PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

DEKADENSI MORAL; Awal Kehancuran Islam

Syariat Islam dan Problematika Dekadensi Moral
Umat islam saat ini sedang mengalami multikrisis yang berkepanjangan. Mulai dari krisis kepemimpinan, ekonomi, politik, hingga krisis kekuatan militer. Penyebab utama dari krisis ini dinilai berkaitan dengan merosotnya akhlak dan kepercayaan umat islam terhadap syariat islam itu sendiri. Padahal, Rasulullah Saw sebelum membangun suatu negara, pertama-tama yang beliau lakukan adalah membina akhlak para sahabat serta mengokohkan keimanan mereka kepada Allah Swt. Inilah kunci utama keberhasilan Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam dan membangun umat yang berperadaban dalam waktu yang relatif singkat, 23 tahun.

Sa’id Hawa dalam bukunya “al-Islam”, menjelaskan secara detail tentang manhaj hidup yang diajarkan oleh Islam sebagai panduan hidup manusia. Manhaj ini berlandaskan kalimat syahadatain sebagai manisfestasi dari rukun islam yang pertama. Sebuah kalimat yang mengajarkan tentang hakikat Tuhan yang berhak disembah sebagai pencipta semua makhluk, selain mengakui akan keberadaan para Rasul dan para Nabi sebagai penyebar risalah Ilahi. Kalimat inilah yang membimbing kita dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.

Pertanyaannya, bagaimanakah kita bersosial, berpolitik, berekonomi sesuai dengan tuntutan nilai-nilai moral kemanusiaan yang ada? Adakah agama Islam mengatur hal-hal detail dan mendasar tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini dengan tepat, dapatlah kita merujuk kembali kepada peradaban Islam yang telah tampil dalam pentas sejarah selama kurang lebih 14 abad. Sebuah peradaban yang cukup lama dan tidak mudah dilupakan semua orang yang pernah mengalami masa tersebut. Sejarah yang diukir manusia muslim berdasarkan syariat Islam. Islam mengalami berbagai kemajuan baik dalam bidang agama maupun dalam bidang science. Kemakmuran dan keadilan yang dapat dirasakan merata oleh semua golongan; baik muslim maupun non muslim. Sebuah peradaban yang tidak mengenal kezaliman, keoteriteran, kekejaman dan lain sebagainya. Adapun bukti sejarah ini dapat dilihat pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.

Jarum jam terus berputar sebagai penunjuk waktu yang tak pernah berhenti. Silih berganti peradaban tercatat oleh sejarah. Pada akhirnya siklus kemunduran itu mengenai peradaban islam pada setiap kehidupannya. Dihipotesakan, kemunduran ini diawali adanya dekadensi moral para pemimpin sekaligus secara umum kaum muslimin. Hingga akhirnya peradaban Islam berakhir dengan dibubarkannya kekhalifahan Utsmani di Turki pada tahun 1924. Dengan berakhirnya kekhalifahann ini, bukan berarti sebagai akhir risalah Islam dari muka bumi ini. Karena satu dari ciri khasnya, Islam adalah agama yang tidak mengajarkan keputusasaan, sebab syariat ini akan berlaku dimanapun dan kapanpun.

Dekadensi Moral dan Analisa Internal-Eksternal Umat Islam
Berbicara tentang dekadensi moral berarti berbicara tentang etika dan akhlak. Menurut Irsyad Azizi, Lc., dekadensi moral secara terminologi adalah merosotnya akhlak dan etika manusia dari kadar yang seharusnya; yaitu dari nilai-nilai kemanusian yang lazimnya. Dari pemahaman ini, makna dekadensi moral dapat diartikan sebagai merosotnya akhlak manusia dari nilai-nilai agama dan nilai-nilai fitrah kemanusian. Yaitu perbuatan manusia yang tidak mengindahkan lagi nilai-nilai agama sebagai baromater nilai-nilai norma seperti menipu, membunuh, merampok, menzalimi dan sebagainya. Penyebab tersebut bisa kita analisa dan kita klasifikasikan sebagai berikut. Pertama, melemahnya keimanan muslim yang merupakan pondasi awal membina umat kepada jalan kebaikan. Terpatrinya iman di dalam hati seorang muslim akan berpengaruh segala tindak tanduknya berdasarkan petunjuk Allah Swt.        Seorang muslim yang sejati pastilah akan selalu menjaga diri dari perbuatan yang dilarang Allah Swt. Dengan demikian, kecintaanya kepada Allah Swt akan terus bertambah seiring bertambahnya keimanan. Imannya termasifestasikan dalam segala tingkah lakunya; apakah sesuai dengan nilai-nilai agama serta kemanusiaan, atau tidak. Menolong sesama tanpa pamrih, bersedekah, bersikap jujur dan adil menjadi perhiasan perbuatannya.

