Wanita Yang Boleh untuk Dilamar
Pada bahasan ini, kaidah yang dipakai adalah ‘setiap wanita yang boleh dinikahi, maka dia boleh di-khithbah, begitu juga sebaliknya’. Dengan demikian, ada dua syarat yang harus dipenuhi ketika meng-khitbah:
1. Makhthûbah bukan wanita yang dilarang menikahinya, baik itu karena sudah bersuami atau dia adalah wanita yang haram dinikahi selama-lamanya.[1]
Bagaimana dengan wanita yang sedang idah?
Wanita yang ada dalam masa idah boleh di-khithbah, dengan syarat tidak secara langsung (tashrîh).[2] Secara rinci, ada tiga macam wanita yang berada dalam masa idah[3]:
a. Tidak boleh di-khithbah sama sekali, baik dengan tashrîh ataupun dengan ta’rîdh, yaitu wanita yang ditalak rujuk,[4] karena secara hukum ia masih sebagai istri.[5]
b. Boleh di-khithbah dengan ta’rîdh, tapi tidak dengan tashrîh, yaitu wanita yang cerai ditinggal mati, fasakh karena istrinya ternyata saudarinya sesusu, karena li’ân[6] atau karena hal lain yang dapat menghalangi nikah. Pada kondisi seperti ini, khâthib hanya boleh melamarnya dengan ta’rîdh.[7] Firman Allah Swt.:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. al-Baqarah: 235)
Bagaimana dengan wanita yang ditalak tiga? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Hanabilah membolehkan ta’rîdh[8] Sedang Hanafiyah tidak membolehkan sama sekali, karena akad nikah pada waktu idah masih ada dari satu sisi, dengan bukti hukum dari nikah itu masih ada, yaitu idah. Keberadaan hukum dari satu sisi sama dengan keberadaannya dari semua sisi.[9]
Selain itu, tidak diperbolehkan mengikat janji untuk menikahinya setelah selesai idah.[10] Firman Allah.: “Dalam pada itu, janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (baik)”. (QS. al-Baqarah: 235)
Menurut Malikiyah, hal ini tidak diperbolehkan hanya jika perjanjian itu datang dari kedua belah pihak, sedang jika datang dari salah satunya, maka hukumnya makruh.[11] Menurut Abdul Karim Zaidan, meski demikian yang benar adalah haram dengan dalil ayat di atas.[12]
c. Bâin.[13] Dalam kondisi seperti ini, bekas suaminya boleh meng-khithbah-nya baik dengan tashrîh ataupun ta’rîdh. Apakah bagi selain bekas suaminya dibolehkan? Pada permasalahan ini para ulama berbeda pendapat. Syafi'iyah ada dua pendapat. Pertama, boleh dengan dalil keumuman ayat serta karena dia bâin, maka sama hukumnya dengan talak tiga. Kedua, tidak boleh karena suaminya lebih berhak dari yang lain, seperti halnya talak rujuk.[14]
Apabila hukum khithbah seperti yang dijelaskan di atas, bagaimana dengan hukum menerima atau menolaknya? Menurut Syafi'iyah dan Hanafiyah, hukumnya sama dengan khithbah. Jika melamarnya dengan tashrîh tidak boleh, begitu juga hukum menjawabnya. Bila dibolehkan, maka menjawabnyapun demikian. Begitu seterusnya.[15]
Di antara hikmah pengharaman khithbah pada waktu idah adalah karena hal itu akan menimbulkan permusuhan di antara khâthib, wanita dan bekas suaminya (kecuali yang ditinggal mati).[16]
2. Tidak sedang dalam lamaran orang lain.[17] Dalam kondisi ini, keadaan makhthûbah tidak akan terlepas dari tiga hal:[18]
a. Menerima lamaran dengan jelas (tashrih), ada kecenderungan serta mengizinkan walinya untuk menerima lamarannya. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki yang lain (selain khâthib) tidak diperbolehkan melamarnya, [19]bahkan diharamkan.[20] Begitu juga orang yang membantu laki-laki selain khâthib untuk melamarnya.[21] Dengan alasan hal itu menyakiti khâthib pertama dan akan menimbulkan permusuhan serta kebencian di antara keduanya. Selain itu, melamar di atas lamaran orang lain bertentangan dengan Hadis Nabi Saw.:
“Tidak melamar salah satu dari kamu di atas lamaran saudaranya sampai dia menikah atau meninggalkannya”. (HR. Bukhari dan Nasai)[22] Dalam riwayat yang lain sisebutkan: “… atau mengizinkan khâthib kedua (untuk meng-khitbah-nya)”. (HR. Bukhari dan Nasai)[23]
Zahir Hadis di atas menunjukkan larangan melamar di atas lamaran orang lain, bila khâthib pertama adalah orang Islam. Sedang bila khâthib pertama berlainan agama, maka boleh bagi selain khâthib pertama melamar wanita tersebut, karena di antara muslim dan non muslim tidak ada tali persaudaraan.[24] Begitu juga jika khâthib pertama orang fasik.[25]
Apabila selain khâthib pertama melamarnya, hingga akhirnya menikahinya, maka nikahnya tetap sah,[26] tapi berdosa.[27] Menurut Jumhur, hal ini mengingat larangan khithbah tidak termasuk syarat sah nikah.[28]
Bagaimana jika khithbah datang dari pihak wanita? Masalah ini sama dengan masalah di atas, kecuali jika makhtûb-nya berniat poligami.[29]
b. Menolak dan tidak ada kecenderungan sama sekali. Pada kondisi ini tidak ada larangan bagi selain khâthib untuk melamarnya.[30] Senada dengan apa yang dialami Fatimah binti Qais. Setelah ditalak tiga oleh suaminya, dia menemui Rasulullah serta menceritakan bahwa Mu’awiyah dan Abu Jaham melamarnya, Rasul berkata: ”Adapun Mu’awiyah dia adalah orang miskin, tidak punya apa-apa. Sedang Abu Jaham dia tidak meletakkan tongkat dari pundaknya. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid”. (HR. Bukhari dan Muslim) Setelah itu Rasulullah melamar Fatimah untuk Usamah. Pada kondisi ini, jika khithbah yang lain dilarang, maka akan merugikan pihak wanita. Tidak ada yang berhak melarang wanita untuk menikah kecuali dengan lamaran yang datang padannya[31] dan dia menerimanya. Kedatangan Fatimah pada Rasulullah merupakan indikasi bahwa Fatimah tidak menerima lamaran dari keduanya serta indikasi bahwa dia ingin meminta pendapat Rasul untuk menolak keduanya.[32]
c. Antara kondisi pertama dan kedua. Maksudnya, terlihat tanda-tanda menerima tapi tidak dengan terang-terangan (tashrîh). Menurut Hanabilah kondisi ini sama dengan kondisi pertama.[33] Sedang menurut Syafi'iyah sama dengan kondisi kedua.[34] Menurut Shan’ani, yang paling sahih adalah sama dengan kondisi kedua.
Bagaimana kalau pihak wanita masih dalam tahap musyawarah atau masih ragu; menerima atau menolak? Menurut Hanafiyah, lamaran khâthib kedua hukumnya makruh, dengan dalil keumumam Hadis pada kondisi pertama.[35] Sedang Jumhur membolehkannya, dengan dalil Hadis Fatimah binti Qais.[36] Menurut Wahbah Juhaili yang paling kuat adalah pendapat jumhur.[37] Meski demikian, diharapkan bagi khâthib kedua untuk menunggu keputusan yang jelas dari lamaran yang pertama.
[1] Ibid., hal. 62 dan Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsîru Ayâti’l Ahkâmi mina’l Qur’âni, vol. I, Dâr al-Shâbûnî, Kairo, 1999, hal. 266.
[2]Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524, Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Mausû’atu’l Um, vol. V, Maktabah Taufiqiyah, Kairo, hal. 69 dan 315, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6498, Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 313 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal.331
[3] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 524
[4] Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 266 dan Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 64.
