Beginilah Barat Menilai Umat Islam
John L. Esposito,
Guru besar Politik Islam di Universitas Georgetown, AS, mengemukakan beberapa
pertanyaan menarik berkaitan dengan hubungan Islam dan Barat: “Apakah benturan
Islam dan Barat adalah sebuah kemestian? Apakah fundamentalisme Islam adalah
kaum fanatik abad Tengah yang mengancam stabilitas di dunia Islam dan
kepentingan-kepentingan Barat? Apakah Islam tidak compatible dengan
demokrasi?”
Demikian beberapa
pertanyaan yang dikemukakan John L. Esposito dalam pengantar bukunya, The
Islamic Threat: Myth or Reality.[1] Esposito mengatakan bahwa
sejak kemunculan Imam Khomaini di Iran, Saddam Husein di Irak, dan Taliban di
Afghanistan, citra Islam sebagai agama militan, radikal, fundamentalis,
ekspansionis, dan anti-Barat telah merasuki pikiran para pemimpin negara-negara
Barat dan media massanya. Kecaman Khomaini terhadap Amerika sebagai setan
terbesar (al-syaithan al-akbar), pekikan-pekikan “matilah Amerika”
hingga seruan Saddam Husein untuk jihad melawan kaum kafir asing, semakin
mengukuhkan citra Islam di mata Barat sebagai agama yang sangat terang dan
jelas mengancam Barat.
Ketakutan Barat
terhadap Islam dan kaum Muslim bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Bagi
masyarakat Barat, Islam menjadi simbol dari segala tindak kekerasan dan anarkis
yang menakutkan. Mereka menjadi sensitif dan alergi terhadap segala hal yang
berbau Islam. Sayangnya, Umat Islam seperti tidak menyadari hal ini dan
menganggap semua itu semata igauan dan sikap “iseng” untuk mengusik kaum
Muslim. Umat Islam seakan menutup mata bahwa citra buruk terhadap Islam telah
meluas dan mempengaruhi tindakan serta kebijakan para pemimpin-pemimpin Barat
di dunia Muslim khususnya.
Dalam persepsi
Barat, Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme, otoritarianisme,
dan proklamasi perang terhadap Barat. Islam dianggap satu-satunya ancaman bagi
Barat dan peradabannya. Dan kaum Muslim dianggap berambisi menguasai dunia dan
menggugurkan pencapaian-pencapaian modernitas serta mengembalikannya pada abad
pertengahan yang terbelakang dan tidak berpengetahuan. Bila Islam menguasai
dunia, seluruh kemajuan yang telah dicapai oleh Barat, baik ilmu pengetahuan,
teknologi, industri dan lain-lain, terancam musnah dan digantikan oleh
praktek-praktek mistik yang irrasional. Pada gilirannya, tingkat kehidupan
manusia yang penuh dengan kreativitas dan produktivitas akan tersingkirkan oleh
kehidupan yang statis, rigid, dan anti-progresif. Demikian gambaran yang
berkembang selama ini di masyarakat Barat tentang Islam. Hal ini, menurut
Esposito, merupakan akumulasi dari sejarah panjang relasi Islam dan Barat yang
didasari rasa benci, saling tidak percaya, dan penuh pertentangan.[2]
Citra buruk Islam
ini, unfortunately, tidak hanya meluas di kalangan masyarakat umum, tapi
juga di kalangan akademisi Barat. Beberapa kajian yang dilakukan oleh para
akademisi Barat meneguhkan citra Islam sebagai the next enemy bagi
Barat. Francis Fukuyama, adalah satu di antara para akademisi AS yang
pemikiran-pemikiran politiknya banyak mendapat sambutan luas di kalangan
masyarakat Barat. Dalam bukunya, The End of History and The Last Man[3],
Fukuyama mengemukakan bahwa sejarah manusia terbangun atas dasar benturan atau
pertentangan (clash/shirâ’). Setiap siklus pertentangan itu selalu
diakhiri dengan kekalahan sebuah sistem dan kemenangan sistem lainnya. Dan
kini, pertentangan sudah mencapai babak akhirnya dengan kemenangan liberalisme
Barat atas komunisme sebagai pesaing terakhirnya. Kemenangan liberalisme ini
merupakan evolusi terakhir pemikiran ideologis manusia. Ia akan menjadi
satu-satunya sistem yang menguasai dunia, baik dalam bidang ekonomi maupun
politik. Setelah liberalisme, tak akan ada lagi perkembangan ideologi. Ia akan
menjadi ideologi tunggal yang menguasai dunia.[4]
Namun, lanjut
Fukuyama, di masa depan, peradaban Barat masih akan berhadapan dengan satu
musuh ( the next enemy) lagi, yaitu Islam. Islam adalah sebuah sistem
yang didasarkan pada keyakinan. Sebab itu ia menjadi ideologi yang akan berdiri
vis a vis ideologi Barat. Karenanya, salah satu di antara keduanya mesti
ada yang menang dan kalah, sebab dunia tak dapat terus berlangsung dalam keadaan pertentangan
antara dua ideologi; Barat dan Islam.[5]
Samuel Huntington,
adalah akademisi Barat lain yang mengemukakan tesis serupa dengan Fukuyama.
