PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Menyoroti Ahmadiyah dan Kontroversi SKB Tiga Menteri di Indonesia


Adapun Ahmadiyah Qadiyan, kehadirannya ke Indonesia murni misi messiah, sebagai penerus Mirza Ghulam Ahmad. Adalah Maulana Rahmat Ali orang pertama yang datang ke Indonesia melalui Aceh pada tahun 1925. Ia datang ke Sumatra atas rekomendasi tiga pelajar Thawalib di Qadiyan…

ahmadiyah dan Kontroversi SKB Tiga Menteri di Indonesia
Peristiwa Monas 1 Juni 2008 masih terasa gaungnya. Bentrokan antara Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Berkeyakinan Beragama (AKKBB) dengan Front Pembela Islam (FPI) kembali mengusung Ahmadiyah ke tengah masyarakat. Sekte yang difatwa sesat oleh MUI tahun 1980 kembali menjadi kontrofersi yang hangat, karena tidak semua warga Indonesia menuntut pembubaran Ahmadiyah. Lantas bagaimana tindakan Pemerintah dan MUI dalam menghadapi masalah ini? Penulis mencoba memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan Ahmadiyah pada umumnya dan khusunya di Indonesia yang kini menjadi tema dalam Majalah Sinar Muhammadiyah edisi kali ini.

Sejarah Ahmadiyah

Di dalam kitab “al-Mausû'ah al-Muyassarah fî al-Adyân wa al-Madzâhib wa al-Ahzab” yang dikeluarkan oleh WAMY, disebutkan bahwa Ahmadiyah atau al-Qâdiyâniyah adalah sebuah gerakan yang tumbuh pada tahun 1900 dengan sokongan kolonial Inggris di India. Tujuan khusus berdirinya adalah untuk menjauhkan kaum muslimin dari agamanya dan dari kewajiban berjihad, sehingga tidak ada perlawanan terhadap penjajah Inggris dengan nama Islam. Tapi menurut pendirinya (Mirza Ghulam Ahmad), misi Ahmadiyah adalah untuk menghidupkan Islam dan menegakkan syariahnya atau dengan kata lain meremajakan moral Islam dan nilai-nilai spiritual atau yang kita kenal dengan istilah tajdid.

Gerakan Ahmadiyah adalah Jemaah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 M/1306 H di sebuah desa kecil yang bernama Qadian, Punjab-India. Ia adalah Ghulam Ahmad bin Mirza Ghulam Murtadha, hidup pada tahun 1835-1908 M. Lahir di desa Qadian, di wilayah Punjab pada tanggal 15 Februari 1835 M/14 Syawal 1250 H. Dia tumbuh di keluarga yang terkenal suka berkhianat pada agama dan negara. Begitulah dia tumbuh, mengabdi kepada penjajah dan senantiasa mentaatinya.

Seperti yang diutarakan Ustadz Ghofur Maimun, MA. (Rais Suriyah PCI-NU Mesir, kandidat Doktor jurusan tafsir di Universitas al-Azhar), bahwa Ahmadiyah itu adalah aliran yang menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Akbar jamaahnya. Ghulam mengaku dirinya mendapat wahyu sebagai nabi pada tahun 1876, saat berusia 41 tahun. Ahmadiyah sendiri didirikan tahun 1889, tiga belas tahun kemudian.

Prof. Dr. HAMKA di dalam bukunya yang berjudul "Pelajaran Agama Islam (PAI)" secara panjang lebar membahas Ahmadiyah, mulai dari sejarah kemunculan, ajarannya, hingga masuknya ke Indonesia. Dua kesimpulan penting dalam buku itu adalah; 1) lahirnya nabi palsu di zaman modern (Mirza Ghulam Ahmad) tidak lepas dari dukungan kolonial Inggris untuk melemahkan perlawanan umat Islam. 2) Ahmadiyah lebih berbahaya daripada Bahaiyah (agama senada dengan Ahmadiyah dari Iran). Karena Bahaiyah secara jantan mengakui dirinya bukan bagian dari Islam, sedangkan Ahmadiyah tetap menempel pada Islam. Status yang seperti ini, dinilai Ahmadiyah berpotensi
merusak Islam dari dalam.

