PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Klasifikasi Istiqrâ’

II. Klasifikasi Istiqrâ’

Istiqrâ’ terbagi menjadi dua macam jika ditinjau dari segi integritas penelitian yang dilakukan. Keduanya adalah istiqrâ’ tâm dan istiqrâ’ nâqish.[1]

1.      Istiqrâ’ Tâm (Observasi Induktif Sempurna)

Istiqrâ’ tâm adalah penelitian secara cermat semua keadaan partikular selain objek permasalahan untuk mencapai sebuah konklusi hukum universal. Semua ulama ushul mengakui keabsahan istiqrâ’ tâm

sebagai dalil yang dipakai untuk menghasilkan sebuah produk hukum. Walaupun, derajat keabsahannya masih diperdebatkan. Mayoritas ulama ushul menilai bahwa istiqrâ’ tâm adalah dalil yang qath‘iy, kokoh, dan dapat diyakini kebenarannya. Penilaian ini diperkuat dengan sebuah argumentasi bahwasanya suatu hukum jika sudah ditetapkan qath‘iy (pasti kebenarannya) secara parsial, maka akan pasti juga kebenarannya secara universal.[2] Argumen ini kemudian diperkuat oleh Ibnu Taimiyah dengan statemennya; “adapun Istiqrâ’ akan menjadi dalil yang kuat jika ia merupakan Istiqrâ’ tâm (diproses secara sempurna)”.

Contoh aplikasi:


Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan wajib atau tidaknya shalat witir.[3] Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukum shalat witir sunnah muakkad, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukumnya wajib. Mayoritas ulama yang mengatakan bahwa hukum shalat witir itu sunnah muakkad berpegang pada metode Istiqrâ’ setelah sebelumnya mereka mengelaborasi dan mengartikulasikan dalil-dalil dari al-Quran dan Hadis.

·        Menurut Ijma’, shalat witir boleh dilaksanakan di atas hewan tunggangan seperti yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Said bin Yassar.[4] Ketika diteliti dan dibuktikan sesuai metode Istiqrâ’ dengan meneliti semua riwayat-riwayat dan nash-nash yang ada, semua shalat wajib tidak pernah ditunaikan di atas tunggangan baik itu adâ’ maupun qadhâ’. Dari sini dapat disimpulkan bahwasanya shalat witir tidak wajib, kalau seandainya shalat ini wajib maka ia tidak diperbolehkan melaksanakannya di atas tunggangan.[5]

2.      Istiqrâ’ Nâqish (Observasi Induktif Tidak Sempurna)


   Istiqrâ’ jenis ini adalah penelitian secara terperinci terhadap sebagian besar hal-hal partikular agar tercapai konklusi hukum universal untuk menetapkan hukum objek permasalahan yang sedang dicari hukumnya. Ini berarti tidak semua permasalahan yang berada dalam cakupan hukum universal itu harus diteliti. Dengan kata lain, cukup mempelajari sebagian besar yang mewakilinya saja.

            Para ulama ushul berbeda pendapat akan keabsahan Istiqrâ’ nâqish sebagai dalil dalam inferensi hukum. Perbedaan ini terbagi dalam dua pendapat:

a.       Pendapat pertama didukung oleh mayoritas ulama ushul di antaranya Imam Baidhawi dan mayoritas ulama Syafi’i, al-Hindi, Imam Syathibi serta beberapa dari ulama Hanabilah[6]. Pendapat ini menyatakan bahwasanya Istiqrâ’ naqish adalah dalil zhanniy dalam penentuan hukum universal tanpa harus ada intervensi dari dalil-dalil eksternal, begitupun dalam menentukan hukum dari objek permasalahan.

Argumen yang menguatkan bahwasanya bentuk ini adalah dalil zhanniy yakni jika kita menghasilkan hukum yang sama di dalam mayoritas dari bagian suatu permasalahan, maka kemungkinan bagian yang tersisa dan belum dipelajari juga sama hukumnya[7], karena yang sedikit mengikuti yang paling umum dan sering terjadi (ilhâq al-fardh bi’l aghlab), bahkan hal semacam ini sering berlaku dalam bab-bab fikih.[8] Akan tetapi, ditakutkan juga akan ada perselisihan antara yang tidak diteliti dan yang telah diteliti.[9] Artinya disana masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti.

