Definisi Mandi Wajib
Menurut terminologi Fuqaha, mandi
wajib adalah menyiramkan air ke seluruh badan dengan tujuan menghilangkan hadas
besar. Adapun hal-hal yang diwajibkan dalam mandi wajib adalah:
Pertama, niat.
Kedua, menyiramkan air ke seluruh tubuh.
Yang dimaksud meyiramkan adalah
mengalirkan air ke seluruh bagian tubuh yang bisa dialiri air tanpa susah
payah. Apabila ada sebagian anggota tubuh yang bisa dialiri air tidak tersiram,
maka mandi wajibnya tidak sah.[1]
Batasan-batasan mana saja yang wajib dialiri air?
Di sini terjadi perbedaan pendapat
ulama, dan semua ini tidak terlepas dari perbedaan interpretasi mereka terhadap
firman Allah Swt.:
…وَإِن
كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ…
“…dan jika kamu junub maka
mandilah…” (QS. al-Mâidah: 6).
Ada beberapa pendapat dalam penafsiran ayat ini.
Pertama, menurut Malikiyah dan Syafiiyah,
berkumur-kumur (madhmadhah) dan istinsyâq (memasukkan air ke
hidung dan mengeluarkannya) tidak diwajibkan dalam mandi wajib.[2]
Dalilnya, suatu kaum datang pada
majlis Rasulullah Saw., mereka menjelaskan apa yang dikatakan Nabi Saw.: “Sedangkan
saya hanya cukup dengan menggosok kepala saya tiga kali, maka saya telah
bersuci” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).[3]
Kedua, menurut Hanafiyah
dan Hanabilah, makna فَاطَّهَّرُواْ adalah
sucikanlah badanmu. Badan mencakup zahir dan batin.[4]
Dengan demikian, mensucikannya wajib
jika memungkinkan dan diyakini tidak menimbulkan madlarat. Dengan itu, madhmadhah
dan istinsyâq termasuk hal yang diwajibkan, karena memasukan air pada
mulut dan hidung adalah satu hal yang memungkinkan dan tidak akan menimbulkan
madlarat.[5]
Pendapat ini sekaligus membantah
dalil Malikiah dan Syafiiah karena hujjah-nya tidak tepat. Adapun
maksud Hadis yang paling tepat adalah wudlu setelah mandi hukumnya tidak wajib,
sebagaimana yang dipahami kebanyakan para sahabat. Rasulullah menjelaskan bahwa
yang diwajibkan hanya mandi saja, sedangkan wudlu sudah tercakup di dalamnya.[6]
Masalah ini juga dikuatkan oleh
Hadis Aisyah Ra., ia berkata:
“Sesungguhnya rasulullah telah
mandi, lalu melakukan salat dua rakaat dan salat zuhur, dan saya tidak melihat
dia berwudlu setelah mandi” (HR. Jamaah
kecuali Bukhari dan Muslim).[7]
[2] Muhammad bin Idris al-Syafi’I, op.
cit., hal. 79 dan lih. juga Muhammad
Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 386.
[3] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani,
op. cit., hal. 435, Sahih Muslim bi Syarhi
al-Nawawiy, op. cit., hal.
244 dan Abu Daud Sulaiman Ibnu al- Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit.,
hal. 123.
[4] Menurut Ibnu Taimiyah, mencuci vagina
bagian dalam dibolehkan. Tetapi ini bukanlah hal yang diwajibkan. Lebih lanjut
lih. Ibnu Taimiyyah, Fatâwâ al-Nisâ’, Dâru al-Da’wah al-Islâmiyah, Kairo,
hal. 15.
[6] Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal.
382.
[7] Abu Daud Sulaiman Ibnu al- Asy’ats
al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 129, Muhammad Abdur Rahman Ibnu
Abdur Rahim al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 360, Sunan al-Nasâiy bi
Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm
al-Sindiy, op. cit., hal. 150 dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad
Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 191.
Post A Comment
Tidak ada komentar :