Karena itulah, Prof. Dr. HAMKA menulis Ahmadiyah sebagai "agama" bukan "aliran". Melihat Ahmadiyah memiliki akidah dan syariat yang berbeda, akidah kenabian Mirza dan syariatnya yang berupaya mengekalkan kolonialisme Inggris di India dengan menghapuskan jihad.
Ahmadiyah terpecah menjadi dua; Ahmadiyah Qadiyan yang meyakini kenabian Mirza Ghulam Ahmad, dan Ahmadiyah Lahore yang tidak mengakui kenabiannya, tapi mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah seorang mujadid atau Mahdi al-muntadhar. Walaupun demikian Ahmadiyah telah menjadi organisasi Internasional yang tersebar di 185 negara.

Ahmadiyah di Indonesia

Tidak diketahui secara pasti, kapan Ahmadiyah masuk Indonesia, akan tetapi menurut pengamatan Ust. Ghofur Maymun, MA. Ahmadiyah mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1924 ketika dua pendakwah Ahmadiyah Lahore datang ke Jogja. Pada kesempatan ini mereka berdua diundang oleh Minhadjurrahman Djojosoegito (sekretaris Muhammadiyah) dalam Muktamar Muhammadiyah ke-13. Di kemudian hari, ia ketahuan telah masuk dalam Ahmadiyah Lahore, kemudian ia dikeluarkan dari Muhammadiyah. Pada tahun 1930, lalu ia mendirikan secara resmi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dan duduk sebagai pimpinannya.

Adapun Ahmadiyah Qadiyan, kehadirannya ke Indonesia murni misi al-masîh al-muntazhar, sebagai penerus Mirza Ghulam Ahmad. Adalah Maulana Rahmat Ali orang pertama yang datang ke Indonesia melalui Aceh pada tahun 1925. Ia datang ke Sumatra atas rekomendasi tiga pelajar Thawalib di Qadiyan. Tiga pelajar ini awal mula merencanakan melanjutkan studi ke Mesir, akan tetapi guru-gurunya di Thawalib, Padang, menyarankannya untuk pergi ke India. Di India mereka mula-mula mengenal Ahmadiyah Lahore, yang kemudian mengantarkannya kepada ortodoksi Ahmadiyah di Qadiyan. Ketiga pelajar inilah sejatinya yang melapangkan jalan masuknya Ahmadiyah dengan agak mulus ke Indonesia.

Ust. Ghofur Maymun, MA. menambahkan, bahwa persoalan Ahmadiyah sempat terlupakan karena Indonesia secara umum disibukkan oleh perang kemerdekaan, perang revolusi, dan pemberontakan PKI. Dan baru muncul kembali pada tahun 1980-an ketika Indonesia relatif tenang. Saat itu entah siapa yang kembali mengangkat isu Ahmadiyah, hingga MUI mengeluarkan fatwa kesesatan Ahmadiyah. Keputusan nomor 05/Kep/Munas II/MUI/1980 yang dikeluarkan ketika Musyawarah Nasional (Munas)II tersebut berisi bahwa Ahmadiyah adalah Jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Fatwa ini keluar ketika Buya HAMKA menjabat sebagai Ketua Umum MUI.
Mengenai masalah fatwa ini, Ketua Dewan Konsultasi MUI, Prof. Dr. Amir Syarifuddin, MA., menyatakan bahwa MUI tidak asal mengeluarkan fatwa tersebut. Akan tetapi dengan mempelajari Ahmadiyah dari beberapa sumber, diantaranya meneliti dan menyelidiki 9 buku yang dikeluarkan oleh Ahmadiyah maupun pernyataan yang keluar dari Ahmadiyah itu sendiri.