      Di sisi lain Istiqrâ’ naqish tidak diangap sebagai dalil qath’i dan kokoh karena hukum universalnya tidak didukung oleh semua parsialnya. Sehingga boleh-boleh saja jika objek permasalahan tidak menerapkan hukum universal ini. Dalam artian bisa saja hukum dari objek permasalahan bertentangan dengan hukum universal hasil Istiqrâ’.[10]

b.      Pendapat kedua yang diwakili oleh Imam Fakhruddin al-Razi yang menyatakan bahwasanya Istiqrâ’ naqish bukanlah dalil yang qath’i maupun zhanni sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum fikih secara mandiri. Ini dikarenakan hukum yang dihasilkan dari penelitian beberapa bagian saja dari hukum universal akan menghasilkan konklusi yang prematur dan tidak bisa diterapkan ke dalam bagian yang belum diteliti. Kesimpulan seperti ini akan berakibat ketidakpastian hukum dari bagian yang belum diteliti sehingga memberi peluang akan terjadi pertentangan dalam internal hukum yang dimaksud.

      Argumen ini kemudian dijawab, bahwasanya bagian-bagian yang tidak melalui proses Istiqrâ’ itu sedikit dan jarang sekali terjadi. Biasanya yang sedikit dan jarang terjadi itu dipukul rata dengan yang umum dan sering terjadi. Secara asumsi  (zhan) hukum yang belum diteliti sama dengan  yang telah diteliti.[11]

Contoh terapan:


·        Dalam menentukan usia minimal seorang wanita yang mendapat haid pertamanya, ulama fikih menggunakan metode Istiqrâ’ (contohnya salah satunya dengan melakukan penelitian terhadap wanita-wanita di berbagai tempat) yang menghasilkan bahwa secara umum wanita pertama kali mendapat haidh pada usia sembilan tahun. Dalam konteks ini, ulama hanya berpegangan pada keadaan dan kondisi sosial mayoritas perempuan yang ada.[12]

·        Begitu juga penentuan waktu minimal haidh seorang wanita, Imam Syafi’i mendapatkan informasi dari seorang wanita yang mengatakan bahwa saudara perempuannya hanya haidh sehari semalam dalam satu tahun dan dia normal-normal saja saat hamil maupun melahirkan, nifasnya pun pas dengan waktu yang ditentukan yaitu 40 hari. Dari sini Imam Syafi’i menyimpulkan bahwasanya waktu minimal haidh seorang wanita adalah sehari semalam.[13]

[1] Wahbah Al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, Dâru’l Fikr, Damaskus, 2007 M, hal. 213.

[2] Ibnu al-Najar, op. cit., vol 4, hal. 419-420. Bandingkan dengan Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Hâsyiyah al-Banâni Syarh Matan Jam‘ul Jawâmi‘, Dâru’l Fikri, Beirut, 1995 M, 346.

[3] Ada sebagian ulama seperti Imam Baidhawi yang meletakan contoh ini dalam bagian istiqrâ’ nâqish. Tapi jika ditilik lebih lanjut, contoh ini lebih pas atau paling tidak mendekati Istiqrâ’ tâm sebagaimana yang dicantumkan oleh Wahbah Zuhaili di dalam bukunya Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy.

[4] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathu’l Bâriy bi Syarh Shahîh al-Bukhâriy, Dâru’l Hadîts, Kairo, 2004 M, hal. 560.

[5] Muhammad Abdurrahman Al-Mar’asyli, op. cit., hal. 345.

[6] Ibnu al-Najar, op. cit., hal. 418.

[7] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, al-Mustashfâ, vol. 1, Dâru’l Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut,1422 H, hal. 51.

[8] Muhammad al-Habib Ibnu Al-Khajah, Ushûl al-Fiqh wa al-Maqâshid, vol. II, Dewan Kementrian Wakaf Negara Qatar, 2004 M, hal. 244.

[9] Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Hâsyiyah al-Banâni Syarh Matan Jam‘ul Jawâmi‘, Dâru’l Fikr, Beirut, 1995 M, 346.

[10] Hamdi Subhi Thaha, op. cit., hal. 121.

[11] Ibid., hal. 121.

[12] Abdul Aziz Muhammad ‘Azzam, Al-Qawâ‘idh al-Fiqhiyyah, Dâru’l Hadîts, Kairo, 2005 M, hal. 176.

[13] Muhammad Abdurrahman Al-Mar’asyli, op. cit.,  hal. 345.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]