Sejarah kehidupan di bumi ini, menurut Huntington, adalah sejarah benturan
antar peradaban (clash of civilizations). Setelah kemenangan liberalisme
atas komunisme, pada masa berikutnya pertentangan tak akan lagi berupa
pertentangan ideologi maupun ekonomi, melainkan pertentangan budaya yang
menjadi pemisah masing-masing peradaban.
Sebenarnya tesis
Huntington mengandung maksud untuk memetakan kembali pengelompokan
negara-negara di dunia pasca perang dingin yang dinilai tidak relevan lagi. Ia
mengelompokkan negara-negara dalam suatu entitas budaya, yaitu Barat,
Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Ortodox Slavia, Amerika Latin, dan Afrika.
Tidak hanya berhenti pada pengelompokan itu, ia kemudian membuat suatu prediksi
yang kemudian menimbulkan polemik di kalangan masyarakat akademik, yaitu
munculnya konflik baru sebagai reproduksi konflik pasca Perang Dingin. Bedanya,
konflik di masa yang akan datang, menurut Huntington, akan terjadi sepanjang
garis pemisah budaya (cultural fault lines) yang saling memisahkan
peradaban-peradaban. Dengan kata lain, peradaban—bukan ekonomi, politik, dan
ideologi—tegas Huntington, yang akan memicu clash of civilizations.[6]
Yang menarik dari
pengelompokan Huntington itu adalah perhatiannya terhadap peradaban Islam
sebagai salah satu kelompok peradaban yang paling potensial menimbulkan
benturan, terutama dengan peradaban Barat. Hal ini, menurut Huntington, karena
peradaban Islam dan peradaban Barat memiliki beberapa perbedaan mendasar—selain
perbedaan agama—yang secara umum terdapat pada masing-masing kelompok
peradaban, seperti sejarah, bahasa, budaya, dan tradisi. Selain itu, sejarah
juga telah menunjukkan bahwa di sepanjang garis pemisah antara peradaban Islam
dan Barat telah terjadi konflik selama + 1300, seperti yang secara spektakuler
ditunjukkan oleh perang salib (Crussade). Tegasnya, sejauh ini Barat
belum terbebas dari ancaman peradaban lain, bahkan sebaliknya akan mendapatkan
ancaman serius dari new enemy, yaitu peradaban Islam dan Konfusionisme.
Karena itu,
Huntington memberikan warning kepada Barat akan munculnya
fundamentalisme Islam yang semakin agresif. Fundamentalisme Islam, tegas
Huntington, menjadi ancaman nomor wahid bagi Barat. Mereka akan memaksakan
keyakinannya dengan kekerasan, teror, dan cara-cara lain untuk menghancurkan
peradaban Barat.[7]
Singkatnya, Huntington menjelaskan kepada dunia Barat bahwa Islam adalah
ancaman berikut—setelah runtuhnya Komunisme—bagi masa depan peradaban Barat.
Terlepas dari
kritik yang dilontarkan banyak pakar, pandangan Huntington dan Fukuyama ini
diapresiasi secara luas oleh masyarakat Barat. Bahkan analisis keduanya seakan
menjadi rujukan paling absah bagi Barat dalam memandang Islam. Pengaruh tesis
kedua akademisi Barat ini tidak hanya tampak pada masyarakat umum, tapi juga
dijadikan pertimbangan bagi para pemimpin Barat dalam menyusun strategi politik
dan kebijakan luar negerinya.
Islam sebagai
ancaman, seakan sudah menjadi kebenaran yang tak terbantahkan bagi masyarakat
Barat. Asumsi ini dianggap menemukan kebenarannya ketika terjadi peristiwa
kekerasan yang melibatkan orang-orang muslim sebagai pelakunya. Sejauh ini,
asumsi ancaman Islam telah mengakar di alam bawah sadar masyarakat Barat,
sehingga setiap peristiwa kekerasan dengan mudah dialamatkan kepada kelompok
muslim sebagai penyebab dan pelakunya.
