Memilih Calon Istri Salehah
a. Disunatkan menikahi
perempuan yang taat beragama serta berakhlak karimah.[1] Sabda Nabi Saw.: “Wanita
dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
karena agama. Pilihlah yang taat beragama agar engkau selamat[2]”.
(HR. Jamaah kecuali Turmudzi)[3]
Begitu juga bagi wanita dianjurkan memilih
calon suami yang taat beragama, sebagaimana diriwayatkan seorang laki-laki
bertanya pada Hasan bin Ali: “Saya mempunyai seorang gadis. Menurut anda
pada siapa saya menikahkannya? Hasan menjawab: nikahkan dia dengan laki-laki
(taat) beragama. Jika dia (laki-laki) mencintainya, maka dia akan
memuliakannya. Jika dia membencinya, dia tidak akan menzhaliminya”[4] Sabda Nabi Saw.: “Jika datang pada kalian
seseorang yang engkau semua ridai agama dan perangainya melamar (putri)mu, maka
kawinkahlah. Jika tidak, (hal itu) akan menimbulkan fitnah di muka bumi serta
kerusakan yang besar”. (HR. Turmudzi)[5]
b. Disunatkan menikahi
perawan, kecuali jika ada alasan lain untuk lebih mengutamakan janda, seperti
berniat mengurus anak-anak yatim.[6] Hadis Nabi dari Jabir Ra.
ketika dia telah menikah, Rasulullah berkata:
“Apakah kamu sudah
menikah wahai Jabir? Jabir berkata: “saya berkata ‘ya’. Kemudian Nabi bertanya:
(dengan) gadis atau janda?” Jabir menjawab: “saya berkata ‘janda’. Kemduan Nabi
berkata: “kenapa kamu tidak (menikahi)
gadis, kamu bersenda gurau dengannya dan diapun bersenda gurau denganmu”. (HR. Jamaah)[7]
Menurut al-Ghazali ada tiga faidah menikahi
perawan. Pertama, mencintai dan menyayangi suaminya. Secara fitrah
manusia akan betah dengan yang pertama kali mendampinginya. Sedang janda
terkadang sebaliknya. Kedua, lebih dicintai suami, karena gadis akan
takut dan menjauhi laki-laki selain suaminya. Terakhir, jika istrinya
seorang gadis, dia tidak akan mengkhianati suaminya.[8] Begitu juga bagi wanita
disunatkan menikah dengan jejaka.[9]
c. Keturunan banyak anak (walûdah).
Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi Saw. melarang keras membujang (tabattul)
dan menikahi wanita mandul. Diriwayatkan dari Ma’qal bin Yasar dia berkata,
seorang laki-laki datang pada Rasulullah dia berkata:
“Sesungguhnya aku
menemukan seorang perempuan terpandang tetapi dia mandul Apakah saya boleh
menikahinya? Rasulullah
melarangnnya. Kemudian lelaki itu datang lagi sampai tiga kali dan Nabi tetap
melarangnnya. Kemudian Nabi berkata” Nikahilah wanita yang dicintai,
keturunan banyak anak karena sesungguhnya umatku banyak”. (HR. Abu Dawud
dan Nasai)[10]
d. Memilih calon istri yang
cantik. Karena dengan itu lebih menundukkan pandangan, lebih tenang bagi jiwa
dan lebih dicintai. Di sinilah terlihat hikmah disyariatkannya melihat wanita
yang mau dinikahi sebelum dilamar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ketika Rasul
ditanya tentang wanita yang paling baik, Rasul menjawab:
“(Wanita yang paling baik) dia adalah yang
membahagiakan suaminya bila dilihat, mentaati suaminya bila diperintah serta
tidak mengkhianati dirinya dan tidak juga pada harta suaminya dengan apa yang
dibenci suaminya”. (HR. Nasai)[11]
Ketika khâthib menikahi makhthûbah-nya
karena cantik, ini bukan sebuah cela. Cela ada ketika mendahulukan cantik dari
agama dan akhlak. Menurut Syafi'iyah menikahi wanita yang sangat cantik,
makruh hukumnya, karena dia akan sombong dengan kecantikannya.[12]
e. Berakal, karena tujuan
nikah adalah hidup bersama. Hal ini tidak akan berjalan dengan baik kecuali
pendamping hidupnya berakal. Selain itu, jika istrinya kurang akalnya maka akan
berpengaruh terhadap keturunannya.[13]
f.