Manusia itu bersifat relatif, artinya manusia itu bukan maksud seperti halnya para Nabi dan Rasul. Kadang berbuat salah dan kadang berbuat baik. Hal ini dipertegas dalam sebuah Hadis Rasulullah Saw, bahwa keimanan seseorang itu kadang naik dan kadang turun. Kalau sedang naik maka perbanyaklah amalan kebaikan dan jika sedang turun segeralah bertaubat. Karena sebaik-sebaik kesalahan adalah bertaubat. Oleh sebab itu, iman yang sedang lemah dan tidak dibarengi dengan taubat maka segala perbuatannya akan mengarah kepada keburukan. Penyakit enggan malu dan bertaubat inilah yang dirasa menggerogoti hati para pemimpin dan umat saat ini, sehingga mereka banyak terjerumus ke dalam kemaksiatan. Kedua, Pengaruh globalisasi dunia yang tanpa sengaja menjadi jalan mudah penghancuran umat. Globalisasi adalah proses mengecilnya dunia sebagai sebuah kawasan. Artinya, lepas sudah sekat-sekat nasionalisme sebuah bangsa. Seakan dunia adalah satu bangsa saja. Masing-masing membawa, ideologi, budaya, serta identitas masing-masing untuk ditawarkan dan disebarkan ke seluruh dunia.   

Problematika datang jika nilai-nilai yang datang ke sebuah bangsa bertentangan dengan nilai yang sudah disepakati bangsa tersebut (baca: adat atau norma). Salah satu perantara globalisasi ini adalah media. Sedang arus globalisasi yang kuat datang dari barat yang bercirikan arus liberal-sekuler. Tak bisa dihindari, dunia muslimpun mau tak mau termasuk di dalamnya. Syekh Muhammad Ghazali menyebut konfrontasi budaya dalam era ini dengan istilah, ghazwu al-fikr. Artinya peperangan yang terjadi bukanlah konfrontasi fisik, tapi konfrontasi pemikiran, ideologi, dan budaya. Realita yang terjadi di lapangan dunia Islam; banyak pemuda-pemudi islam terpengaruh budaya ini(baca; barat). Mengikutinya dengan tanpa memfilter dan mengukur dengan nilai islam yang dianutnya. Dalam trend berpakaian, mode yang digemari adalah you can see. Padahal islam mengajarkan menutup aurat. Berpacaran, ulang tahun yang berakhir dengan pesta hura-hura, merayakan hari valentine bersama kekasih hingga berujung ke arah free sex. Model kehidupan sosial masyarakat barat dipaksakan untuk dipakai didunia timur yang notabene muslim dan sangat menjunjung tinggi nilai moralitas. Inilah satu bentuk musuh baru yang dihadapi umat Islam. Lambat laun, generasi muda Islam akan memandang budayanya sebagai barang kuno; tidak sesuai dengan nilai-nilai modernitas, Memakai jilbab, pakaian takwa, peci, dan simbol budaya Islami lainnya. Semuanya itu telah usang dan yang modern adalah barat.