[5] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 525 dan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6499.
[6] Li’ân adalah tuduhan zina seorang suami terhadap istrinya, sedang dia tidak mengaku tuduhan tersebut, begitu juga suaminya tidak menarik kembali tuduhannya. Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 72.
[7] Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 266-267, Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 63, Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524-525 dan Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, op. cit., hal. 160.
[8] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 524-525.
[9] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 65.
[10] Ibid., hal. 64
[11] Ibid., hal. 64.
[12] Ibid., hal. 64.
[13] Maksud di sini adalah ba`in shugrâ. Ia adalah wanita yang dalam idah tapi masih halal dinikahi bekas suaminya seperti mukhtali’ah dan bâin karena fasakh baik itu karena suaminya pergi entah ke mana atau karena dia jatuh miskin. Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 525
[14] Ibid., hal. 525 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 331
[15] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 65 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, ibid., hal. 332.
[16] Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 66.
[17] Ibid., hal. 66 dan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6500.
[18] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520 dan Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 67
[19] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 520, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 230 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 332
[20] Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 15, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6493 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 313
[21] Ibnu Taimiyah, Fatâwâ al-Nisâ’, Dâru al-Da’wah al-Islamiyah, Kairo, hal. 198.
[22] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 231, Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 214, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 382, Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 284 dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 600.
[23] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 229, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, ibid., hal. 212, Abu Daud Sulaiman Ibnu al- Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 890 dan Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, ibid., hal. 382
[24] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 229, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, ibid., hal. 215, Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamani al-Shan’ani, op. cit., hal. 155 dan Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, op. cit., hal.494.
[25] Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamani al-Shan’ani, ibid., hal. 155.
[26] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 523.
[27] Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 215.
[28] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, op. cit., hal. 493 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 314.
[29] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 333 dan lih. juga Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, op. cit., hal. 231.
[30] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520. Lih. juga, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 230 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 314.
[31] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 520-521
[32] Ibid., hal. 522.
[33] lih. Ibid., hal. 521.
[34] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 332 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 314.
[35] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6493
[36] Ibid., hal. 6494 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 333.
[37] Ibid., hal. 6493.
1. Makhthûbah bukan wanita yang dilarang menikahinya, baik itu karena sudah bersuami atau dia adalah wanita yang haram dinikahi selama-lamanya.[1]
Bagaimana dengan wanita yang sedang idah?
Wanita yang ada dalam masa idah boleh di-khithbah, dengan syarat tidak secara langsung (tashrîh).[2] Secara rinci, ada tiga macam wanita yang berada dalam masa idah[3]:
a. Tidak boleh di-khithbah sama sekali, baik dengan tashrîh ataupun dengan ta’rîdh, yaitu wanita yang ditalak rujuk,[4] karena secara hukum ia masih sebagai istri.[5]
b. Boleh di-khithbah dengan ta’rîdh, tapi tidak dengan tashrîh, yaitu wanita yang cerai ditinggal mati, fasakh karena istrinya ternyata saudarinya sesusu, karena li’ân[6] atau karena hal lain yang dapat menghalangi nikah. Pada kondisi seperti ini, khâthib hanya boleh melamarnya dengan ta’rîdh.[7] Firman Allah Swt.:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. al-Baqarah: 235)
