jenis hukum syariat saja.
Beliau juga menambahkan karena definisi ini relatif umum, maka ia mencakup juga
sifat dan tujuan umum syariat, pengertian-pengertian yang tidak bisa dilepaskan
dari proses pensyariatan, serta makna akan hikmah-hikmah yang tidak tampak pada
satu jenis hukum, akan tetapi tampak jelas pada jenis hukum lainnya.[5] Yang perlu dicatat, bahwa
definisi ini dimaksudkan hanya pada satu jenis maqâshid saja, yaitu al-maqâshid al-‘âmmah sehingga
tidak mencakup pengertian maqâshid secara umum.[6]
[1]Aep
Saepullah Darusmanwiati, Imam Al-Syatibiy: Bapak Maqashid al-Syâri‘ah
Pertama, Islib.com, Edisi Sabtu, 29 November 2003
[2]Abu
al-Fadl Jamaluddin Muhammad bin Mukarram bin Manzhur, Lisânu’l ‘Arab,
vol. 7, Darul Hadits, Kairo, 2003, hal. 377
[4]Bin
Zagibah ‘Izzuddîn, al-Maqâshid al-'Âmmah li al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Dar al-Shafwah, Kairo, cet. I, 1996, hal.
43
[5]Muhammad
al-Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqâshid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, op.cit, hal.
183
Labels
Analisis
Post A Comment
Tidak ada komentar :