PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Tragedi 11 September 2001 dan Clash of Civilizations



Tragedi 11 September 2001 dan Clash of Civilizations
Sebagian kalangan, baik di Barat maupun di dunia Islam, memandang tragedi AS, perang Afghanistan dan Irak ini sebagai aktualisasi dari tesis yang pernah dikemukakan oleh Huntington pada dasawarsa 90-an tentang “benturan peradaban” (clash of civilizations). Dalam hal ini khususnya peradaban Barat dan Islam. Tampaknya, kemunculan kembali tesis yang notorious itu—setelah perdebatan tentangnya mereda pada paruh ke dua era 90-an—sulit dielakkan. Apalagi ketika publik Barat, khususnya AS, terlanjur mengklaim kelompok Islam sebagai pelaku tragedi 11 September 2001 di AS, tesis Huntington itu menjadi “kutipan wajib” di mana-mana. Dalam persepsi benturan peradaban ini,terutama ditekankan hanya ada dua kubu peradaban; AS dan negara-negara Eropa sekutu-sekutunya di satu pihak yang merepresentasikan dunia Barat, dan dunia muslim secara keseluruhan pada pihak lain.
Banyak pihak yang tidak setuju bahkan mencibir tesis Huntington ini. Tesis Huntington dianggap sebagai ilusi atau fantasi belaka. Tetapi tidak sedikit pula yang memberikan pembenaran terhadapnya. Setiap peristiwa tragis di dunia Islam yang bersangkutan dengan Barat, atau peristiwa tragis di dunia Barat yang berkait dengan Islam, kerap kali dianggap sebagai konfrontasi total antara Islam dan Barat. Lebih jauh peristiwa itu dianggap sebagai bukti nyata dari “petuah” Huntington tentang benturan peradaban itu. Ketika muncul terorisme di AS, kemudian ada “fatwa” bahwa otak pelakunya adalah Usamah bin Ladin yang muslim, disusul dengan serangan balasan AS terhadap Afghanistan dan Irak, maka banyak kalangan kembali melirik pada tesis Huntington itu.
Berkaitan dengan tragedi AS, Afghanistan, Irak dan isu benturan peradaban, kiranya perlu diajukan pertanyaan: Apakah Usamah bin Ladin dan rezim Taliban Afghanistan serta rezim Saddam Husein, bisa dikatakan representasi Islam? Atau katakanlah kita mengamini tesis Huntington, apakah rangkaian tragedi itu bisa dikatakan sebagai bentuk dari—atau minimal telah memenuhi syarat—benturan  antara peradaban Barat dan Islam?
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Sebagian kalangan cenderung melihat persoalan ini secara hitam-putih, sehingga tanpa sadar terjebak dalam—meminjam istilah Azyumardi Azra—simplifikasi (simplification) dan generalisasi (generalization) yang berlebihan.[1] Karena itu, kita perlu mempertegas masing-masing variabel yang terlibat dalam konflik itu, bukan hanya untuk menghindari pandangan simplistis atau generalis, melainkan untuk menempatkan masing-masing variabel pada proporsinya. Di samping itu, diperlukan juga pengujian ulang terhadap validitas tesis Huntington tersebut.
Menurut Azra, pada level wacana teoritis, argumen Huntington ini telah banyak mendapat gugatan penolakan dan argumen bantahan dari kalangan ahli Barat maupun Islam. Kontra-argumen itu pada intinya menyimpulkan bahwa Huntington telah melakukan sweeping generalizations dan gross simplifications, generalisasi dan simplifikasi berlebihan terhadap dinamika hubungan Islam dan Barat. Padahal hubungan di antara kedua peradaban ini tidaklah sesederhana seperti yang dipersepsikan Huntington, tapi sebaliknya sangat kompleks dan multi facetted, di masa lalu, apalagi di masa kini. Lagi pula, masih menurut Azra, istilah civilizations, yang menurut Huntington mengalami perbenturan, mengandung aspek dan dimensi yang sangat luas, mulai dari kebudayaan (culture), sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan sains, teknologi, kemiliteran, dan lain-lain. Bertolak dari luasnya aspek-aspek peradaban ini, maka jika memang ada “perbenturan”, hal itu terutama terjadi pada bidang politik dan militer yang dalam kasus-kasus tertentu berasal dari, atau melibatkan faktor agama, dalam hal ini Islam dan Kristen.[2]
Pada sisi yang lain, sebagai sebuah kerangka analisis, tesis Huntington ini agak mengalami kesulitan pada level praksisnya. Terlebih bila dihadapkan pada persoalan-persoalan kongkret yang mengitari peristiwa di seputar dunia Barat dan Islam. Dalam banyak kasus, konflik yang melibatkan unsur Islam di satu pihak, dan Barat di pihak lain, terlalu sulit untuk disebut sebagai benturan antara peradaban Barat dan Islam. Dalam kasus perang teluk, sekadar menyebut contoh, sulit dikatakan sebagai benturan Barat-Islam, karena realitasnya beberapa negara Islam, termasuk Saudi Arabia, cenderung pro-Barat dan bahkan meminta perlindungan terhadap Barat, dalam hal ini AS.
