KONSEP ISTISHAB DALAM USHUL FIKIH (3)
G. Istishhâb Hukm al-Ibâhah al-Ashliyyâh li al-Asyyâ' al-Latî Lam Yarid Dalîlun Bitahrîmihâ
Artinya, memberlakukan hukum asal dengan menghalalkan sesuatu (segala sesuatu asalnya adalah halal) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sehubungan dengan hal ini, jumhur ahli ushul menetapkan kaidah, yaitu:
"Sesungguhnya hukum asal sesuatu yang bermanfaat itu dibolehkan, selama tidak ada dalil syar'i yang menghukuminya. Sebaliknya, hukum asal sesuatu yang mudarat itu diharamkan".[1]
Dengan demikian, segala sesuatu yang bermanfaat baik makanan, minuman, tumbuhan, atau benda mati dihalalkan mempergunakannya selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sebaliknya, sesuatu yang memudaratkan itu diharamkan. Seperti hukum asal khamar hingga ada dalil yang menghalalkannya, seperti jika ia berubah menjadi cuka, karena hilangnya sifat yang diharamkan, yaitu memabukkan.[2]
Adapun dalil terbentuknya kaidah tersebut diambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah.[3]
1. Al-Qur’an
a. Firman Allah Swt.:
"Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah:29)
Ayat tersebut menyatakan bahwa semua makhluk di muka bumi ini diperuntukkan untuk manusia, karena huruf mâ dalam ayat tersebut bermakna umum artinya segala sesuatu. Setelah itu, hal ini dikuatkan lagi dengan lafal Jamî‘â yang artinya seluruhnya. Adapun huruf lâm dalam lafal lakum menunjukkakan kekhususan untuk manusia maka yang dimaksud ayat di atas adalah segala sesuatu di muka bumi ini diperuntukan khusus untuk manusia agar bisa memanfaatkannya. Jadi kesimpulannya, memanfatkan semua makhluk di muka bumi ini dibolehkan menurut syar’i.
b. Firman Allah Swt.:
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS. Al-A’raf:32)
Ayat di atas mengandung pertanyaan yang bersifat mengingkari. Dengan demikian, Allah Swt., dalam ayat ini mengingkari pengharaman pemanfaatan perhiasan yang diperuntukan untuk manusia. Sebagaimana huruf lâm dalam lafal li ‘Ibâdihi dimaksudkan untuk pengkhususan terhadap manusia.
c. Firman Allah Swt.:
“Dihalalkan bagimu yang baik-baik” (QS. Al-Maidah: 5)
Huruf lâm dalam lafal lakum menunjukkan bahwa segala sesuatu yang baik dikhususkan untuk manusia agar dimanfaatkan. Adapun maksud al-thayyibât di sini adalah apa yang dianggap baik oleh jiwa manusia. Dengan demikian, ketiga ayat ini menunjukkan bahwa segala sesutu yang baik dibolehkan, hingga ada dalil yang merubahnya. Seperti halnya makan, minum, atau perhiasan dibolehkan hingga ada dalil yang mengharamkannya.
2. Sunnah
Diriwayatkan dari Amru bin Yahya al-Mazini dari ayahnya: Rasulullah Saw. bersabda : "Janganlah membahayakan dan menukar bahaya dengan bahaya yang lebih besar" (HR. Malik ibnu Anas).[4]
Maksudnya kemudaratan itu dilarang secara mutlak. Istishhâb semacam ini telah disepakati oleh para ulama dan sebagian mereka menggabungkan jenis Istishhâb yang ketiga dengan yang ketujuh menjadi satu jenis, karena Istishhâb Hukm al-Ibâhah al-Ashliyyâh termasuk ke dalam Istishhâb al-Barâ'ah al-Ashliyyâh (al-‘Adam al-Ashliy). Adapun para ahli ushul fikih menganggap bahwa hukum Istishhâb ini ditelaah melalui akal, namun Ibnu Hazm berpendapat bahwa ia ditetapkan oleh keumuman nash syar’i hingga ada dalil yang merubahnya.
IV. Ke-hujjah-an Istishhâb sebagai Inferensi Hukum
Setelah dijelaskan pembagian Istishhâb dan perselisihan pendapat para ulama pada masing-masing bagiannya, sekarang akan dibahas tentang ke-hujjah-annya sebagai inferensi hukum secara umum. Hal ini terjadi ketika tidak ditemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijmak, dan qiyas. Sebagaimana disebutkan oleh al-Syaukani, ulama berselisih tentang ke-hujjah-an Istishhâb menjadi enam pendapat[5], namun sebagian lagi ada yang hanya menyebutkan dua[6] atau tiga pendapat[7]. Adapun dalam makalah ini akan dipaparkan enam pendapat seperti yang disebutkan oleh al-Syaukani, agar permasalahan Istishhâb ini dapat dipelajari lebih detail.
