Falak Pasca Jahiliyah (Era Islam)
Dalam Islam, pada awalnya ilmu falak lebih dikenal sebagai kajian 'nujumisme'
(astrologi). Hal ini terjadi antara lain dengan dua alasan; 1.) Kebisaan
hidup bangsa Arab di padang pasir yang luas serta kecintaan mereka pada
bintang-bintang (benda-benda angkasa) untuk mengetahui terbit dan terbenamnya,
mengetahui pergantian musim, dll. 2.) Keterpengaruhan bangsa Arab terhadap
kebiasaan bangsa-bangsa yang berdekatan dengan mereka yang punya kebiasaan
astrologi.[1]
Datangnya Rasulullah Saw. beserta sahabat-sahabatnya dengan membawa cahaya
Al Quran, menjelaskan bahwa segala sesuatu dalam kekuasaan Allah Swt. Astronomi
(falak) terus berkembang dengan kontrol Al Qur'an, hingga lahirlah banyak
sarjana-sarjana astronomi Islam yang berpengaruh di dunia, antara lain Al
Battani (w.317 H), Al Buzjani (w.387 H), Ibnu Yunus (399 H), At Thusy (w.672
H), Al Biruni (w.442 H), dll.
Adalah Dinasti Abbasiyah, masa pemerintahan Ja'far Al Mansur, berjasa
meletakkan ilmu falak pada posisi istimewa, setelah ilmu tauhid, fikih dan
kedokteran. Ketika itu, ilmu falak tidak hanya dipelajari dan dilihat dalam
perspektif keperluan praktis ibadah saja, namun lebih dari itu, ilmu ini lebih
dikembangkan sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan science lain
seperti ilmu pelayaran, pertanian, kemiliteran, pemetaan, dll. Tidak
tanggung-tanggung, Khalifah Al Manshur membelanjakan dana negara cukup besar
dalam rangka mengembangkan kajian ilmu falak.
Di era ini juga, kajian falak berkembang secara alami dan ilmiah dengan
berbagai pembenahan teori, terjemah, cetak ulang, perbaikan dan karya baru
orisinil. Khusus dalam kepentingan ibadah, qudama' Arab telah melakukan
perhitungan waktu-waktu shalat, arah kiblat, rukyat hilal, perhitungan &
perkiraan musim, dll.[2]
Sejak masa Dinasti Umawiyah, pemerintahan Al Makmun, telah marak gerakan
penerjemahan literatur-literatur falak asing kedalam bahasa Arab, seperti buku "Miftâh
an Nujûm" yang dinisbahkan pada Hermes Agung. Berikutnya menyusul buku
Sind Hind tahun 154 H/ 771 M yang diterjemahkan oleh Ibrahim al Fazzarî,
berikutnya Almagest karya Ptolemaus yang diterjemahkan oleh Yahya bin
Khalid al Barmakî dan disempurnakan oleh Al Hajjaj bin Mutharr dan Tsabit bin
Qurrah (w.288 H), dll.[3]
Hal penting yang perlu dicatat, seperti ditegaskan di atas, perkembangan
peradaban falak Arab-Islam memang tidak bisa dilepaskan dari peradaban
sebelumnya, bangsa Arab memang berhutang terhadap peradaban-peradaban yang
pernah ada sebelumnya. Namun terdapat beberapa keistimewaan dibalik
keberhutangan tersebut, antara lain:
1)
Meski menukil dari
peradaban sebelumnya, namun senantiasa disertai dengan koreksi (tashîh al
akhthâ'), penjelasan ulang teori (syarh), penambahan materi dan
komposisi, dan berikutnya melahirkan karya-karya baru yang punya ciri dan
keunggulan.
2)
Peradaban falak Arab-Islam
tidak hanya terhenti dalam sebatas tinjauan teoritis saja (dirâsât
nazhariyyah), namun mempolanya dalam bentuk ilmu-ilmu lain seperti
matematika, fisika, geometri, dll. Hal ini paling tidak tercermin dalam
karya-karya dan alat-alat observasi yang ada.
3) Dalam hal perbintangan (astrologi), Arab-Islam memang
tidak mampu menghapus habis tradisi ini, bahkan praktek ini tetap ada dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari hingga saat ini. Alasannya, seperti disebutkan
diatas, astrologi bicara tentang diri seseorang dengan segala kemungkinan suka
dan dukanya.[4]
[1] Imam Ibrahim Ahmad, Tarîkh al Falak 'Inda[l] 'Arab
(Maktabah as Tsaqafiyah-Wizarah as Tsaqafah wa al Irsyad al Qawmy, t.t.), h.15
[2] Ali
Abdullah Faris, opc.cit., h. 150
[3] Ibid,
h. 151
[4] Ibid, h. 154-155
Labels
AFDA Astronomi
Post A Comment
Tidak ada komentar :