PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Urgensitas Istiqrâ’ dalam Maqâshid al-Syarî‘ah

Dalam konstelasi wacana ilmu mâqashid, Istiqrâ’ adalah sebuah metode ampuh untuk menelusuri maksud, tujuan dan filosofi pensyari’atan. Meskipun Imam Syathibi tidak menyebutkan metode beliau dalam menyusun buku monumentalnya “al-Muwâfaqât”, tapi dengan sangat jelas metode ini sangat mendominasi dibanding metode yang lain.[1] Al-Raisuni mengatakan: “Jika diteliti akan didapatkan bahwa beliau menggunakan kata Istiqrâ’ lebih dari seratus kali di dalam “al-Muwâfaqât”.[2]
Secara umum Imam Syathibi memang mengakui keabsahan Istiqrâ’ sebagai perangkat inferensi hukum.[3] Akan tetapi, khusus dalam disiplin maqâshid al-syarî‘ah, Istiqrâ’ yang dimaksud adalah usaha penelitian seluruh dalil-dalil zhanniy untuk kemudian disimpulkan menjadi satu konklusi yang qath’iy. [4]
Dua alasan yang mempengaruhi al-Syathibi hingga begitu concern dengan metode ini, yaitu:
a. Maqâshid yang ditopang dengan pilar Istiqrâ’ adalah maqâshid inti (maqâshid kubrâ) dan universal dalam syari’ah Islam. Sedangkan maqashid yang bersumber dari metode lain kebanyakan adalah maqâshid partikular  (juz’iy).
b. Keistimewaan maqâshid yang bersumber dari metode Istiqrâ’ bahwa ia adalah dalil yang qath‘iy. Seperti yang beliau singgung dalam mukaddimah “al-Muwâfaqât”: “Ushul Fikih dalam Islam bersifat qath’iy bukan zhanni”, kemudian beliau melanjutkan dengan alasannya: “ia berasal baik dari tiga ushûl ‘aqliyyah[5] yang bersifat qath‘iy, atau Istiqrâ’ kulliy yang juga bersifat qath‘iy”.
Imam Ibnu Asyur seorang pakar maqashid juga, di relung magnum opus-nya “Maqâshid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah” mengatakan: “Kami meneliti (menggunakan Istiqrâ’) bermacam-macam dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang membuat kami yakin dan percaya bahwasanya hukum-hukum syari’ah Islam bergantung pada hikmah-hikmah dan ‘illah-‘illah yang kesemuanya bermuara kepada tujuan untuk kemaslahatan baik bagi masyarakat maupun personel/individu masing-masing manusia”.[6]
Lebih lanjut, ada dua macam Istiqrâ’ dalam maqâshid al-syarî‘ah:[7]
a. Istiqrâ’ hukum-hukum yang telah jelas ratio legis-nya  (‘illatu’l hukmi). Yaitu dengan meneliti ‘illat-‘illat yang ada melalui masâliku’l ‘illah (metode elaboratif penggalian ‘llah dalam ilmu ushul fikih). Istiqrâ’ yang seperti ini adalah cara termudah dalam mengetahui maksud pensyari’atan. Karena dengan meneliti ragam ‘illah tersebut, akan sangat mudah mengkerucutkannya menjadi satu hikmah yang dianggap sebagai maksud pensyari’atan.
Contohnya:
Telah diketahui bahwa pelarangan jual beli kurma kering dengan yang basah adalah ketidaktahuan ukuran dua benda tersebut. Juga telah diketahui bahwa ‘illat dari pelarangan jual beli benda yang tidak diketahui timbangannya adalah ketidaktahuan ukuran dua benda tersebut. Begitu juga ‘illah diperbolehkannya dua hal yang tersebut di atas dengan syarat terbebas dari kerugian antara dua pihak dan tipuan. Ketika telah diketahui semuanya dan disimpulkan dengan metode Istiqrâ’, akan didapati satu maksud pensyariatan yaitu mencegah resiko penipuan.
b.   Istiqrâ’ dalil-dalil hukum yang memiliki keserupaan dan kepentingan yang sama. Sebagai contoh, banyaknya nash baik al-Qur’an maupun Hadis yang memerintahkan untuk memerdekakan budak, yang menunjukkan sebuah tujuan yaitu penghapusan budaya perbudakan.

VI. Ikhtitâm

Seorang muslim dilahirkan untuk selalu mencari dan mengemukakan kebenaran-kebenaran. Karena umat manusia masing-masing memiliki perbedaan dalam setiap sisi, maka titik kebenaran akan selalu berada pada tataran relativitas. Begitupun dalam konteks keberfikihan yang juga tidak terlepas dari perbedaan. Meski berbeda, tapi itulah rahmat Allah Swt. yang dianugrahkan bagi umat Islam secara keseluruhan.
Dalam tema Istiqrâ’ yang dikaji dalam kesempatan kali ini, penulis belum berani memastikan sebuah kesimpulan inti. Akan tetapi jika boleh memilih, penulis akan condong pada pendapat yang mengatakan bolehnya menggunakan Istiqrâ’ sebagai metode penggalian hukum. Karena, sebagai sebuah metode ia tidak berdiri sendiri secara mandiri. Dalam proses inferensi hukum, Istiqrâ’ akan selalu bersentuhan dengan dalil-dalil lain yang bisa menguatkannya. Tapi, dengan sebuah catatan, hasil hukum dari peoses Istiqrâ’ tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum primer baik itu al-Qur’an maupun Hadis. Wa’lLâhu a‘lam bi al-shawâb


[1] Muhammad Abdul Athi Muhammad Ali, al-Maqâshid al-Syar‘iyyah wa Atsaruhâ fiy al-Fiqh al-Islâmiy, Dâru’l Hadîts, Kairo, 2007 M, hal. 56.
[2] Ahmad Al-Raisuni, Nazhâriyyah al-Maqâshid ‘inda al-Imâm al-Syâthibiy, Dâru’l ‘Alamiyyah li’l Kitâb al-Islâmiy, Riyadh, 1995 M, hal. 308.
[3] Muhammad Abdul Athi Muhammad Ali, op. cit., hal. 57.
[4] Abu Ishak Al-Syathibi, al-Muwâfaqât fiy Ushûl al-Syarî‘ah, Dâru’l Hadîts, Kairo, 2006 M, hal. 26.
[5] Yang dimaksud dengan tiga ushûl‘ aqliyyah di sini adalah wujûb, jawâz, dan istihâlah.
[6] Muhammad al-Habib Ibnu al-Khajah, op. cit., hal. 244.
[7] Muhammad Abdul Athi Muhammad Ali, op. cit., hal. 58.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]