Istishhâb menjadi hujjah secara mutlak, baik dari segi penetapan atau penafian. Pendapat ini disepakati oleh jumhur Malikiyah, Imam Syafi'i, dan mayoritas pengikutnya, seperti al-Mazani, ibnu Suraij, ash-Shairafi, ibnu Khairan, al-Amidi, dan al-Ghazali. Pendapat ini juga disepakati oleh kebanyakan Hanabilah, Abu Ishaq ibnu Syaqilan, Zhahiriyah, sebagian Hanafiah seperti Abu Manshur dan Syi‘ah[8].
Adapun pendapat mereka berpegang terhadap al-Qur’an, sunnah, ijmak, dan akal:
1. Al-Qur’an[9]
a. Firman Allah Swt.:
“Dan janganlah kamu seperi seorang perempuan yang telah menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali” (QS. An-Nahl: 92)
Ayat tersebut menyebutkan bahwa jika sesuatu itu telah ditetapkan maka pembatalannya akan dilarang. Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Abdullah bin Katsir dan al-Sudi berkata: ”Inilah perempuan bodoh yang mana berdiam di Mekkah. Dia akan menguraikan sesuatu setelah selesai memintalnya. Imam Mujahid, Qatadah dan ibnu Zaid berkata: ”Hal ini seperti orang yang mengingkari janji setelah menetapkannya”. Adapun kedua penafsiran di atas masing-masing benar.[10]
b. Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran”. (QS. Yunus:36) dan (QS. An-Najm:28).
Jadi, sangkaan itu adalah keraguan yang tidak berpengaruh terhadap sebuah kebenaran, maka makna Istishhâb adalah sesuatu yang ditetapkan berdasarkan keyakinan dan tidak bisa dilemahkan dengan sekedar keraguan.
2. Sunnah
a. Sabda Rasulullah Saw.:
Diriwayatkan dari ‘Ibad bin Tamim dari pamannya, bahwa seorang lelaki mengadu kepada Rasulullah Saw. karena dia menyangka ada sesuatu yang keluar (hal yang membatalkan wudhu) ketika melakukan shalat, maka Rasulullah Saw. Bersabda: ”Janganlah terganggu atau membatalkan shalat hingga mendengar suara atau mencium bau" (HR. Bukhari).[11]
b. Sabda Rasulullah Saw.:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda: ”Jika seseorang dari kalian mendapatkan sesuatu di dalam perut, kemudian ragu keluar tidaknya sesuatu tersebut maka janganlah sekali-kali dia keluar mesjid hingga mendengar suara kentut atan mencium bau" (HR. Muslim).[12]
c. Sabda Rasulullah Saw.:
Diriwayakan dari Abi Sa’id al-Khudzri bahwa Rasulullah Saw. bersabda:”Jika seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, lalu tidak mengetahui apakah tiga atau empat rakaat dia telah shalat, maka hendaklah menghilangkan keraguannya dan perpegang terhadap apa yang diyakininya. Setelah itu, melakukan dua kali sujud sebelum salam” (HR. Muslim). [13]
Ketiga hadis di atas menyatakan makna Istishhâb, yaitu sesuatu yang telah diyakini tidak bisa ditinggalkan begitu saja, hanya karena ada keraguan.[14]
3. Ijmak[15]
Sesunggunya fuqaha sepakat terhadap sebagian hukum fikih yang disandarkan kepada makna Istishhâb. Di antaranya, apabila seseorang ragu apakah sebelumnya telah berwudhu atau tidak maka dia tidak boleh melakukan shalat karena dihukumi belum berwudhu, namun jika dia ragu apakah masih dalam keadaan suci atau tidak maka dibolehkan baginya shalat karena dihukumi belum batal wudhunya. Begitu pula, ijmak fuqaha menyatakan bahwa seseorang yang ragu apakah sebelumnya dia telah melakukan akad nikah atau tidak maka diharamkan baginya menyentuh sang istri, namun jika dia ragu apakah dia telah melakukan talak atau tidak maka dihalalkan baginya menyentuh sang istri.[16]
4. Akal[17]
Menurut akal Istishhâb menjadi hujjah karena beberapa perkara, yaitu:
Lanjutan Edisi Keempat : Konsep Istishab Dalam Ushul Fikih
[6] Qadhi al-Baidhawi (Abdullah bin Umar al-Syirazi) dan lainnya hanya menyebutkan dua pendapat; Istishhâb menjadi hujah secara mutlak dan tidak menjadi hujah secara mutlak. Sa'duddin Mus'ad Hilali, op. cit., hal. 182.
[7] Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tiga pendapat; Istishhâb menjadi hujah secra mutlak, tidak menjadi hujah secara mutlak, dan menjadi hujah dalam pembelaan dan penafian tapi tidak menjadi hujah dalam penetapan. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 166.
[10] Abul Fida Ismail ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur'ân al-‘Azhîm, vol. IV, Dârul Kutub al-‘Arabiy, Beirut, 2005 M, hal.67.
[12] Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarif al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawỉ, vol. II, Maktabah al-Îmân, Kairo, hal. 242.
[16] Al-Amidi menyebutkan bahwa ijmak di atas hanya disepakati oleh Imam Abu Hanifah, Syafi'i dan mayoritas Imam yang lain selain Malikiyah. Saifuddin Hasan Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkâm fiy Ushûli'l Ahkâm, vol. IV, Dâru'l Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, hal. 367.
