Maqâshid al-Syarî‘ah dalam Perspektif Ibnu ‘Asyur
Muhammad Taufan Khasani
Pendahuluan
Syariat Islam yang
ditujukan untuk seluruh manusia di muka bumi hingga waktu yang tak terbatas
mempunyai beberapa konsekuensi penting yang tidak bisa dipungkiri lagi
keharusannya. Salah satunya adalah syariat harus sesuai dengan fitrah manusia.
Secara alami, jiwa manusia cenderung kepada segala bentuk kemudahan,
kelapangan, kenikmatan dan hal-hal lain yang menyenangkan. Pada saat yang sama,
jiwa-jiwa itu akan menghindari bentuk-bentuk kesulitan, kesempitan,
kesengsaraan dan hal-hal lain yang membuatnya menderita. Pun demikian, manusia
mempunyai banyak keterbatasan, sehingga tidak bisa memastikan apa yang baik dan
buruk bagi dirinya. Dalam titik inilah syariat Islam menarik untuk diposisikan.
Kesesuaiannya dengan fitrah manusia, membuatnya mudah untuk dipahami sekaligus
diterapkan dalam kehidupan umat manusia. Hanya saja pada gilirannya, banyaknya cara pandang yang digunakan
melahirkan perbedaan pemahaman yang terkadang tidak cukup beralasan. Dan
tampaknya Ibnu ‘Asyur menjadi salah satu dari mereka yang sangat menyesalkan
itu. Baginya, diperlukan rambu-rambu khusus yang tidak diragukan lagi
kebenarannya untuk dijadikan pedoman umum dalam rangka menghilangkan, atau
paling tidak meminimalisir perselisihan yang tidak cukup beralasan. Tawaran itu
beliau namakan maqhâsid al-syarî‘ah.
Bagi Ibnu ‘Asyur,
proyek besar ini bukan sekedar pemenuhan hasrat intelektualnya saja. Lebih dari
itu, yang beliau inginkan adalah bagaimana membangun sebuah cara pandang yang
komprehensif terhadap ajaran Islam agar menghasilkan kesepakatan-kesepakatan
intelektual yang akan berkorelasi erat dengan penyelesaian problematika
kekinian yang sedang dihadapi umat Islam. Kesepakatan-kesepakatan itu pulalah
yang akan menunjukkan kepada dunia, bahwa ajaran Islam memang ditujukan kepada
seluruh manusia persis seperti tujuan awal ketika diturunkan.
Keterbatasan
kemampuan dan tempat, memaksa penulis untuk tidak membahas semua pandangan
beliau dalam masalah maqâshid ini, tapi hanya membatasinya dalam empat
bahasan saja yaitu: pengertian, prinsip umum, metode penetapan dan konsep
maslahat dalam maqhâsid al-syarî‘ah.
*Berawal dari golongan pemula, pangkatnya naik ke golongan dua pada tahun
1899. Empat tahun berikutnya, setelah mengikuti seleksi kenaikan pangkat,
beliau resmi menjadi guru pada golongan satu. Semasa itulah beliau banyak
mengkritisi almamaternya yang memang sedang mengalami kemunduran.
[1]Sya‘ban
Muhammad Ismail, al-Tajdîd fî Ushûli’l Fiqh; Dirâsah Washfiyyah Naqdiyyah,
Darussalam, Kairo, cet. I, 2000, hal. 41
Post A Comment
Tidak ada komentar :