Bisa jadi, persepsi tentang Islam di
Barat tidak didasarkan pada pengetahuan yang memadai tentang Islam. Diakui
Esposito bahwa masyarakat AS sendiri tidak banyak tahu tentang Islam. Citra
mereka tentang Islam lebih bersifat negatif, misalnya karena poligami, jilbab
perempuan, dan beberapa peristiwa tragis yang para pelakunya melibatkan
orang-orang Islam. Mereka sama sekali tidak melihat adanya keragaman dan
kekayaan pemikiran serta gerakan dalam Islam.
Dari itu, tidak
heran jika pandangan Barat terhadap Islam tampak simplistis. Hal ini setidaknya
disebabkan dua hal. Pertama, di Barat, studi-studi dan buku-buku yang
ditulis secara obyektif sangat terbatas jumlahnya, hingga Islam tidak dapat
dipahami secara baik oleh masyarakat Barat. Kedua, media massa Barat
hanya mengedepankan pemberitaan yang mengedepankan potret Islam sebagai agama
yang kolot, menganjurkan poligami, “doyan” perang dan menggunakan cara teror
bersenjata untuk melawan Barat. Islam dipandang sebagai fenomena yang statis, baik
budaya, keyakinan maupun masyarakatnya. Islam juga dipandang sebagai agama yang
anti-modernitas, konservatif, dan anti-rasionalitas, karena menolak setiap
kerja-kerja kreatif-inovatif (ijtihad),
sejak beberapa abad yang lalu.[8]
Penggambaran Islam
seperti di atas diterima luas tidak hanya oleh masyarakat Barat, tetapi
masyarakat di seluruh dunia. Melalui penguasaannya terhadap sarana komunikasi
dan media massa, Barat dengan leluasa dapat membentuk citra Islam di hadapan
publik internasional sesuai dengan kehendaknya.
Secara umum, cara
pandang Barat terhadap Islam dapat dibedakan dalam beberapa kelompok.[9] Pertama, simplifikatif dan generalistik. Islam sering
digunakan Barat dalam bentuk penyamarataan yang kurang cermat. Begitu juga kaum
Muslim sering dilihat sebagai masyarakat yang monolitik. Seolah-olah dengan
menyebut Islam atau muslim, maka sudah mewakili keanekaragaman geografis,
negara, etnis, budaya, dan sejarah dari suatu masyarakat yang membentang dari
Afrika sampai Asia, yang penduduk muslimnya sekitar satu milyar.
Demikian pula
ketika menjelaskan gerakan-gerakan yang muncul di dunia Islam, khususnya Timur
Tengah, generalisasi juga dilakukan terhadap seluruh gerakan-gerakan muslim.
Mulai dari gerakan-gerakan yang muncul di Aljazair, Libanon, Iran, Libya,
Mesir, Yordania, Arab Saudi dan lain-lain, bagi Barat selesai dijelaskan dengan
satu istilah; Islamic Fundamentalism (fundamentalisme Islam).
Ketidaksanggupan masyarakat Barat dalam mengungkapkan spektrum pemikiran dan
gerakan-gerakan Muslim menyebabkan mereka terjebak pada simplifikasi dan
generalisasi yang pada akhirnya menimbulkan kesalahpahaman.
Kedua, etnosentris dan rasis. Di masyarakat
Barat, Islam bukan hanya tidak digambarkan secara akurat, tapi juga sering
dicampuradukkan dengan etnosentrisme dan kebencian rasial. Dalam banyak kasus,
Arab—yang dianggap Barat sebagai representasi Islam—sering dianggap sebagi kaum
fanatik relijius yang mengabdi pada agama perang dan anti-Barat. Warisan mereka
hanya perang suci (jihad) dan pembunuhan terhadap kaum kafir. Mereka
merasa betul-betul taat dan semakin dekat kepada Tuhan setelah memenggal
manusia lain yang dianggap musuhnya.
Bagi Barat, Islam
identik dengan Arab, sehingga apa yang menjadi ciri, sikap dan karakter orang
Arab dianggap Islam par excellent. Padahal, masyarakat muslim Arab tidak
begitu besar bila dibanding kaum muslim di luar Arab, seperti Asia, maupun
negara-negara muslim pecahan Uni Soviet. Kebencian Barat terhadap Islam,
seringkali disebabkan tindakan dan sikap orang-orang Arab, karena bagi mereka
Arab itu Islam atau sebaliknya.
Ketiga, terbelakang dan anti kemajuan. Dalam
pandangan Barat, Islam atau negara-negara muslim tidak dianggap sebagai bagian
dari Eropa atau Amerika yang merupakan negara maju. Negara-negara muslim
dipandang sebagai bagian dunia ketiga yang terbelakang. Karena itu, setiap
upaya-upaya muslim untuk melaksanakan agamanya dengan baik sering dianggap
sebagai wujud nyata keterbelakangannya. Ekspresi-ekspresi politik kaum muslim
yang dalam banyak hal bertitik tolak dari ajaran Islam dianggap pelestarian dan
upaya mengembalikan dunia modern ke abad pertengahan. Kaum muslimah yang
mengenakan jilbab karena pertimbangan-pertimbangan religius, dianggap sebagai
wanita yang terbelenggu, terampas hak-haknya, konservatif, tidak tersentuh
modernisasi dan sebagainya.