Bagaimana dengan wanita yang ditalak tiga? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Hanabilah membolehkan ta’rîdh[8] Sedang Hanafiyah tidak membolehkan sama sekali, karena akad nikah pada waktu idah masih ada dari satu sisi, dengan bukti hukum dari nikah itu masih ada, yaitu idah. Keberadaan hukum dari satu sisi sama dengan keberadaannya dari semua sisi.[9]
Selain itu, tidak diperbolehkan mengikat janji untuk menikahinya setelah selesai idah.[10] Firman Allah.: “Dalam pada itu, janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (baik)”. (QS. al-Baqarah: 235)
Menurut Malikiyah, hal ini tidak diperbolehkan hanya jika perjanjian itu datang dari kedua belah pihak, sedang jika datang dari salah satunya, maka hukumnya makruh.[11] Menurut Abdul Karim Zaidan, meski demikian yang benar adalah haram dengan dalil ayat di atas.[12]
c. Bâin.[13] Dalam kondisi seperti ini, bekas suaminya boleh meng-khithbah-nya baik dengan tashrîh ataupun ta’rîdh. Apakah bagi selain bekas suaminya dibolehkan? Pada permasalahan ini para ulama berbeda pendapat. Syafi'iyah ada dua pendapat. Pertama, boleh dengan dalil keumuman ayat serta karena dia bâin, maka sama hukumnya dengan talak tiga. Kedua, tidak boleh karena suaminya lebih berhak dari yang lain, seperti halnya talak rujuk.[14]
Apabila hukum khithbah seperti yang dijelaskan di atas, bagaimana dengan hukum menerima atau menolaknya? Menurut Syafi'iyah dan Hanafiyah, hukumnya sama dengan khithbah. Jika melamarnya dengan tashrîh tidak boleh, begitu juga hukum menjawabnya. Bila dibolehkan, maka menjawabnyapun demikian. Begitu seterusnya.[15]
Di antara hikmah pengharaman khithbah pada waktu idah adalah karena hal itu akan menimbulkan permusuhan di antara khâthib, wanita dan bekas suaminya (kecuali yang ditinggal mati).[16]
2. Tidak sedang dalam lamaran orang lain.[17] Dalam kondisi ini, keadaan makhthûbah tidak akan terlepas dari tiga hal:[18]
a. Menerima lamaran dengan jelas (tashrih), ada kecenderungan serta mengizinkan walinya untuk menerima lamarannya. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki yang lain (selain khâthib) tidak diperbolehkan melamarnya, [19]bahkan diharamkan.[20] Begitu juga orang yang membantu laki-laki selain khâthib untuk melamarnya.[21] Dengan alasan hal itu menyakiti khâthib pertama dan akan menimbulkan permusuhan serta kebencian di antara keduanya. Selain itu, melamar di atas lamaran orang lain bertentangan dengan Hadis Nabi Saw.:
“Tidak melamar salah satu dari kamu di atas lamaran saudaranya sampai dia menikah atau meninggalkannya”. (HR. Bukhari dan Nasai)[22] Dalam riwayat yang lain sisebutkan: “… atau mengizinkan khâthib kedua (untuk meng-khitbah-nya)”. (HR. Bukhari dan Nasai)[23]
Zahir Hadis di atas menunjukkan larangan melamar di atas lamaran orang lain, bila khâthib pertama adalah orang Islam. Sedang bila khâthib pertama berlainan agama, maka boleh bagi selain khâthib pertama melamar wanita tersebut, karena di antara muslim dan non muslim tidak ada tali persaudaraan.[24] Begitu juga jika khâthib pertama orang fasik.[25]
Apabila selain khâthib pertama melamarnya, hingga akhirnya menikahinya, maka nikahnya tetap sah,[26] tapi berdosa.[27] Menurut Jumhur, hal ini mengingat larangan khithbah tidak termasuk syarat sah nikah.[28]
Bagaimana jika khithbah datang dari pihak wanita? Masalah ini sama dengan masalah di atas, kecuali jika makhtûb-nya berniat poligami.[29]
b. Menolak dan tidak ada kecenderungan sama sekali. Pada kondisi ini tidak ada larangan bagi selain khâthib untuk melamarnya.[30] Senada dengan apa yang dialami Fatimah binti Qais. Setelah ditalak tiga oleh suaminya, dia menemui Rasulullah serta menceritakan bahwa Mu’awiyah dan Abu Jaham melamarnya, Rasul berkata: ”Adapun Mu’awiyah dia adalah orang miskin, tidak punya apa-apa. Sedang Abu Jaham dia tidak meletakkan tongkat dari pundaknya. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid”. (HR. Bukhari dan Muslim) Setelah itu Rasulullah melamar Fatimah untuk Usamah. Pada kondisi ini, jika khithbah yang lain dilarang, maka akan merugikan pihak wanita. Tidak ada yang berhak melarang wanita untuk menikah kecuali dengan lamaran yang datang padannya[31] dan dia menerimanya. Kedatangan Fatimah pada Rasulullah merupakan indikasi bahwa Fatimah tidak menerima lamaran dari keduanya serta indikasi bahwa dia ingin meminta pendapat Rasul untuk menolak keduanya.[32]
c. Antara kondisi pertama dan kedua. Maksudnya, terlihat tanda-tanda menerima tapi tidak dengan terang-terangan (tashrîh). Menurut Hanabilah kondisi ini sama dengan kondisi pertama.[33] Sedang menurut Syafi'iyah sama dengan kondisi kedua.[34] Menurut Shan’ani, yang paling sahih adalah sama dengan kondisi kedua.