Pada tanggal 3 Januari 2008, Jemaah Ahmadiyah Indonesia mengirim surat berupa “Ringkasan Penjelasan tentang Jemaah Ahmadiyah” kepada Azyumardi Azra di kantor Sekretariat Wakil Presiden. Surat ini berisi 12 butir yang menjelaskan bahwa Ahmadiyah tetap menjadi bagian dari Islam. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, MA., ketika surat ini dibaca sekilas, seolah tidak tampak kesesatannya. Padahal apabila dicermati lagi, sebenarnya ada “kesesatan yang disisipkan” dalam 12 butir ini. Sebagai contoh, pada butir ke-2 dikatakan bahwa Jamaah Ahmadiyah meyakini bahwa Rasulullah Saw adalah Khatamu an-nabiyyiin. Namun di situ tidak dijelaskan apa makna  khatamu an-nabiyyiin. Selain itu tidak ada pengakuan dari Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu bukan Nabi.

Pada tanggal 15 Januari 2008, Badan Koordinasi Pengkaji Aliran Kepercayaan Masyarakat (BAKOR PAKEM) Pusat, dengan berbekal 12 butir ini tidak melarang Ahmadiyah. Mereka memberi waktu selama 3 bulan kepada Ahmadiyah untuk membuktikan pernyataannya bahwa ajarannya sama dengan Islam. Namun ternyata setelah 3 bulan tidak ada perubahan dari Ahmadiyah, mereka tetap saja melaksanakan ajarannya seperti dulu. Maka BAKOR PAKEM pun memutuskan, bahwa ajaran Ahmadiyah tidak benar. Begitulah menurut Prof. Dr. Amir Syarrifuddin, MA. Ketua Dewan Fatwa MUI. KH. Ma’ruf Amin juga menyatakan, bahwa kedua belas pernyataan tersebut hanyalah retorika dan fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah tetap berlaku.

Masyarakat yang semakin resah dengan Ahmadiyah, menuntut sikap tegas dari pemerintah terhadap Ahmadiyah. Lalu pemerintah berjanji untuk mengeluarkan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri, yaitu yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung (SKB 3 MENTERI)

Pembahasan yang menghabiskan waktu cukup lama, Pemerintah akhirnya menerbitkan SKB tentang Ahmadiyah pada hari Senin 9 Juni 2008. Seperti diakui Menteri Agama M. Basyuni, SKB ini diterbitkan begitu lamban karena Pemerintah “memikirkan sedalam-dalamnya, semasak-masaknya, mana yang terbaik. Inilah yang terbaik sesuai undang-undang yang berlaku” (dikutip Kompas pada tanggal 11 JunI 2008). Namun berbagai kalangan menyesalkan adanya keterlambatan ini. Bahkan tidak sedikit pula yang menganggap bahwa kejadian Monas 1 Juni 2008 sebagai buah dari keterlambatan dikeluarkannya SKB tersebut sebagaimana yang diutarakan oleh. Prof. Dr. Amir Syarifuddin MA.

Berikut isi lengkap SKB 3 Menteri berkenaan dengan Ahmadiyah yang di lansir oleh kompas.com. SKB yang ditandatangani oleh Hendarman Supandji (Jaksa Agung), Mardiyanto (Mendagri) dan Maftuh Basyuni (Mentri Agama) dan dirilis di Departemen Agama, Jl. Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin 9 Juni 2008.

1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan  dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

2.  Memberi peringatan dan memerintahkan penganut, anggota dan atau  anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad Saw.

3.     Penganut, anggota dan atau anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu dan Diktum Kedua dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya
.
4.     Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan kehidupan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota dan atau  anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).

5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan atau perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu dan Diktum Keempat dapai dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6. Memerintahan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan  Keputusan Bersama ini.

7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
Beragam reaksi pun bermunculan atas terbitnya SKB ini, ada yang pro ada pula yang kontra. Seperti Harkristuti Harkrisnowo (Dirjen Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM), Hendardi (Ketua Badan Pengurus SETARA Institute), menegaskan dalam konperensi pers bersama pengamat politik UI Arbi Sanit, Yuddy Latief (Paramadhina), dan Usman Hamid (Kontras), 12 Juni 2008 bahwa "SKB benar-benar dibangun atas dasar tekanan dan kebencian sekelompok orang".