Buku-buku yang bermuatan pemutarbalikan sejarah dan pemahaman Islam(baca ; metodologi barat) menjadi buku panduan di setiap lembaga pendidikan. Islam dipahami dan diopinikan sebagai agama teroris dan radikal. Agama yang mengajarkan pemeluknya untuk membunuh orang di luar islam. Agama yang tidak relevan dengan perkembangan zaman. Asumsi ini muncul; sebab mereka beranggapan, bahwa barat maju disebabkan pemisahan dan pengkotakan masing-masing antara urusan agama dan dunia(sekulerisme). Bentuk perang ini benar-benar mempengaruhi pemikiran umat islam saat ini. Keraguan mulai tampak pada sebagian besar umat Islam hingga parahnya; mereka kaum cendekiawan muslim. Semisal, dengan lahirnya kaum liberal di kalangan muslim; mereka mengajak untuk memisahkan antara urusan akhirat dengan duniawi. Maka jangan heran jika ada beberapa mahasiswa IAIN malah melegalkan homoseks. Belum lagi pengaruh kuat media massa yang menjadi guru pertama anak-anak muslim. Menggantikan posisi orang tua sebagai pendidik dan guru. Pertama, Televisi, film-film asing, internet, majalah, dan koran yang berisi hal-hal penghancuran akidah umat menjadi santapan utama generasi kita setiap hari. Informasi-informasi dan gambar-gambar yang berbau pornografi menjadi pendorong merebaknya free sex dan zina. Dari sinilah timbul berbagai kesenjangan sosial yang dihadapi oleh umat Islam seperti; kasus pembunuhan anak terhadap bapaknya, pemerkosaan guru terhadap siswinya, perampokan, dan lain sebagainya.

Dekadensi Moral dan Pengharuhnya di Berbagai Dimensi Kehidupan
Umat islam sekarang semakin terpuruk dan terbelakang. Bekas luka kekalahan perang dan penjajahan yang dilakukan kaum kafir benar-benar telah merubah sikap umat islam terhadap agamanya. Dekadensi moral di setiap lini kehidupan semakin terasa. Umat islam saat ini sedang mengalami multikrisis yang disebabkan perang pemikiran dan kebudayaan. Dan dampak dari perang tersebut adalah mengekornya umat islam dengan mengikuti manhaj hidup kaum kafir dan menjadi budak-budak kebudayaan mereka. Mau tak mau, dekadensi moral ini akan berpengaruh di berbagai dimensi kehidupan. Pertama, bidang politik. Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa politik itu kotor. Artinya penuh dengan warna hitam dan merah. Sikut kanan dan kiri lawan merupakan satu diantara tujuan mereka yang berkecimpung di dalamnya. Semua ini bisa dihipotesa dari merebak dan dianutnya teori politik barat; semacam teori Machievelli yang mendoktrin untuk menghalalkan segala cara dalam meraih suatu kekuasaan. Tak ada lagi etika dan akhlak dalam berpolitik. Jika akhlak dan etika tidak lagi menjadi prinsip kehidupan dalam berpolitik; dapat dipastikan tidak ada lagi ketenangan dan kemajuan sebuah bangsa. Politik inilah yang disebut sebagai politik binatang (itu kalau ada politik dalam binatang), sebagaimana yang diungkapkan “Ust. Irsyad”. Yaitu politik memakan yang lemah dan yang kuatlah yang berkuasa.

Bentuk politik inilah yang dipraktekkan sebagian umat islam. Mereka mengikuti manhaj politik demokrasi-liberal, sekuler, komunis-sosialis dan lain sebagainya. Padahal kalau kita mampu menimbang bentuk politik mereka, semuanya mengarah kepada penguasaan dan penguatan kekuasaan untuk kepentingan kelompok atau partainya sendiri. Karena manhaj mereka tidak barasaskan norma-etika agama, artinya jauh dari nilai-nilai ketuhanan.

 Dalam islam, politik itu didasarkan atas kemaslahatan bersama. Dengan demikian, politikus muslim haruslah mampu menjadikan syariat islam sebagai manhaj perpolitikannya. Selain itu, ia juga harus membarengi dirinya dengan "carracter building", sebagaimana yang diungkapkan oleh Ust. Khalid Muslih M.A dan Mbak Ruthfiana—mahasisiwi Studi Politik Islam University of Hawai. Maksudnya sebaik apapun sistem yang ada kalau tidak di barengi dengan mental dan akhlak pribadi yang sangat kuat; tentu tidak akan membawa manfaat. Jadi nilai individu sangat menentukan baik tidaknya sebuah dunia politik. Kedua, bidang ekonomi yang merupakan tulang punggung roda kehidupan manusia. Rasulullah sendiri berdagang demi mencukupi kehidupannya. Karena Beliau tidak ingin umatnya berpangku tangan (meminta), menjauhi usaha. Banyak redaksi al-Qur’an dan hadis menjelaskan hal tersebut. Seperti dalam sebuah hadis yang mengatakan “bahwa Allah Swt. mencintai umatnya yang memakan rezeki dari hasil usahanya sendiri”. Juga al-Qur’an yang telah menjelaskan satu sisi kehidupan ekonomi manusia(QS. 106:1-4, QS 61:10-11).

