Maqâshid al-Syarî‘ah dan Keterbatasan Ushul Fiqh
Bagi Ibnu
‘Asyur, salah satu penyebab terpenting kemunduran fiqh Islam adalah
kurangnya minat fuqahâ’ untuk berinteraksi secara intens dengan
kaidah-kaidah pokok fiqh serta kecenderungan mereka kepada
pembahasan-pembahasan yang terbatas pada masalah-masalah furû‘ (cabang)
saja. Ditambah lagi keengganan mereka untuk menggunakan disiplin ilmu-ilmu lain
sebagai alat bantu, menyebabkan kajian fiqh terpinggirkan dari ilmu-ilmu
tersebut yang sebenarnya punya pengaruh penting terhadap perkembangan dan
kemajuannya. Pada saat yang sama, hal itu juga menyebabkan fiqh terasingkan dari
realitas kehidupan dan problematika masyarakat kekinian.
Karena kedudukan
ushul fiqh sebagai landasan teoritis fiqh, kemunduran dalam fiqh berarti
kemunduran dalam ushul fiqh juga. Keengganan pengikut setia madzhab untuk
melakukan usaha-usaha ta‘lîl dan tarjîh dengan alasan
menjaga kesatuan madzhab dan membatasi perselisihan di dalamnya, justru menjadi
kontraproduktif dengan tujuan itu sendiri. Mereka seakan lupa bahwa
produk-produk ijtihad para ulama madzhab tersebut adalah hasil pembacaan
maksimal terhadap mashâlih dan mafâsid, maqâshid al-syarî‘ah,
prinsip-prinsip menghilangkan kesulitan (raf’u’l haraj) serta
kebutuhan umat dan tradisi mereka ketika itu. Sebaliknya kata Ibnu ‘Asyur,
justru karena keteledoran akan hal-hal itulah yang menyebabkan timbulnya perselisihan,
baik itu berupa al-khilâf al-‘âliy (perselisihan antar madzhab) maupun al-khilâf
al-nâzil (perselisihan internal madzhab), juga menjadi penyebab utama
kejumudan fuqahâ’ dan penyia-nyiaan hukum-hukum lain yang lebih
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ungkapan senada juga dilontarkan oleh
Sya‘ban Muhammad Ismail. Menurut beliau, banyak dari Ulama Ushûl yang
membuang energinya dengan membahas hal-hal yang sebetulnya tidak perlu
diperselisihkan lagi. Sebagian dari mereka justru terjebak dalam perdebatan-perdebatan
di luar pembahasan ushul fiqh. Ini tentu berbahaya bagi generasi muda umat
Islam, karena tujuan mereka sekedar untuk memenangkan madzhab masing-masing[1]
Perselisihan
tersebut berakibat kepada ketiadaan sifat qath‘iy dalam kajian ushul fiqh.
Inilah salah satu kelemahan mendasar ushûl al-fiqh menurut Ibnu ‘Asyur.
Disinilah kajian maqâshid bisa dijadikan sebagai petunjuk penting untuk
merumuskan kaidah-kaidah qath‘iy guna menuntaskan perselisihan pendapat
yang muncul dari perbedaan waktu dan tempat, sehingga segala bentuk fanatisme
madzhab bisa diminimalisir serta disikapi secara obyektif.
Satu kelemahan lain
dari fiqh dan usul fiqh adalah tidak adanya hubungan dinamis antara keduanya
dengan ilmu-ilmu sosial sehingga kehilangan relevansinya terhadap kebutuhan
umat. Contoh sederhananya, banyak para ulama sekarang menghukumi transaksi jual
beli sebagaimana menghukuminya di awal abad pertama Hijriah tanpa memperdulikan
beberapa perbedaan kondisi antara keduanya. Jalaluddin sendiri menyatakan bahwa
kemaslahatan duniawi manusia dan sarana untuk mencapainya tidak pernah tetap,
akan tetapi ia akan selalu berubah seiring perubahan zaman. Sedangkan nash dan
metode qiyâs yang dibawanya terbatas, tidak akan cukup untuk
menyelesaikan semua permasalahan manusia yang bertambah kompleks. Disinilah
keberadaan maqâshid sangat dibutuhkan.[2]
Selain itu menurut
Ibnu ‘Asyur, sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa dalam menyelesaikan
problematika manusia, para fuqahâ’ terdahulu lebih banyak menggunakan
cara pandang parsial. Konsekuensinya adalah fiqh kita lebih banyak berbicara
tentang kasus-kasus personal tanpa memperhatikan permasalahan kolektif yang
dihadapi umat Islam.[3]
[1]Sya‘ban
Muhammad Ismail, al-Tajdîd fî Ushûli’l Fiqh; Dirâsah Washfiyyah Naqdiyyah,
op.cit, hal. 48
[2]Jalaluddin ‘Abdurrahman, al-Mashâlih al-Mursalah wa
Makânatuhâ fi al-Tasyrî', Darul Kitab al-Jami‘iy, Kairo, cet. I, 1983. hal. 88
[3]Muhammad
al-Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqâshid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, op.cit, hal.
72
Labels
Analisis
Post A Comment
Tidak ada komentar :