Dari keturunan[14] serta lingkungan keluarga
yang baik.[15]
Karena seorang istri akan mendidik dan mengasuh anaknya.[16] Ada pribahasa “anakmu
bukan anakmu, tapi anak zaman dan lingkungannya”
g. Bukan kerabat dekat. Pertama,
pernikahan antara kerabat dekat akan melahirkan generasi-generasi yang
lemah, baik secara fisik maupun psikis. Kedua, pernikahan tidak bisa
dijamin kelanggengannya. Hal ini akan menimbulkan terputusnya silaturahmi.[17]
Menurut Mahmud Mahdi, semua yang dijelaskan
di atas berlaku juga bagi wanita.[18]
h. Yang maharnya murah.
Nabi bersabda: “Sebaik-baiknya wanita adalah yang paling cantik wajahnya
serta paling murah maharnya”. (HR. Ibnu Hiban)[19]
i.
Tidak lebih dari satu jika dengan itu sudah mampu menjaga
kehormatan. Karena poligami akan mendorong seorang suami pada hal-hal yang
diharamkan, seperti tidak berbuat adil.[20] Firman Allah:
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. al-Nisâ`: 3)
Hadis Nabi: “Barang siapa mempunyai dua
istri dan ia condong terhadap salah satunya, maka ia (akan) datang pada hari
kiamat sedang pundaknya condong”. (HR.
al-Khamsah)
[1] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmi al-Dîn, vol. II, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo,
hal. 57.
[2] Fazhfar bizdâti al-dîn taribat
yadâk maksudnya beruntunglah kamu dengan wanita yang taat beragama dan
janganlah berpaling melihat harta (memilih wanita yang kaya) Lih. Mahmud Mahdi
al-Istanbuli, Tuhfatu’l ‘Arûs au al-Zawâj al-Islâmiy al-Sa’îd, Dâru’l
Ma’ârif, Riyadh, cet. I, 2006. footnote hal. 46.
[3] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din
Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 468. lih juga Ahmad bin Ali bin Hajar
Al-Asqalani, Fathu’l Bâriy bi Syarhi Sahîhi’l
Bukhâriy, vol. IX, Dâru’l Hâdîts, Kairo, 2004, hal. 155, Sahih
Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 307-308, Abu Daud
Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani Al-Azdari, op. cit., hal. 874, Sunanu
al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l
Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 370, dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad
Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 597.
[4] Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal.
311 dan Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 83.
[5] Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri,
op. cit., hal. 205.
[6]Abu Malik Kamal Ibnu Sayid Salim, op.
cit., hal. 379.
[7] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani,
op. cit., hal. 140, Sahih Muslim bi Syarhi al-
Nawawiy, op. cit., hal. 309 dan 190, Abu Daud Sulaiman Ibnu
al-Asy’ats al-Sajastani Al-Azdari, op. cit., hal. 874, Sunanu
al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l
Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 370, Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim
al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 225, dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad
Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 598.
[8] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op. cit.,
hal. 61.
[9] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal.
316.
[10] Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani
al-Azdari, op. cit., hal. 875 dan Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l
Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op.
cit., hal. 374.
[11] Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh
Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, Ibid., hal.
377 dan Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal.
468-469.
[12] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 317.
[13] Ibid., hal.
317 dan Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal.
469. Yang dimaksud berakal di sini adalah lebih dari akal yang menjadi objek
taklif syariat.
[14] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah,
ibid., hal. 469 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, Ibid., hal. 316.
[15] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6496
[16] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op. cit.,
hal. 61.
[17] Ibid., hal. 62. lih. juga
Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 469
dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 316.
[18] Mahmud Mahdi al-Istanbuli, op.
cit., hal. 43
[19] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, op. cit., hal. 60 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op.
cit., hal. 317
[20] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6497
Labels
Fikih Wanita
Post A Comment
Tidak ada komentar :