Tangis Matahari
Tangis Matahari
Henikulsum
(Anggota Lingkaran Sastra Papyrus PCIM Mesir)
Bocah manis itu menyusup di pangkuan ibunya, ketika telunjuk ayahnya ditempelkan ke bibir mungilnya. Seketika tangisnya reda. Ia sebenarnya belum begitu mengerti. Hanya tatapan tanya polosnya ketika tiba-tiba wajah ayahnya dipenuhi keringat. Ia pun belum mengerti kenapa tiba-tiba jantung ibunya berdebar, detaknya tak beraturan, setiap kali terdengar suara lantang berteriak dengan intonasi ancaman, kemudian disusul suara ringikan kuda.
Lama-kelamaan suaranya melemah, menjauh dan hilang bersamaan dengan detak jantung ibunya yang kembali normal. Beberapa saat kemudian, bapak setengah baya itu mengusap keringatnya. Ada kelegaan dalam setiap hirup nafasnya.
Anne, bocah kecil itu menatap ayahnya. Senyum polosnya seakan berkata ‘akupun lega, ayah, meski aku belum mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi’.
“Dari pagi tadi aku tidak melihat Henry. Di mana dia, Mery?” Ibu dari dua orang anak itu tersenyum.
“Dia semalaman bermalam di rumah bibinya, suamiku” jawab Mery tanpa menoleh suaminya.
“Oo, kalau begitu, aku pergi dulu, Mery. Jaga anak-anak! Aku yakin kamu tahu apa yang mesti dilakukan kalau para prajurit itu menanyakanku. Jangan biarkan tangan kasar mereka menyentuh anak-anak kita!” Lelaki baya itu memegang erat tangan istrinya. Sorot matanya tajam, menekuri lantai rumah, sudut demi sudut dan kemudian terpejam. Ada kebencian yang mendalam dalam roman mukanya. Entah pada siapa dan mengapa.
Sambil tersenyum Mery mengangguk. Ada kecemasam tersembunyi di balik senyumnya. Senyum manisnya tiba-tiba terasa hambar ia rasakan. Tatapannya lurus menelusuri gurat-gurat wajah suaminya. Entah kenapa, Mery merasakan hal yang aneh berkecamuk dalam jiwanya. Ada perasaan berat melepas suaminya. Kalaulah bukan karena tugas, mungkin ia hanya perlu satu kalimat sebagai ungkapan keberatan ditinggal suami tercinta.
“Siapa yang akan menjaga aku dan anak-anak kalau kau pergi, suamiku?”
Tapi tidak. Mery bukan seorang Istri yang cengeng dan egois. Ia tahu tugas mulia suaminya. Melepas kepergiannya adalah sebuah kemuliaan dan kehormatan bagi keluarganya. Lagi-lagi hanya tatapan polosnya yang mampu mewakili rasa penasaran Anne kenapa ayahnya berkata demikian. Kenapa pula ibunya begitu cemas dengan ayah. Bukankah selama ini ayahnya sering pulang pergi tak menentu. Kadang pergi pagi-pagi buta, dan baru pulang pagi-pagi tiga hari kemudian, atau kadang baru pulang seminggu kemudian, itupun datang dan pergi dengan sembunyi-sembunyi sebelum aku bangkit dari pembaringan. Sebenarnya Anne ingin bertanya ini dan itu, mengapa dan kenapa, tapi bibir mungilnya tak mampu membantunya mengucapkan sederet kalimat tanyanya. Hanya tangisnya yang ia tunjukkan ketika ayahnya menghilang di balik pintu belakang. Aku tersenyum getir mendengar tangisnya. Tangis manis yang suci dan terlalu dini untuk dipertaruhkan bagi kepergian perjuangan sang ayah tercinta.
***
Lima tahun kemudian kalimat tanya itu terucap dari bibir Anne. “Kak Henry, kenapa kita mesti terus sembunyi?” Henry hanya tersenyum.
“Nanti Anne pasti tahu jawabannya. Sekarang sambil menunggu Ibu menyiapkan makanan, Anne ulang lagi apa yang tadi kakak lafalkan, ya!” bujuk Henry kemudian.
