Sekilas tentang Riwayat Hidup Ibnu ‘Asyur
Nama lengkap beliau
Muhammad Al-Thahir Ibnu ‘Asyur, lahir pada tahun 1296 H (1879) di Tunis dan
meninggal di tempat yang sama 94 tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1379 H
(1973). Sejak kecil beliau sudah dikenal sebagai pribadi yang berkemauan keras
dan berpikiran bebas. Beliau juga dikaruniai kelebihan yang menonjol; kekuatan
daya hafal, kejernihan penalaran, ketajaman analisa serta kesabaran dalam
menyelesaikan sebuah permasalahan. Kepribadian beliau bertambah matang manakala
mulai ikut berkecimpung dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, khususnya di
bidang pendidikan dan pengajaran, baik sebagai guru, penyusun kurikulum maupun
sebagai tenaga adminstrasi.
Karir Ibnu ‘Asyur
sebagai akademisi terbilang mulus. Setelah menyelesaikan studinya di
Universitas al-Zaitunah pada tahun 1896 (1317 H), beliau langsung mendaftarkan
diri untuk menjadi guru. Perlahan namun pasti, karirnya terus menanjak.* Kumpulan
tulisannya sejak tahun 1902 tentang perbaikan sistem pendidikan di Universitas
al-Zaitunah dianggap sebagai salah satu buku sejarah terdepan tentang perbaikan
sistem pendidikan Islam di zaman modern. Selain mengarang buku Maqhâsid
al-Syarî‘ah al-Islâmiyah, ia juga memiliki banyak karangan lain, seperti al-Tashwîd
min ‘Indinâ dan Ushûlu al-Nizhâm al-Ijtimâ‘iy fi'l Islâm.
Ide pembaharuan
yang diusung Ibnu ‘Asyur ini bukanlah yang pertama kali. Tercatat sebelumnya
telah ada beberapa pergerakan muncul sejak pertengahan abad ke-19. Seorang
tokoh dari Mesir, Refa’at Rafi‘ al-Thahthawi (wafat 1290H) tercatat telah
mempelopori gerakan pembaharuan ilmu secara keseluruhan.[1] Tercatat juga gerakan
reformasi di Tunis yang dikomandoi oleh Khairuddin Basya (wafat 1308 H).** Usaha-usaha
perbaikan tersebut dilandasi adanya kesadaran kolektif bahwa berubahnya tatanan
kehidupan di seluruh penjuru dunia tentu berakibat pada pergeseran pemikiran,
tujuan dan nilai-nilai rasionalitas yang berlaku. Pada akhirnya, kesemua itu
berkonsekuensi kepada perubahan mendasar terhadap mekanisme pengajaran, standarisasi
ilmu pengetahuan yang dibutuhkan serta kemampuan dan keterampilan para guru
dalam memenuhi kebutuhan zamannya. Secara umum, ide perbaikan yang diusung Ibnu
‘Asyur muncul dari pandangan sejarah dan peradaban.[2]
Pada masanya,
beliau dikenal sebagai tokoh penting dalam Universitas al-Zaitunah. Kemampuan
dan pengalamannya yang segudang menjadi faktor penting dalam usaha perbaikan
sistem pengajaran di lembaga tersebut. Tunis sendiri mengenal Ibnu ‘Asyur
sebagai syaikh al-Zaitunah sekaligus hakim yang diharapkan mampu
menciptakan keadilan hukum di antara rakyatnya.
Persentuhannya
dengan dunia politik sempat membawanya pada beberapa permasalahan serius. Pada
tahun 1933, nama besarnya disalahgunakan oleh sekelompok orang untuk mendukung
kepentingan politik kaum penjajah Perancis. Pendapat beliau tentang status
kewarganegaraan ganda dipolitisir sedemikian rupa hingga tampak bertentangan
dengan pendapat mayoritas rakyat Tunis kala itu. Untuk beberapa waktu, beliau
sempat dicap tidak nasionalis dan pro-penjajah, meskipun pada akhirnya terbukti
bahwa tuduhan-tuduhan tersebut tidak benar. Di saat itulah kebesaran jiwanya
teruji. Beliau lebih senang melanjutkan proyek reformasi pendidikan daripada
sibuk membuat bantahan atas tuduhan-tuduhan tersebut.[3]
*Berawal dari golongan pemula, pangkatnya naik ke golongan dua pada tahun
1899. Empat tahun berikutnya, setelah mengikuti seleksi kenaikan pangkat,
beliau resmi menjadi guru pada golongan satu. Semasa itulah beliau banyak
mengkritisi almamaternya yang memang sedang mengalami kemunduran.
[1]Sya‘ban
Muhammad Ismail, al-Tajdîd fî Ushûli’l Fiqh; Dirâsah Washfiyyah Naqdiyyah,
Darussalam, Kairo, cet. I, 2000, hal. 41
**Gerakan ini mempunyai konsentrasi pada perbaikan politik, ekonomi dan
administrasi keuangan. Perbaikan di bidang-bidang tersebut dianggap penting
karena Tunis ketika itu berada dibawah penjajahan Perancis. Dengan menguasai
bidang-bidang tersebut, Khairuddin berharap dapat “mengembalikan apa saja yang
telah dirampas” para penjajah dari dari rakyat Tunis.
[2]Muhammad
al-Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqâshid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, di-tahqîq
dan dikomentari oleh Muhammad al-Thahir al-Misawiy, Darul Fajr, Kuala Lumpur,
cet. I, 1999, hal. 27
[3]Ketika
itu, pemerintah Kolonial Perancis mengeluarkan keputusan bahwa warga Tunis
diperbolehkan untuk mendapatkan kewarganegaraan Perancis. Ini adalah strategi
para penjajah untuk meraih simpati warga Tunis sebagaimana yang pernah mereka
lakukan di Aljazair. Mayoritas warga Tunis tentu merasa dirugikan dengan
keputusan tersebut. Pada saat itulah sekelompok orang yang punya kepentingan
politik, menyebarkan propaganda bahwa Ibnu ‘Asyur termasuk mereka yang
mendukung keputusan tersebut. Lihat: ibid. hal. 23
Post A Comment
Tidak ada komentar :