Bagaimana kalau pihak wanita masih dalam tahap musyawarah atau masih ragu; menerima atau menolak? Menurut Hanafiyah, lamaran khâthib kedua hukumnya makruh, dengan dalil keumumam Hadis pada kondisi pertama.[35] Sedang Jumhur membolehkannya, dengan dalil Hadis Fatimah binti Qais.[36] Menurut Wahbah Juhaili yang paling kuat adalah pendapat jumhur.[37] Meski demikian, diharapkan bagi khâthib kedua untuk menunggu keputusan yang jelas dari lamaran yang pertama.
[1] Ibid., hal. 62 dan Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsîru Ayâti’l Ahkâmi mina’l Qur’âni, vol. I, Dâr al-Shâbûnî, Kairo, 1999, hal. 266.
[2]Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524, Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Mausû’atu’l Um, vol. V, Maktabah Taufiqiyah, Kairo, hal. 69 dan 315, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6498, Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 313 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal.331
[3] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 524
[4] Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 266 dan Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 64.
[5] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 525 dan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6499.
[6] Li’ân adalah tuduhan zina seorang suami terhadap istrinya, sedang dia tidak mengaku tuduhan tersebut, begitu juga suaminya tidak menarik kembali tuduhannya. Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 72.
[7] Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 266-267, Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 63, Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524-525 dan Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, op. cit., hal. 160.
[8] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 524-525.
[9] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 65.
[10] Ibid., hal. 64
[11] Ibid., hal. 64.
[12] Ibid., hal. 64.
[13] Maksud di sini adalah ba`in shugrâ. Ia adalah wanita yang dalam idah tapi masih halal dinikahi bekas suaminya seperti mukhtali’ah dan bâin karena fasakh baik itu karena suaminya pergi entah ke mana atau karena dia jatuh miskin. Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 525
[14] Ibid., hal. 525 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 331
[15] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 65 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, ibid., hal. 332.
[16] Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 66.
[17] Ibid., hal. 66 dan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6500.
[18] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520 dan Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 67
[19] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 520, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 230 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 332
[20] Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 15, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6493 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 313
[21] Ibnu Taimiyah, Fatâwâ al-Nisâ’, Dâru al-Da’wah al-Islamiyah, Kairo, hal. 198.
[22] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 231, Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 214, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 382, Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 284 dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 600.
[23] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 229, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, ibid., hal. 212, Abu Daud Sulaiman Ibnu al- Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 890 dan Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, ibid., hal. 382
[24] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 229, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, ibid., hal. 215, Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamani al-Shan’ani, op. cit., hal. 155 dan Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, op. cit., hal.494.
[25] Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamani al-Shan’ani, ibid., hal. 155.
[26] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 523.
[27] Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 215.
[28] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, op. cit., hal. 493 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 314.
[29] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 333 dan lih. juga Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, op. cit., hal. 231.
[30] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520. Lih. juga, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 230 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 314.
[31] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 520-521
[32] Ibid., hal. 522.
[33] lih. Ibid., hal. 521.
[34] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 332 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 314.
[35] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6493
[36] Ibid., hal. 6494 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 333.
[37] Ibid., hal. 6493.
Post A Comment
Tidak ada komentar :