Hal-hal yang Diharamkan Ketika Haid
1. Bersuci (mandi atau wudlu) dengan tujuan untuk beribadah. Menurut Syafiiyah dan Hanabilah, jika tujuannya hanya membersihkan badan tidak diharamkan. [1]
2. Salat, sebagaimana larangan Rasulullah Saw. kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, dalam Hadis sebelumnya. wanita haid juga tidak diwajibkan mengqadla salat,[2] sebagaimana perkataan Aisyah Ra. di atas. Hikmahnya adalah karena haid datang berulang-ulang dalam waktu yang lama. Perintah untuk mengqadla salat akan menyulitkan wanita. Berbeda dengan puasa.[3] Menurut Jumhur Ulama, wanita haid diharamkan mengqadla salat. Sedangkan menurut Syafiiyah, hukumnya hanya makruh dan dianggap sebagai ibadah sunat tapi tidak mendapat pahala.[4]
3. Puasa.
Wanita haid diharamkan berpuasa. Meski ia berpuasa, tetap tidak sah dan wajib mengqadlanya,[5] sebagaimana Hadis Rasul Saw.: “Bukankah wanita jika haid tidak salat dan puasa” (HR. Bukhari) .[6]
4. Tawaf.[7]
Rasulullah Saw. berkata pada Aisyah Ra.: “Kerjakan apa yang dikerjakan para haji selain tawaf, sampai kamu bersuci” (HR. Jamaah kecuali Turmudzi).[8] Permasalahan ini telah menjadi kesepakatan para ulama. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai ilat pengharamannya. Sebagian berpendapat, ilatnya adalah karena syarat tawaf harus suci. Sebagian yang lain berpendapat karena wanita haid diharamkan masuk masjid,[9] maka diharamkan baginya tawaf.
5. Menyentuh, membawa dan atau membaca al-Quran.[10]
Menurut Jumhur Ulama,[11] wanita haid haram menyentuh, membawa dan atau membaca al-Qur’an.[12] Dalilnya firman Allah Swt.:
لَّا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“…tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (QS. al-Wâqiah: 79).
Sabda Rasulullah Saw.: ”Janganlah wanita haid dan orang yang dalam keadaan junub membaca sesuatupun dari al-Qur’an” (HR. Turmudzi).[13]
Adapun memegang kitab tafsir, Hadis dan fikih yang memuat ayat al-Qur’an, Jumhur Ulama membolehkannya.[14]
Malikiyah berpendapat, wanita haid boleh membaca al-Qur’an—kecuali dalam keadaan junub.[15] Hal ini mengingat bahwa jika diharamkan membaca al-Qur’an bisa menyebabkan wanita tersebut lupa pada al-Qur’an karena masa haid yang dialaminya cukup lama. Malikiyah juga membolehkan bagi wanita haid yang yang berprofesi sebagai pengajar dan pelajar untuk memegang, membawa dan atau membaca al-Qur’an.[16]
Yusuf Qaradhawi menolak pendapat jumhur, dengan dalil bahwa dhamir “lâ yamassuhu” mengandung beberapa makna. Pertama, kembali pada al-Qur’an karim. Kedua, kitab maknûn yang berada di Lauh Mahfuz, dan inilah makna yang paling dekat, karena dia yang paling dekat disebutkan dalam firman Allah Swt.:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ * فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ * لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Jadi, al-Muthahharûn di sini adalah malaikat yang disucikan dari segala maksiat.[17] Dari sini dapat diambil kesimpulan, tidak ada larangan bagi orang yang tidak suci untuk memegang mushaf. Begitupun Qaradhawi menyebutkan bahwa alasan Jumhur Ulama mengharamkan membawa al-Qur’an tidak jelas, karena ilat pengharamannya adalah tidak boleh memegang mushaf itu sendiri. Sedangkan membawa belum tentu memegangnya. Bisa jadi dibawa dengan menggunakan alat, semisal tas. Jadi, karena ilatnya tidak ada, maka pendapat yang mengharamkan membawa al-Qur’an tidak sah.[18]
6. Masuk atau i’tikaf di mesjid meski berwudlu.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Allah tidak menghalalkan mesjid bagi wanita haid dan orang dalam keadaan junub” (HR. Abu Daud).
Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat, wanita haid boleh melewati mesjid jika ada keperluan serta merasa aman; tidak meninggalkan bekas darah haidnya.[19] Dalilnya, Hadis Aisyah Ra. ketika Rasulullah Saw. berkata padanya: “Ambilkan sajadah saya di mesjid” Aisyah berkata: ”Saya haid”, Rasulullah Saw. bersabda: “Haid bukan di tanganmu” (HR. Muslim, Abu Daud, Turmudzi dan Nasai)[20].
Hanabilah berpendapat, setelah berhenti darah haid dan berwudlu, wanita haid boleh berdiam di mesjid, karena hal yang ditakutkan (bekas darah haid) tidak akan terjadi.[21]
Sedangkan Yusuf Qaradhawi menyebutkan, wanita haid boleh masuk mesjid, karena dalil pengaharamannya lemah. Selanjutnya beliau menyebutkan bahwa seharusnya kita berpegang pada metode dakwah (mengambil yang paling ringan), khususnya bagi wanita haid. Mengingat haid bukan keinginannya dan tidak mungkin dihindari. Pengharaman wanita haid masuk masjid akan merugikannya, karena terkadang ia perlu masuk mesjid untuk menghadiri kajian atau yang lainnya. Selain itu, bagaimana wanita haid dilarang masuk mesjid, sedangkan orang kafir dibolehkan masuk. [22]
7. Jimak meskipun memakai alat.[23]
Ulama sepakat, ketika haid suami haram menggauli istrinya meskipun memakai alat.[24]
Sedangkan Hanabilah membolehkannya bagi suami yang memiliki syahwat yang tinggi dengan syarat-syarat: pertama, syahwatnya tidak bisa tersalurkan kecuali pada vagina saja. kedua, jika tidak disalurkan takut merusak testis. Ketiga, tidak mendapatkan wanita lain selain istrinya yang sedang haid untuk dinikahi, karena tidak sanggup membayar mahar.[25]
Kifarat Bagi Suami yang Menggauli Istrinya dalam Keadaan Haid.
Menurut Hanabilah, suami yang menggauli istrinya yang sedang haid atau nifas wajib membayar kifarat.[26] Begitupun istrinya, kecuali jika dia dipaksa. Jika menggaulinya setelah darah haid berhenti, maka tidak diwajibkan membayar kifarat. Adapun besarnya kifarat yang diwajibkan adalah satu atau setengah dinar.
Dalilnya, Hadis Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. berkata: “Barangsiapa mendatangi wanita dalam
keadaan haid, wajib bersedekah satu atau setengah dinar” (HR. Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)[27]. Kifarat gugur jika tidak sanggup membayarnya.[28]
Menurut Malikiyah, Hanafiyah, dan Syafiiyah (qaul jadid), jika seorang suami menggauli istrinya yang sedang haid, maka ia tidak diwajibkan membayar kifarat. Ia hanya diharuskan beristighfar dan
bertaubat.[29]
Pendapat ini adalah pendapat yang paling rajih.[30] Jika ditelusuri, pada dalil yang dipakai Hanabilah terdapat kelemahan; kurang tegas dalam penetapan hukum, yaitu gugurnya kifarat jika tidak sanggup membayarnya.
8. Talak.
Talak diharamkan pada waktu wanita sedang haid, karena akan memperlama masa idah. Dalilnya adalah:
Pertama, firman Allah Swt.:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar)” (QS. al-Talâq: 1).
Kedua, kisah Ibnu Umar yang mentalak istrinya ketika haid. Nabi menyuruh Ibnu Umar merujuk istrinya kembali dan baru mentalaknya setelah suci. Adapun sesudah berhenti darah haid tapi belum mandi suci, maka talak dibolehkan. Karena ilat pengharamannya (memperlama masa idah) tidak ada, dan haid yang dialami wanita dalam talak tidak dihitung.
[1] Ibid., hal. 348. lih. juga Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 625 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 186.
[2] Muhammad bin Idris al-Syafi’I, op. cit., hal. 110.
[3] Ibnu al-Hammam, op. cit., 114 dan al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 105.
[4] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 625. Lih. juga Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 166-167.