Keempat, pelabelan dan pemberian image
negatif. Dalam pandangan umum masyarakat Barat, Islam sering dipandang sebagai
agama yang penuh kekerasan, intoleran, dan anti-demokrasi. Rujukan mereka
adalah beberapa kejadian tragis dan politis yang terjadi di beberapa negara
muslim. Pembunuhan terhadap presiden Sadat dan orang-orang asing di Mesir,
revolusi Islam di Iran, serta beberapa upaya pemimpin Islam untuk menggunakan
Islam sebagai alternatif sistem kenegaraan dianggap sebagai ancaman serius
totalitarianisme terhadap demokrasi. Barat sering melihat seluruh kejadian itu
semata sebagai sebuah fenomena fanatis dan fundamentalisme Islam tanpa melihat
proses politik yang melatarbelakanginya.
Kelima, asumsi Islam sebagai ancaman (green
menace). Cara pandang inilah yang paling banyak digunakan Barat dalam
melihat Islam. Berdasarkan pada asumsi negatif terhadap Islam dan fenomena
perkembangan gerakan-gerakan muslim yang berorientasi politik di belahan dunia
muslim, Barat menganggap Islam adalah
ancaman terbesar yang dihadapi masyarakat Barat. Argumen yang berkembang di
Barat relatif sama, yaitu gerakan-gerakan yang bertujuan menegakkan syariat
Islam, baik di Mesir, Aljazair, Iran, Tunis, Afghanistan, Pakistan dan
lain-lain cenderung melegalkan penggunaan kekerasan dan teror atas nama
syariat. Mereka menghalalkan pembunuhan terhadap sesama, baik sama ataupun beda
keyakinan, atas nama jihad di jalan
Tuhan. Maka wajar Barat merasa terancam bila dunia dikuasai oleh
gerakan-gerakan semacam itu. Bagi Barat, gerakan yang demikian bukan hanya
mengancam dunia Barat, tapi mengancam umat manusia secara keseluruhan.
Pandangan-pandangan
semacam inilah yang menjadi latar pembacaan Barat terhadap banyak peristiwa
yang melibatkan Islam dan kaum muslim, termasuk tragedi 11 September 2001,
rezim Taliban di Afghanistan, dan rezim Saddam Husein di Irak.
[1] Edisi
Arabnya berjudul , Al-Tahdîd al-Islâmîy: Khurâfah am Haqîqah?, terj.
Qasim Abduh Qasim, (Kairo: Dâr al-Syurûq,
2002), cet II, hal. 17
[2] Lihat
Rajab al-Banna, Al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2002),
terutama Bab I dan II; Juga bukunya yang lain, Al-Ummiyyah al-Dîniyyah wa
al-Harb Dlid al-Islâm, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 1997), terutama
Bab I; Lihat juga Mahmud Hamdi Zaqzuq, Humûm al-Ummah al-Islâmiyah,
(Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1998), terutama Bab III; Lihat juga bukunya, Al-Islâm
wa al- Gharb, (Kairo: Al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Dîniyyah, 2003),
terutama Bab II.
[3] Edisi Arabnya
berjudul Nihâyah al-Târikh wa Khâtam al-Basyar, terj. Husain Ahmad Amin,
(Kairo: Markaz al-Ahrâm, 1993).
[4] Ibid., hal. 57
[5] Ibid.
[6] Samuel Huntington, Shadâm al-Hadlârât: I’âdah
Shan’i al-Nizhâm al-‘Âlam, terj. Thala’at al-Syaib, (Kairo: Suthûr, 1998),
hal. 25. Lihat juga ulasan M. Shahid = = Alam, “Theory on Demand”, dalam Al-Ahram
Weekly, (Edisi 14 – 20 Maret 2002), h. 11
[7] Samuel
Huntington, loc.cit.
[8] Lihat
wawancara dengan John L. Esposito dan John O.Voll, “Perspektif Kebangkitan
Islam Abad ke-21”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, (Vol. II, No. 7, 1990),
hal. 26
[9] Lihat
Satrio Arismunandar, “Islam di Mata Media Massa Barat” dalam Jurnal Islamika,
(No. 1, Juli-September 1993), hal. 65
Labels
Analisis
Post A Comment
Tidak ada komentar :