PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

METODOLOGI ISTIQRÂ’ (OBSERVASI INDUKTIF)

I.  Iftitâh

METODOLOGI ISTIQRÂ’ (OBSERVASI INDUKTIF)


Dalam pembacaan setiap fenomena sosial yang terjadi di lintasan waktu dan tempat yang berbeda, akan selalu ada kebingungan dan ketidakmengertian yang merajai pemikiran-pemikiran manusia. Apalagi ketika semua itu dikaitkan dengan landasan-landasan hukum syari’ah, maka problematika umat tidak akan pernah habis untuk dikaji dan digali hukumnya. Jika disetarakan, keterbatasan wilayah teks yang menjadi sumber hukum utama dan wilayah konteks yang bebas limit maka akan menghasilkan perbandingan yang timpang.

Sebagai solusi, ilmu ushul fikih didedikasikan sebagai senjata yang memiliki berbagai piranti untuk itu. Dalam pembacaan sumber-sumber hukum Islam yang berupa teks-teks suci al-Qur’an, hadis Rasulullah Saw., kesepakatan para sahabat dan lain sebagainya baik itu yang disepakati atau tidak, dikenal sebuah istilah metode Istiqrâ’. Dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam akan ada dua ilmuwan muslim yang memperkenalkan metode Istiqrâ’ dalam displin ilmu masing-masing yaitu al-Syathibi dan Ibnu Khaldun. Masing-masing dari mereka dengan metode Istiqrâ’ menghasilkan adikarya yang monumental, al-Syathibi dengan “al-Muwâfaqât” dan Ibnu Khaldun dengan “Mukaddimah”.

Tulisan ini akan mengulas metode Istiqrâ’ dalam teori ilmu ushul fikih. Dengan diawali dari definisi, cara penggunaan, klasifikasi, serta beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Istiqrâ’ .      

II.    Definisi Istiqrâ’

Secara etimologi Istiqrâ’ berasal dari kata istaqra’a (إستقرء) yang merupakan derivasi dari kata qara’a (قرأ) yang bermakna mengumpulkan atau menggabungkan antara satu sama lain. Imbuhan huruf sin berfungsi sebagai isyarat dari permintaan.[1] Sedangkan dalam kamus “al-Mishbâh al-Munîr”, Istiqrâ’u’l Asyyâ’i" (إستقراء الأشياء) adalah mempelajari bagian-bagiannya untuk mengetahui kondisi serta keistimewaannya.[2]

Secara terminologi dalam ushul fikih, para ulama ushul mendefinisikan Istiqrâ’ dengan redaksi yang berbeda-beda. Meskipun keberagaman tersebut memiliki makna yang hampir sama, karena konseptualnya mengandung substansi yang sama. Al-Jurjani dalam “al-Ta‘rîfât” mengartikulasikan Istiqrâ’ sebagai hukum universal yang berasal dari kesimpulan-kesimpulan hukum mayoritas partikularnya. Dinamakan Istiqrâ’ karena langkah awal yang harus ditempuh dalam metode ini adalah dengan mempelajari dan meneliti permasalahan-permasalahan yang kecil satu persatu atau cabang-cabang yang partikular terlebih dahulu, setalah itu dari data-data tersebut barulah mengambil kesimpulan umum.[3] Kurang lebih jika disimpulkan Istiqrâ’ adalah mempelajari cabang-cabang dari sebuah permasalahan yang universal secara terperinci untuk menarik sebuah konklusi hukum yang universal, lalu barulah hukum tersebut ditransformasikan atau disesuaikan dengan objek yang sedang dipermasalahkan dan dicari hukumnya.[4]

Dalam pemahaman para ilmuwan logika, istiqrâ’ tak lain adalah sebuah antonim dari qiyâs (analogi). Keduanya-duanya berasal dari sebuah metode analisa yang kita kenal sebagai istidlâl (metode demonstratif). Jika penarikan kesimpulan dari keadaan khusus (al-juz’iy) kepada keadaan umum (al-kulliy) maka ia disebut Istiqrâ’. Jika penarikan kesimpulan hukum dari umum (al-kulliy) ke khusus (al-juz’iy) maka ia adalah qiyâs. Sedangkan pemindahan hukum antara cabang (khusus) ke cabang yang lain maka ia adalah qiyâs ushûliy. Namun, jika transformasi hukum tersebut dari keadaan umum kepada keadaan umum yang lain maka ia dinamakan qiyâs tamtsîliy.[5]

Pada tataran praktisnya, Istiqrâ’ ala ulama ushul mengandung tiga komponen dasar yang mendukung suksesi metode tersebut; hukum universal (hukm ‘alâ al-kulliy), hukum partikular (hukm ‘ala al-juz’iy), bentuk atau objek permasalahan (shûrah al-nazâ‘).

Caranya yaitu dengan menarik sebuah kesimpulan dari penelitian empiris terhadap hukum-hukum keadaan partikular (cabang) yang bermuara menjadi satu kesatuan hukum universal. Konklusi hukum inilah yang akan diterapkan pada objek permasalahan, yang tentunya masih memiliki keterkaitan dengan hal-hal partikular tadi.[6]

Ada dua sistem dalam penggunaan Istiqrâ’ sebagai perangkat inferensi hukum (istinbâth al-ahkâm); mentransformasikan secara langsung hukum universal terhadap kasus yang menjadi objek permasalahan atau mengkonfirmasikan terlebih dahulu korelasi antara objek permasalahan dengan hukum universal. Hal ini dikarenakan kasus yang menjadi objek permasalahan harus memiliki keterkaitan atau keserupaan dengan kasus-kasus cabang yang ada dalam cakupan hukum universal tersebut.[7]

[1] Muhammad Abdurrahman al-Mar’asyli, Ikhtilâfu’l Ijtihâd wa Taghayyurihi wa Atsaru Dzalika fiy al-Futya, Majd, Beirut, hal. 340.

[2] Al-Fayumi, Al-Mishbâh al-Munîr, Dâru’l Fikr, Beirut, hal. 520.

[3] Ali bin Muhammad al-Sayid al-Syarif Al-Jurjani, Kitâb al-Ta‘rîfât, Dâru’l Irsyâd, hal. 32.

[4] Lihat kembali definisi Istiqrâ’ yang dipakai Wahbah Zuhaili ataupun ulama-ulama salaf dalam literatur-literatur ushul fikih klasik.

[5] Ibnu al-Najar, Syarhu’l Kaukab al-Munîr, al-‘Ubeikan, Riyadh-Saudi Arabia, vol 4, hal. 421.

[6] Untuk lebih jelas lihat lampiran di halaman terakhir makalah ini.

[7] Hamdi Subhi Thaha, Al-Ilmam bi’l Mukhtalaf fîh min Ushûli’l Ahkâm, Al-Azhar University Press, Kairo, 2006 M, hal. 118.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]