[5] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, ibid., hal. 625. Lih. juga Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 294 dan al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 105.
[6] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, op. cit., hal. 479.
[7] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 167.
[8] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, op. cit., hal. 473. lih. juga Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., vol. IV hal. 394 dan Sunanu al- Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 168.
[9] Ibnu al-Hammam, op. cit., hal. 115.
[10] Adapun berdzikir bagi wanita haid dibolehkan. Lebih lanjut lih. Ibid., hal. 168.
[11] Menurut Ibnu Hazm al-Zahiri, membaca al-Qur’an bagi wanita haid merupakan perbuatan yang baik serta disunatkan. Tidak ada nas yang mengharamkan wanita haid dan junub membaca al-Qur’an.
[12] Menurut Syafiiyah, membawa al-Qur’an diwajibkan jika ditakutkan al-Qur’an tenggelam, terbakar, kena najis atau dipegang orang kafir. Sebagaimana Jumhur Ulama membolehkan membawanya jika di dalamnya terdapat tafsir ayat yang lebih banyak dari ayat al-Qur’an. Menurut Safiiyah, tidak boleh membawa al-Qur’an sengaja dengan barang bawaan. Hanafiiyah membolehkan memegang al-Qur’an dengan sampul yang terpisah dari al-Qur’an. Disunatkan membolak-balik lembaran al-Qur’an setelah berwudlu. Boleh membolak-balik halaman al-Qur’an dengan pena untuk membaca, sebagaimana boleh bagi anak kecil membawa al-Qur’an dan mengangkatnya karena kebutuhan untuk belajar. Tidak dimakruhkan bagi orang junub, wanita haid dan nifas melihat al-Qur’an. Lih. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 626.
[13] Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 409. Hadis ini dhoif (lemah).
[14] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 168.
[15] Junub yang dimaksdukan di sini adalah junub karena jimak.
[16] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 168.
[17] Lebih lanjut lih. Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi’u li Ahkâmi’l Qur’ân, vol. IX, Dâru’l Hâdîts, Kairo, 2002, hal. 187.
[18] Lebih lanjut lih. Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhu al-Thaharah, op. cit., hal. 170.
[19] Ibid., hal. 168 dan Lih. juga Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 185.
[20] Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, op. cit., hal. 213. lih. juga Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 135, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 160 dan Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 416.
[21] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 627. Lih. juga Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhu al-Thaharah, op. cit., hal. 241.
[22] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhu al-Thahârah, ibid., hal. 242.
[23] Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ubaidah Salmani, seluruh tubuh wanita haid wajib dijauhi. Dalilnya, firman Allah Swt., surat al-Baqarah ayat 222, bahwa Allah Swt. memerintahkan untuk menjauhi wanita haid, tidak ada pengkhususannya. Pendapat ini akhirnya ditolak Qurthubi dengan mengatakan bahwa pendapat ini lemah dan tidak termasuk pendapat Jumhur Ulama. Lebih lanjut lih. Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 211.
[24] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 162. Lih. juga Muhammad Mutawali al-Sya’rawi, Fatâwâ al-Nisâ’, Maktabah Taufîqiyyah, Kairo, hal. 462.
[25] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 628.
[26] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 162. Lih. juga Abu Muhammad Asyraf bin Abdu al-Maqshud, op. cit., hal. 279, Muhammad Mutawali al-Sya’rawi, op. cit., hal. 461 dan Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 212.
[27] Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 137, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 168 dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 210.
[28] Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, op. cit., hal. 209. Lih. juga Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 630.
[29] Menurut Syafiiyah, menggauli istri pada vaginanya saat haid termasuk dosa besar. Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, tidak termasuk dosa besar. Imam Nawawi dan Abdul Karim Zaidan menjelaskan, siapa yang membolehkan berhubungan dengan istri dalam keadaan haid pada vaginanya dianggap kafir dan murtad. Karena hal ini bertentangan dengan zahir nas al-Qur’an, yang menyatakan keharamannya.
[30] Muhammad Mutawali al-Sya’rawi, op. cit., hal. 427 dan 461. Lih. juga Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 163, Abu Muhammad Asyraf bin Abdu al-Maqshud, op. cit., hal. 279, Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 212 dan al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 106.
Post A Comment
Tidak ada komentar :