Adapun bentuk ekonomi yang jauh dari nilai-nilai agama dan kemanusian seperti ekonomi kapitalis, sosialis, dan feodalis; islam secara tegas menolaknya. Perbedaan yang sangat signifikan antara sisitem perekonomian islam dengan ekonomi kapitalis dan sosialis yaitu; ekonomi Islam dilandasikan pada keuntungan bersama, sedang ekonomi kaitalis dan sosialis didasarkan pada individu atau golongan. Ketiga, dimensi sosial. Dalam kehidupan sosial(bermasyarakat) terdapat norma-norma yang harus diperhatikan. Biasanya norma ini merupakan kesepakatan bersama dalam sebuah masyarakat yang dikenal sebagai norma adat selain norma agama. Peraturan ini sangat terkait dengan kondisi norma-norma etika-moral yang berjalan di sebuah masyarakat, jika terlaksana dengan baik, pengaruh positif akan dirasakan komunitas itu sendiri. Keempat, bidang pendidikan yang merupakan asas terbentuknya sebuah masyarakat madani. Oleh sebab itu, diperlukanlah suatu sistem pendidikan yang bertujuan pada pembinaan ruhani dan potensi. Jika keduanya imbang, akan terlahirlah generasi yang cerdas dan yang urgen; beriman pada Allah Swt. Bukan pendidikan yang menghasilkan mereka (siswa) yang sering tawuran, minum pil koplo, aborsi sebab hamil dini, pemerkosaan anak di bawah umur, serta tindakan amoral lainnya yang berkaitan dengan anak seusia sekolah. Pendidikan moral harus ditekan dan diporsikan lebih banyak.

Dekadensi Moral dan Solusi Yang Ditawarkan
Dari analisa serta hipotesa di atas, beberapa solusi yang ditawarkan berkaitan erat dengan perbaikan di kalangan internal umat islam sendiri, selain melewati jalur eksternal. Secara internal, artinya menjurus kepada perbaikan masing-masing individu muslim. Bisa berupa tarbiyah nafsiyyah melalui majlis-majlis ilmu. Atau dengan mempertebal keimanan melalui pendekatan agama secara kontinyu.

Hal ini diperkuat juga dengan pendapat Ust. Iswan Kurnia Hasan, Lc., “bahwa tidak ada peran aktif dari afiliatif atau ormas manapun secara signifikan yang mempengaruhi kehidupan seseorang dan “me-manage-nya”. Artinya tidak cukup hanya dengan gerakan pornografi dan pornoaksi, karena keduanya hanya merupakan simbol umum saja, harus dibarengi oleh gerakan individu yang konsisten dalam memerangi dekadensi moral.”

Secara eksternal, terartikan akan adanya pengontrolan dari luar terhadap diri kita. Bisa berupa kontrol masyarakat atau lembaga kemasyarakatan secara umum. Seperti organisasi Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Washliyah, dan lembaga swadaya masyarakat(LSM) lainnya. Hal ini juga sangat efektif, karena jika suatu masyarakat timbul rasa peduli yang besar dengan adanya kemungkaran, niscaya kemerosotan akhlak dapat ditanggulangi secara bersama. Karena dekadensi moral merupakan permasalahan dan tanggung jawab kita, terutama berkaitan dengan generasi pelanjut dan masa depan sebuah bangsa, terutama agama Islam. Hal ini terbukti dengan antusiasnya masyarakat turun beramai-ramai mendemo merebaknya penerbitan majalah-majalah yang berbau pornografi, semacam Playboy. Majalah yang sarat penuh pornografi dan kepentingan politis; yang didanai oleh sebuah penerbit Amerika. Keaktifan masyarakat, dengan semacam adanya lembaga yang mengontrol kehidupan moral-sosial(amar ma’ruf nahi munkar), niscaya akan terwujudlah suatu masyarakat madani yang dicita-citakan. Tentu saja dengan menjadikan al-Qur’an surat ali Imran ayat 104 menjadi landasannya.

Laporan Utama Majalah Sinar edisi 38

Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]