Hal yang kurang lebih sama terjadi juga pada beberapa kasus yang berkembang dewasa ini, mulai dari kasus terorisme di AS hingga perang di Afghanistan dan Irak. Bisa dipastikan, negara-negara Islam di Timur Tengah dan beberapa negara yang penduduknya mayoritas Islam mengalami polarisasi dalam menyikapi peristiwa-peristiwa tersebut. Tentang aksi terorisme yang meminta banyak korban sipil tak berdosa itu, tentu dapat dikatakan mayoritas negara di dunia—untuk tidak mengatakan semuanya—sama-sama sepakat untuk mengutuknya. Tetapi serangan balik AS terhadap Afghanistan dan Irak tidak mendapat respon serupa. Alih-alih menyetujuinya, sebagian masyarakat Barat, bahkan sebagian masyarakat AS sendiri menganggap keputusan pemerintahnya itu keliru. Dengan demikian, hemat penulis, sulit menyimpulkan adanya benturan Islam-Barat pada setiap peristiwa yang melibatkan pihak Barat dan Islam.
Kesulitannya terletak pada setidaknya dua hal. Pertama, identifikasi pihak “Barat” dan pihak “Islam” yang tidak pernah jelas dan tepat pengertiannya. Seringkali banyak orang terjebak pada kecenderungan generalisasi ketika berbicara siapa itu “Barat” dan siapa itu “Islam”. Padahal, pada masing-masing variabel itu memiliki karakteristik yang sering tidak sama.
Dalam pengertian yang populer, “Barat” kerap kali diidentikkan dengan bangsa Eropa dan Amerika. Sementara jelas ada perbedaan yang amat besar dan mendalam antara bangsa-bangsa yang hidup di dua benua tersebut. “Barat” juga seringkali diidentikkan dengan AS, padahal AS sendiri terdiri dari berbagai negara bagian yang masing-masing memiliki karakter unik dan beragam pandangan-pandangannya. Jadi jelas tidak tepat memandang masyarakat Barat sebagai sebagai sebuah komunitas bangsa yang tunggal. Demikian juga tidak arif menilai masyarakat AS sebagai himpunan orang-orang yang seragam pendapatnya, apalagi mengidentikkannya dengan segala kebijakan pemerintahannya.
Demikian pula yang terjadi pada Islam. Apa yang sering disebut kelompok “Islam” sebenarnya juga tidak begitu jelas. Sebab, Islam sebagai sebuah agama telah mengalami “sosialisasi”, mewujud dalam komunitas masyarakat dalam frame historis yang panjang. Karena itu, pengertian pihak “Islam” menjadi sama sekali sosiologis, dalam arti wujud kongkret masyarakat yang hidup dalam ranah sejarah tersebut. Pada tataran ini, pihak “Islam” tidak bisa dibaca secara tunggal, karena bertentangan dengan realitas kongkret masyarakat Islam itu sendiri yang plural dan tidak seragam. Sebagai contoh, dalam menyikapi beberapa peristiwa yang tersebut di atas, pandangan umat Islam sangatlah beragam.[3]
Jadi, menyebutkan Usamah bin Ladin, Kaum Taliban maupun rezim Saddam Husein sebagai representasi Islam sangatlah tidak tepat, walaupun mereka kebetulan beragama Islam dan hidup di negara yang seolah-olah menerapkan Syariat Islam. Bahwa kita harus menentang aksi perang AS terhadap Afghanistan dan Irak, itu sah saja, karena AS memang tidak mampu menunjukkan alasan-alasan yang kuat untuk melegitimasi tindakannya itu. Begitu pula bahwa kita harus simpati terhadap penderitaan rakyat Afghanistan dan Irak yang tak putus dirundung malang, juga suatu kelaziman, bukan hanya karena mereka bagian dari Islam, tapi juga karena mereka bagian dari manusia seluruhnya yang berhak menghirup kedamaian dan menikmati kesejahteraan. Namun, menyamakan serangan AS ke Afghanistan dan Irak sebagai serangan Barat terhadap Islam, adalah penyikapan yang sangat simplistis.
