Khithbah (Melamar)
Menurut bahasa, khithbah berasal dari khathaba yang
berarti meminta, memohon, melamar dan meminang. Khithbah dalam
pernikahan berarti permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk
menikah dengannya.[1]
Sedang khithbah menurut istilah, para ulama
berbeda pendapat dalam hal ini, meskipun pada hakikatnya sama. Menurut Malikiyah,
khithbah adalah permintaan menikahi wanita. Menurut Syafi'iyah,
ia adalah permohonan pelamar untuk menikahi wanita yang dilamar.[2]
Wahbah Juhaili mendefinisikan khithbah sebagai bentuk keinginan
laki-laki untuk menikahi wanita tertentu serta pemberitahuan hal tersebut pada
walinya, baik secara langsung atau dengan perantaraan keluarganya (laki-laki).[3]
Berangkat dari definisi khitbah di atas, ketika makhtûbah
dan keluarganya sepakat, maka ketika itu telah terjadi khithbah yang nantinya akan memberikan
konsekuensi hukum tertentu.[4]
Dengan demikian, khitbah bukan sebuah akad nikah yang dapat menghalalkan
apa yang diharamkan. Ia hanya sebagai sebuah ‘perjanjian untuk akad nikah’,
bukan ‘akad nikah’.[5]
- Macam-Macam Khithbah[6]
Islam mengenal dua macam khithbah. Pertama, secara
langsung (tashrih[7]),
seperti “aku ingin menikah denganmu” atau “saya meminta anak bapak untuk
dinikahi”. Kedua, tidak langsung (ta’ridh[8] atau talmîh,) seperti “kamu sudah cukup umur untuk menikah” atau “saya sedang mencari
gadis sepertimu” dan kalimat-kalimat yang semakna dengan ini.[9]
Begitu juga dengan memberi hadiah.[10]
- Hukum Khitbah
Menurut Abdul Karim Zaidan,[11]
hukum khithbah yang disepakati para ulama adalah sunat. Ini
sejalan dengan pendapat yang dilontarkan Imam Syafi'i,[12]
mengingat hikmah yang terkandung dalam khithbah sangat besar dan sangat
membantu bagi kelangsungan rumah tangga nantinya.[13]
- Dalil Pensyariatan Khithbah
1.
Al-Qur’an. Firman Allah Swt.:
"Dan tidak
ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. al-Baqarah:
235)
2.
Hadis Jabir yang diriwayatkan Abu Daud di atas.
3.
Ijmak para ulama[14]
[1] Jamaluddin Muhammad Ibnu Makram
Ibnu Mandzur, Lisânu’l ‘Arab, vol. V, Dâr Shâdir, Beirut, cet. I, 2000,
hal. 98. lih juga Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 330.
[2] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, Ibid., hal.
330.
[3] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6492.
lih juga Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 66.
[4] Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili, ibid., hal. 6492.
[5] Ibid., hal. 6493. lih juga Muhammad Mutawali
al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 66.
[6] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, ibid.,
hal. 6492. lih juga Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, Tuhfatu’l ‘Arûs, Dâru’l
Fajr li al-Turâts, Kairo, cet. I, 2004, hal. 80.
[7] Tashrih adalah kalimat yang jelas dan pasti menunjukkan
keinginan untuk menikah. Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal.
331. lih juga Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal.
526.
[8] Ta’ridh adalah kalimat yang
menunjukkan keinginan untuk menikah atau sebaliknya. Muhammad bin Muhammad
al-Syarbini, ibid., hal. 331 dan Muhammad bin Ahmad al-Anshari
Al-Qurthubi, al-Jâmi’u li Ahkâmi’l Qur’ân, vol. II, Dâru’l
Hâdîts, Kairo, 2002, hal. 160.
[9] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6492.
[10] Muhammad bin Ahmad al-Anshari
Al-Qurthubi, op. cit., hal. 161. dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal.
312.
[11] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 58.
[12] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal.
331.
[13] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 58.
[14] Dr. Su’ad Ibrahim
Shaleh, Adwâ` ‘alâ Nizhâmi’l Usrah fî’l Islâm, Dâr al-Dhiyâ`, Kairo,
1989, cet. III, hal. 50.
Labels
Fikih Wanita
Post A Comment
Tidak ada komentar :