Majalah Sinar Edisi 53
Ajaran Islam telah paripurna sepeninggal Rasulullah Saw. Beliau telah
mengejawantahkan nilai-nilai Ketuhanan dalam ranah kehidupan. Risalah yang
diembannya mampu menjawab tantangan zaman pada masa itu. Oleh karena itu,
ajaran Islam yang disampaikan oleh duta besar terakhir utusan Allah tersebut
sangat sinkron untuk membenahi kondisi dan permasalahan pada zaman jahiliyah.
Rasulullah Saw. tidak hanya berusaha menyelesaikan permasalahan pada
zamannya saja, namun beliau juga meletakkan pondasi dasar untuk umat Islam
sepeninggalnya. Pondasi ini lah yang menjadi benteng para ulama untuk menjawab
tantangan zaman. Nas-nas keagamaan yang terbatas tentunya tidak dapat
dijadikan patokan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang
tidak terbatas. Pemaksaan terhadap nas-nas yang kemudian diaplikasikan terhadap
permasalahan yang dihadapi belum tentu menjadi solusi. Bahkan ironinya tidak
memberikan maslahat bagi manusia karena sikap eksklusifnya tersebut. Teks
keagamaan tidak dapat diaplikasikan dengan berkutat pada ranah lafadz yang
tersurat di dalam al-Quran dan as-Sunah saja. Namun, terkandung makna yang
tersirat, yang mana justru lebih banyak memberikan maslahat bagi manusia.
Di era globalisasi ini banyak sekali permasalahan-permasalahan baru yang tidak
ditemukan dalam Quran dan Sunah yang menuntut sebuah hukum. Tentunya
perbedaan teritorial, letak geografis, budaya dan kondisi antara satu daerah dengan
daerah yang lain menuntut hukum yang berbeda-beda. Lebih khususnya lagi ,
antar personal juga memiliki kondisi berbeda yang memerlukan hukum baik untuk
menjustifikasi perbuatannya atau pun menegasikannya. Fatwa yang dikeluarkan
oleh para ulama diharapkan mampu menjawab dan memberikan solusi demi
kemaslahatan umat yang multi dimensi dan kultural. Imam Ibnul Qayim dalam
kitabnya I‟lâmul Muwaqi‟în menjelaskan bahwa fatwa berubah tergantung pada
perubahan zaman, tempat,adat, dan juga kondisi. Hal tersebut juga senada dengan
ungkapan Syekh Yusuf Qaradhawi dalam Mûjibât Taghyîr Al-Fatwâ tentang
perubahan fatwa untuk kemaslahatan umat melihat dari sisi zaman, tempat, adat
dan keadaan.
Fatwa merupakan produk agama yang menjaga identitas Islam sebagai agama
yang shâlih likulli makân wa zamân. Namun, bagaimana jika wajah Islam dicoreng
oleh monopolisasi fatwa yang digunakan untuk kepentingan kelompok maupun
golongan tertentu? Oleh karena itu para ulama telak menetapkan kualifikasi mufti
agar fatwa yang dihasilkan terlepas dari belenggu-belenggu kepentingan. Semoga
rubrikasi pada edisi kali ini dapat menjadi pijakan untuk memahami fatwa secara
lebih mendalam, termasuk urgensitas dan posisi fatwa
mengejawantahkan nilai-nilai Ketuhanan dalam ranah kehidupan. Risalah yang
diembannya mampu menjawab tantangan zaman pada masa itu. Oleh karena itu,
ajaran Islam yang disampaikan oleh duta besar terakhir utusan Allah tersebut
sangat sinkron untuk membenahi kondisi dan permasalahan pada zaman jahiliyah.
Rasulullah Saw. tidak hanya berusaha menyelesaikan permasalahan pada
zamannya saja, namun beliau juga meletakkan pondasi dasar untuk umat Islam
sepeninggalnya. Pondasi ini lah yang menjadi benteng para ulama untuk menjawab
tantangan zaman. Nas-nas keagamaan yang terbatas tentunya tidak dapat
dijadikan patokan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang
tidak terbatas. Pemaksaan terhadap nas-nas yang kemudian diaplikasikan terhadap
permasalahan yang dihadapi belum tentu menjadi solusi. Bahkan ironinya tidak
memberikan maslahat bagi manusia karena sikap eksklusifnya tersebut. Teks
keagamaan tidak dapat diaplikasikan dengan berkutat pada ranah lafadz yang
tersurat di dalam al-Quran dan as-Sunah saja. Namun, terkandung makna yang
tersirat, yang mana justru lebih banyak memberikan maslahat bagi manusia.
Di era globalisasi ini banyak sekali permasalahan-permasalahan baru yang tidak
ditemukan dalam Quran dan Sunah yang menuntut sebuah hukum. Tentunya
perbedaan teritorial, letak geografis, budaya dan kondisi antara satu daerah dengan
daerah yang lain menuntut hukum yang berbeda-beda. Lebih khususnya lagi ,
antar personal juga memiliki kondisi berbeda yang memerlukan hukum baik untuk
menjustifikasi perbuatannya atau pun menegasikannya. Fatwa yang dikeluarkan
oleh para ulama diharapkan mampu menjawab dan memberikan solusi demi
kemaslahatan umat yang multi dimensi dan kultural. Imam Ibnul Qayim dalam
kitabnya I‟lâmul Muwaqi‟în menjelaskan bahwa fatwa berubah tergantung pada
perubahan zaman, tempat,adat, dan juga kondisi. Hal tersebut juga senada dengan
ungkapan Syekh Yusuf Qaradhawi dalam Mûjibât Taghyîr Al-Fatwâ tentang
perubahan fatwa untuk kemaslahatan umat melihat dari sisi zaman, tempat, adat
dan keadaan.
Fatwa merupakan produk agama yang menjaga identitas Islam sebagai agama
yang shâlih likulli makân wa zamân. Namun, bagaimana jika wajah Islam dicoreng
oleh monopolisasi fatwa yang digunakan untuk kepentingan kelompok maupun
golongan tertentu? Oleh karena itu para ulama telak menetapkan kualifikasi mufti
agar fatwa yang dihasilkan terlepas dari belenggu-belenggu kepentingan. Semoga
rubrikasi pada edisi kali ini dapat menjadi pijakan untuk memahami fatwa secara
lebih mendalam, termasuk urgensitas dan posisi fatwa
Post A Comment
Tidak ada komentar :