Anne mengangguk. Sebenarnya ia ingin memaksa kakaknya menjawab semua tanyanya, tapi ia tak berani. Kakaknya terlalu baik untuk dipaksa. Walau umurnya hanya terpaut dua tahun, tapi Anne sangat menghormati Henry. Setelah kepergian ayahnya empat setengah tahun yang lalu, Henry adalah kakak sekaligus ayah baginya. Ayahnya meninggal akibat siksaan berat kerajaan atas tuduhan heresy*, sebagai pengikut al-Masih alias Yesus. Hanya derai isak tangis ibu yang dulu Anne lihat, setelah salah satu adik ibunya mengabarkan kematian ayahnya.
Mulai detik itu, ia akan menjalani hidup tanpa seorang ayah. Kini ia tak bisa melihat lagi ayahnya melafalkan sesuatu ke telinga kakaknya. Ia tidak bisa mencuri dengar lagi semua penjelasan ayah tentang Yesus. Ia hanya tahu tentang kelahirannya di Bethlehem lima mil dari selatan Arshelen. Pada masa kekuasaan Yahudi berada di tangan Herodes. Lalu tentang penangkapanya, ketika ia mengadakan perjamuan terakhir atau perjamuan paskah dengan murid-muridnya, dan sesudah itu dia pergi ke Taman Getsemane. Di sana dia ditangkap serdadu yang dipimpin oleh Yudas Iskariot pada masa kekuasaan Pontius Pilatus. Oh, ya, Anne hampir lupa. Ayah bilang sebenarnya yang ditangkap dan disalib itu bukan al-Masih, tapi murid al-Masih, Yudas yang Tuhan serupakan dengan al-Masih. Itu terjadi ketika al-Masih mengadakan perjamuan terakhir bersama para muridnya. Dan tunggu satu lagi, ketika prajurit Romawi ingin menangkap al-Masih, dia sebenarnya sudah tidak ada di ruangan perjamuan itu. Terus untuk kabar selain itu?
Sayang sekali telinga mungil Anne belum mampu menangkapnya dengan jelas. Semua perkataan ayahnya masih terlalu berat menembus gendang telinganya. Tapi meski demikian, Anne sangat bangga. Dengan senang hati kakaknya, Henry selalu meluangkan waktu baginya. Henry bercerita tentang satu dan banyak hal, termasuk cerita al-Masih. Dari Henry, Anne tahu bahwa penangkapan Yesus adalah buah dari pengkhianatan Yudas Iskariot.
“Jadi Yesus itu utusan Tuhan, ya Kak?” Henry hanya mengangguk.
“Anne, ngomongnya jangan terlalu keras!” Henry berbisik mengingatkan Anne.
Tiba-tiba ibunya berteriak. “Henry, Anne, cepat kemasi barang-barang kalian!” perintah ibu tegas.
Tanpa ba-bi-bu Henry langsung membereskan lembaran-lembaran yang berserakan. Meski belum mengerti apa yang terjadi, dengan sigap Anne membantu ibu mengemasi semua baju dan barang lainnya. Henry sangat paham nyawa mereka selalu terancam. Ancaman kebencian dan siksaan kini bukan hanya dari kalangan Yahudi Farisi ataupun Saduki, namun mulai merembet ke kekaisaran Romawi. Henry tahu persis apa yang bakal mereka terima dari kerajaan, kalau kerajaan mengetahui mereka termasuk pengikut setia Yesus. Dan entah apa lagi yang akan mereka terima, kalau ternyata dirinya juga diketahui menyimpan warisan naskah Gospel atau Euangelion dari ayahnya. Henry sangat hafal akibat dari semua yang selama ini ia dan keluarganya yakini. Keyakinan itulah yang menyebabkan para tetangganya menjerit kesakitan dan akhirnya meregang nyawa, dijemput kematian yang mengenaskan. Henry pun sangat mengerti ketika ibunya menawarkan mereka untuk menyingkir dari Yerusalem, tanah kelahirannya ke Antokia, menyusul para pengikut Yesus yang telah hijrah ke sana lebih dahulu.
Lanjutan Edisi Kedua : Tangisan Matahari (2)
***
Post A Comment
Tidak ada komentar :