Peran Istiqrâ’ dalam Wacana Hukum Fikih.
Peran Istiqrâ’ dalam Wacana Hukum Fikih.
Pada awalnya Istiqrâ’ adalah sebuah metode analisis empiris yang diperkenalkan oleh Aristoteles dalam disiplin ilmu logika. Sebagaimana qiyâs (analogi), keberadaan Istiqrâ’ dalam rancang bangun ushul fikih kemungkinan disebabkan oleh masih adanya relevansi antara ilmu logika dan ushul fikih. Namun metode Istiqrâ’ ala Aristoteles berbeda dengan yang digunakan ulama ushul dalam inferensi hukum fikih.
Berbeda dengan eksistensinya dalam wacana filsafat, dalam ranah penggalian hukum keberadaan metode ini seolah agak termarginalkan. Jika dibandingkan dengan dalil-dalil lain maka Istiqrâ’ tidak memiliki peran yang mapan dalam mempersembahkan solusi-solusi hukum kepangkuan altar khazanah hukum syari’ah. Sebagai perbandingan, di antara empat madzhab yang masyhur hanya ulama-ulama Syafi’i yang terang-terangan menggunakannya[1] dan menggolongkannya sebagai dalil yang dapat diterima (maqbûlah)[2]. Di sisi lain Imam Abu Zahrah menyebutkan dalam bukunya yang mengulas biografi tentang Ibnu Hazm bahwa beliau (Ibnu Hazm) juga berpegangan dengan metode Istiqrâ’ dalam teori berfikihnya. Namun, yang ia gunakan hanyalah Istiqrâ’ tam bukan Istiqrâ’ naqish.[3] Adapun ulama-ulama selain Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm meskipun tidak mencantumkannya sebagai dalil andalan, tidak lantas meniadakannya begitu saja, karena ada dalam beberapa permasalahan meskipun sangat sedikit metode ini berdaya guna.
Tatkala isu kaidah-kaidah fikih (qawâ‘idh fiqhiyyah) mulai dikenal di kalangan ulama ushul dan menembus paradigma fikih yang dianggap stagnan saat itu, barulah Istiqrâ’ menjadi sebuah metode inti di antara tiga metode[4] yang dipakai untuk pembentukan sebuah kaidah dasar. [5] Khusus untuk kaidah-kaidah fikih yang berasal dari proses Istiqrâ’ ada rambu-rambu yang harus diperhatikan. Jika kaidah itu berasal dari Istiqrâ’ tam maka ia bisa dijadikan hujjah untuk kasus-kasus cabang sesuai kesepakatan ulama, baik yang mengatakannya sebagai dalil qath‘iy atau zhanniy. Akan tetapi, apabila ia ditopang dengan Istiqrâ’ nâqish, maka ia tidak bisa berdiri sendiri karena kaidah hukum seperti ini berpeluang ke arah anomali-anomali hukum.[6]
[1] Muhammad Abu Zahrah, Al-Syafî‘iy; hayâtuhu wa ‘Ashruhu, Dâru’l Fikr al-‘Arabiy, Kairo, 1996 M, hal. 287.
[2] Sya’ban Muhammad Ismail, Tahdzîb Syarh al-Asnâwiy ‘ala Minhâju’l Wushûl ilâ ‘Ilmi’l Ushûl, Maktabah al-Azhar li al-Turâts, Kairo, hal. 123.
[3] Abu al-Fadhl Abdussalam bin Muhammad bin Abdul Karim, al-Imâm Ibnu Hazm wa Manhajuhu al-Tajdid fiy Ushûl al-Fiqh, Maktabah al-Islâmiyyah, Kairo, 2001 M, hal. 53.
[4] Tiga metode itu yakni Nash al-Qur’an dan Hadis, Istidlâl, dan Istiqrâ’.
[5] Riyadh Manshur al-Khalifi, al-Qâ‘idah al-Fiqhiyyah; Hujjiyyatuhâ wa Dhawabith al-Istidlâl bihâ, dalam Journal of Sharia and Islamic Studies, vol 18, edisi 55/Desember 2003, The Academic Publication Council Kuwait University, Kuwait, 301.
[6] Ibid., hal. 302.
Labels
Usul Fikih Ar-Risalah
Post A Comment
Tidak ada komentar :