Kedua,  dalam beberapa kasus, konflik antara salah satu negara Barat dengan negara Islam itu lebih menampakkan konflik kepentingan—terutama politik dan ekonomi—daripada konflik agama. Kalaupun ada unsur agama, maka ia hanya dijadikan mask dari kepentingan yang sebenarnya untuk menggugah sentimen masing-masing pihak maupun menarik dukungan publiknya masing-masing.
Dalam kasus konflik AS dan sekutunya dengan Afghanistan maupun Irak, hemat penulis, lebih tepat disebut sebagai pertarungan kepentingan antara kepentingan politik-ekonomi Barat dengan kelompok Islam Politik. Apa yang disebut sebagian orang sebagai “benturan antara Islam dan Barat” sebenarnya lebih tepat disebut sebagai benturan kepentingan yang sama sekali tak bersangkut paut dengan pertentangan agama, dalam hal ini Islam dan Kristen. Barat, dalam hal ini AS, dikenal sangat ambisius dalam upaya mengukuhkan hegemoninya di seluruh dunia. Sebagai satu-satunya negara adikuasa (super power) di dunia saat ini, AS merasa berkepentingan untuk meneguhkan dominasinya di dunia internasional, sehingga dengan leluasa dapat intervensi dalam urusan sistem sebuah negara sesuai dengan kepentingannya. AS perlu meyakinkan dirinya bahwa tidak ada kombinasi kekuatan lain yang mampu mencegah maupun menentang kebijakan-kebijakannya. Sebab itu, AS merasa perlu “menaklukkan” dunia internasional untuk melempangkan jalan politiknya dan mengeruk keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya. Sebagaimana diketahui, negara-negara muslim, memiliki kekayaan yang sangat dibutuhkan oleh Barat, dan pada saat yang sama negara-negara muslim bersama negara-negara lainnya merupakan pasar strategis bagi produk-produk Barat.
Kepentingan Barat di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, sangat jelas. Timur Tengah memiliki cadangan minyak sangat besar yang dibutuhkan dunia Barat. AS dan Barat secara umum tidak mempunyai cadangan minyak yang cukup untuk mesin-mesin produksinya. Karena itu AS berkepentingan untuk menguasai wilayah itu. Hanya saja, langkah AS tidak selalu berjalan mulus, karena ada beberapa penguasa di Timur Tengah yang enggan “diatur” oleh AS. Inilah yang menumbuhkan kegusaran AS terhadap beberapa negara Muslim, seperti Irak, Afghanistan, Iran, Libya dan lain-lain. Kegusaran AS ini sebenarnya tidak disebabkan keislaman para pemimpin di negara-negara tersebut, tapi karena mereka dianggap menghambat kepentingan ekonomi-politik AS. Agama dan pencitraan buruk terhadapnya hanyalah dijadikan alat untuk melegitimasi tindakan represif AS terhadap dunia Islam.
Dari sini, gerakan-gerakan Islam muncul lebih sering dimotivasi oleh penolakan terhadap kebijakan-kebijakan Barat, terutama AS. Kehadiran dan kebijakan AS seringkali merupakan kekuatan pendorong paling utama di balik tindakan-tindakan yang menyerang kepentingan-kepentingan pemerintahan, bisnis, dan militer negara adikuasa itu. AS sering dipandang tidak konsisten dalam sikapnya berkaitan dengan banyak kasus, khususnya di dunia muslim.
AS, misalnya, tidak menyejajarkan kelompok-kelompok ekstremis Yahudi dan Kristen dengan Yahudi dan Kristen secara keseluruhan. Demikian pula, pemerintah AS tidak mengecam pencampuran antara agama dan politik yang berlangsung di Israel, Polandia, Eropa Timur, dan Amerika Latin.[4] Ketika berhubungan dengan kasus Islam, tingkat diskriminasi dan pemilahan-pemilahan yang sama tidak terjadi. Perjuangan bangsa muslim Palestina membebaskan bangsanya dianggap Barat sebagai terorisme Muslim, sementara julukan yang sama tidak diberikan kepada para agresor Yahudi. AS mengecam dan menghalangi pengembangan persenjataan nuklir di beberapa negara Muslim, seperti Iran, Pakistan, Irak, Libya dan lain-lain, sementara AS diam saja ketika hal itu terjadi di Israel dan India.