Hal senada juga di ungkapkan oleh Juru Bicara Forum Lintas Agama (FLA) Jawa Timur yang juga merupakan anggota lembaga Bahtsul Matsail Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dan wakil Rois Suriah PCNU kota Surabaya Imam Ghozali Said kepada detiksurabaya pada hari senin 9 Juni 2008, bahwa SKB tiga Menteri terkait Ahmadiyah yang dikeluarkan pemerintah dinilai masih bias dan belum jelas.

Begitu juga JAI kontan bereaksi. Mereka berniat mengajukan langkah hukum berupa judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi.

Namun banyak juga pihak yang menyambut baik dengan dikeluarkannya SKB itu, seperti dari MUI, Muhammadiyah, NU, PKS, PPP, Golkar, FUI, HTI, Ponpes Lirboyo Kediri dan lain-lain. SKB dianggap sebagai langkah maju pemerintah dalam menyikapi Ahmadiyah. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin MA, sebenarnya banyak yang mendukung tindakan pemerintah terhadap Ahmadiyah ini. Mayoritas ormas Islam pun mendukung tindakan pemerintah tersebut. Adapaun menurut beliau, adanya suara-suara kontra yang muncul dari berbagai tokoh ormas Islam tidak dapat dianggap sebagai suara ormas tersebut.

"Sejak lama kami menginginkan Ahmadiyah dibubarkan, tapi dengan SKB itu kami kira sudah cukup," kata pengasuh Ponpes Lirboyo,  KH. Achmad Idris Marzuqi di Kediri yang dilansir oleh situs resmi DEPAG. Begitu pula tutur Ketua Komisi Fatwa MUI KH. Ma'ruf Amin "meski isinya hanya bias menghentikankegiatan keagamaan Ahmadiyah yang menyimpang dan tidak bisa melarang dan membubarkan Ahmadiyah. Alhamdulillah kita perlu syukuri keputusan ini." Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin juga mengatakan bahwa umat Islam perlu menerima dengan baik SKB Tiga Mentri terkait Ahmadiyah tersebut dengan segala kekurangannya.

Ketua MPR, Dr.Hidayat Nur Wahid MA juga menegaskan dalam wawancaranya di Rdio Bisnis: ”SKB tersebut dikeluarkan bukan karena tekanan dari suatu kelompok tertentu, bila digunakan logika sejenis, apabila SKB itu tidak dikeluarkan maka sama saja hal itu merupakan tekanan dari kelompok tertentu. Pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat aturan. Kebebasan agama pun harus tetap tunduk kepada aturan yang berlaku. Beliau juga menyatakan bahwa di dalam pembuatan SKB ini, tidak satu pun ayat Al Qur’an maupun Hadits yang dipakai, justru SKB ini merujuk kepada Undang-undang yang dikeluarkan pada tahun 1965 dan UUD 45. Sehingga, orang yang beragumen bahwa aturan pemerintah ini merujuk kepada agama adalah salah. Justru aturan yang dibuat pemerintah ini merujuk kepada Undang-undang dan UUD 45.

Prof. Dr.Amir Syarifuddin MA juga menyatakan bahwa tindakan pemerintah yang hanya melarang penyebaran Ahmadiyah, bukan membubarkannya sudah tepat. Apabila pemerintah langsung membubarkan, justru bertentangan dengan Undang-Undang.

Sikap Umat

Munculnya berbagai aliran sesat di Indonesia belakangan ini seharusnya sudah menggugah jiwa kita. Akankah Negara kita yang notabene merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia terusik lagi oleh aliran-aliran sesat? Ustadz Wahyudi Abdurrahim Lc (kandidat Magister di fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Zamalik) menyatakan perlu usaha preventif, artinya perlunya pengajaran Islam secara benar di Indonesia. Pengajaran itu haruslah merata agar bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat. Selain itu faktor ekonomi juga harus diperhatikan dalam usaha tersebut. “karena pengaruh ekonomi juga, orang lemah mudah untuk terprovokasi”. Lanjut beliau,”Namun yang menjadi faktor dominan adalah kedangkalan masyarakat tentang pemahaman agama.” Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb.

-------------------------------------
Pcim Mesir menerima infaq & sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
 No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]