Bahkan dalam banyak kasus, AS lebih menunjukkan dorongan kepentingannya daripada konsistensinya terhadap demokrasi yang selalu didengungkannya.  Hal ini tampak dalam dukungan AS terhadap rejim tiranik, diktator, dan otoriter di negara-negara muslim. Dukungan terhadap negara-negara yang non-demokratis itu berlaku bila rejim penguasa negara tersebut dapat “bekerja sama” dengan Barat dan mampu menekan keras gerakan-gerakan muslim. Demokrasi tidak berlaku di dunia Islam jika hanya akan memunculkan kekuatan Islam atau melahirkan sebuah pemerintahan muslim. Sebaliknya, kediktatoran didiamkan bahkan diam-diam didukung bila ia mampu memelihara kepentingan-kepentingan Barat. Akhirnya, demokrasi dan anti- demokrasi, pada beberapa kasus menjadi kabur maknanya, karena terkait dengan sejauh mana sikap korporasi-akomodatif  suatu negara terhadap kepentingan Barat.
Dukungan Amerika terhadap rezim-rezim represif inilah yang mengintensifkan gerakan-gerakan anti-Amerikanisme secara khusus dan anti-Barat secara umum. Tidak adanya respon resmi dan tegas AS terhadap semua peristiwa penindasan maupun dukungan ekonomi dan politik mereka terhadap regim-regim yang otoriter dan represif, dipandang sebagai bagian dari skenario mereka dan bukti standar ganda AS dalam pelaksanaan demokrasi dan HAM yang selalu mereka dengung-dengungkan.[5]
Nah, gerakan Usamah bin Ladin, rezim Taliban, dan rezim Saddam Husein, di mata pemerintah AS sejak lama dipandang sebagai kelompok radikal yang secara jelas dan tegas menunjukkan keberaniannya dalam menantang dan melawan arogansi Barat, terutama AS.  Hal ini tentu dapat menghambat mereka dalam menancapkan panji-panji kepentingan  ekonomi-politiknya, terutama di negara-negara yang strategis dan potensial secara ekonomi seperti Afghanistan, Irak, dan negara-negara sekitarnya di Timur Tengah. Negara-negara ini memang dikenal memiliki kekayaan alam sangat besar, yang sangat dibutuhkan oleh peralatan teknologi industri Barat. Tak heran jika AS begitu “semangat” melibas setiap kekuatan yang dianggap dapat mengganggu eksistensi jaring kekuasaannya di negara-negara ini, seperti Usamah bin Ladin, kelompok Taliban, dan rezim Saddam Husein. Peristiwa terorisme yang meruntuhkan WTC dan Pentagon menjadi momentum bagi AS untuk mulai menghabisi kekuatan penghambat itu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan target berikutnya adalah beberapa negara yang memiliki sikap kurang lebih sama dengan Usamah, Taliban, dan Saddam dalam menentang hegemoni Barat, seperti Iran, Suriah, Libya, dan lain-lain.
Karena itu, sekali lagi, tampaknya lebih arif bila kita menghindari kesimpulan yang simplistis atas persoalan konfrontasi antara AS dengan beberapa negara muslim. Tidak tepat mempersepsikan serangan terorisme di AS sebagai serangan muslim dan Islam secara keseluruhan terhadap Barat, sebagaimana juga tidak benar mempersepsikan serangan AS ke Afghanistan dan Irak sebagai serangan Barat terhadap kaum Muslim dan Islam secara keseluruhan. Lebih tidak tepat lagi apabila mengidentikkan dua peristiwa tersebut sebagai bentuk dari “benturan peradaban”.
Jika pandangan simplistis seperti itu dipertahankan, maka berarti kita membentangkan suasana psikologis yang kondusif bagi benturan kekerasan berikutnya. Padahal kekerasan tidak menyumbangkan apa-apa terhadap peradaban, kecuali luka-luka yang mendalam dan menganga sepanjang sejarah.


[1] Lihat Azyumardi Azra, “Menimbang Ulang “Benturan Peradaban”, dalam Koran Tempo, (25 September 2001), h. 14
[2] Ibid.
[3] Ridla Hilal, Amrîkâ wa al-Islâm: Shadâm am Ta’âyusy, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 2002), hal. 7-8. Lihat juga ulasan Ulil Abshar Abdalla, “Dialog Bukan Konfrontasi”, dalam www.islamlib.com
[4] John L. Esposito, Al-Tahdîd al-Islâmîyop.cit. hal. 370
[5] Ulasan menarik tentang bagaimana Barat menyikapi demokrasi di dunia Islam lebih jauh dapat dirujuk dalam John L. Esposito, Al-Tahdîd al-Islâmîy... ibid. Lihat juga Daniel Eckelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, (Bandung: Mizan, 1999).
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]