Artinya, memberlakukan hukum asal dengan menghalalkan sesuatu (segala sesuatu asalnya adalah halal) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sehubungan dengan hal ini, jumhur ahli ushul menetapkan kaidah, yaitu:
أن الأصل فى الأشياء النافعة التي لم يرد فيها من الشرع حكم معين هو الاباحة، كما أن الأصل فى الأشياء الضارة هو الحرمة
"Sesungguhnya hukum asal sesuatu yang bermanfaat itu dibolehkan, selama tidak ada dalil syar'i yang menghukuminya. Sebaliknya, hukum asal sesuatu yang mudarat itu diharamkan".[1]
Dengan demikian, segala sesuatu yang bermanfaat baik makanan, minuman, tumbuhan, atau benda mati dihalalkan mempergunakannya selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sebaliknya, sesuatu yang memudaratkan itu diharamkan. Seperti hukum asal khamar hingga ada dalil yang menghalalkannya, seperti jika ia berubah menjadi cuka, karena hilangnya sifat yang diharamkan, yaitu memabukkan.[2]
Adapun dalil terbentuknya kaidah tersebut diambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah.[3]
1. Al-Qur’an
a. Firman Allah Swt.:
هو الذي خلق لكم ما في الأض جميعا
"Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah:29)
Ayat tersebut menyatakan bahwa semua makhluk di muka bumi ini diperuntukkan untuk manusia, karena huruf mâ dalam ayat tersebut bermakna umum artinya segala sesuatu. Setelah itu, hal ini dikuatkan lagi dengan lafal Jamî‘â yang artinya seluruhnya. Adapun huruf lâm dalam lafal lakum menunjukkakan kekhususan untuk manusia maka yang dimaksud ayat di atas adalah segala sesuatu di muka bumi ini diperuntukan khusus untuk manusia agar bisa memanfaatkannya. Jadi kesimpulannya, memanfatkan semua makhluk di muka bumi ini dibolehkan menurut syar’i.
b. Firman Allah Swt.:
قل من حرم زينة اللتي أخرج لعباده والطيبات من الرزق
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS. Al-A’raf:32)
Ayat di atas mengandung pertanyaan yang bersifat mengingkari. Dengan demikian, Allah Swt., dalam ayat ini mengingkari pengharaman pemanfaatan perhiasan yang diperuntukan untuk manusia. Sebagaimana huruf lâm dalam lafal li ‘Ibâdihi dimaksudkan untuk pengkhususan terhadap manusia.
c. Firman Allah Swt.:
اليوم أحل لكم الطيبات
“Dihalalkan bagimu yang baik-baik” (QS. Al-Maidah: 5)
Huruf lâm dalam lafal lakum menunjukkan bahwa segala sesuatu yang baik dikhususkan untuk manusia agar dimanfaatkan. Adapun maksud al-thayyibât di sini adalah apa yang dianggap baik oleh jiwa manusia. Dengan demikian, ketiga ayat ini menunjukkan bahwa segala sesutu yang baik dibolehkan, hingga ada dalil yang merubahnya. Seperti halnya makan, minum, atau perhiasan dibolehkan hingga ada dalil yang mengharamkannya.
2. Sunnah
عن عمرو بن يحيي المازنيي عن أبيه ،أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: لا ضرار ولا ضرار
Diriwayatkan dari Amru bin Yahya al-Mazini dari ayahnya: Rasulullah Saw. bersabda : "Janganlah membahayakan dan menukar bahaya dengan bahaya yang lebih besar" (HR. Malik ibnu Anas).[4]
Maksudnya kemudaratan itu dilarang secara mutlak. Istishhâb semacam ini telah disepakati oleh para ulama dan sebagian mereka menggabungkan jenis Istishhâb yang ketiga dengan yang ketujuh menjadi satu jenis, karena Istishhâb Hukm al-Ibâhah al-Ashliyyâh termasuk ke dalam Istishhâb al-Barâ'ah al-Ashliyyâh (al-‘Adam al-Ashliy). Adapun para ahli ushul fikih menganggap bahwa hukum Istishhâb ini ditelaah melalui akal, namun Ibnu Hazm berpendapat bahwa ia ditetapkan oleh keumuman nash syar’i hingga ada dalil yang merubahnya.
IV. Ke-hujjah-an Istishhâb sebagai Inferensi Hukum
Setelah dijelaskan pembagian Istishhâb dan perselisihan pendapat para ulama pada masing-masing bagiannya, sekarang akan dibahas tentang ke-hujjah-annya sebagai inferensi hukum secara umum. Hal ini terjadi ketika tidak ditemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijmak, dan qiyas. Sebagaimana disebutkan oleh al-Syaukani, ulama berselisih tentang ke-hujjah-an Istishhâb menjadi enam pendapat[5], namun sebagian lagi ada yang hanya menyebutkan dua[6] atau tiga pendapat[7]. Adapun dalam makalah ini akan dipaparkan enam pendapat seperti yang disebutkan oleh al-Syaukani, agar permasalahan Istishhâb ini dapat dipelajari lebih detail.
- A. Pendapat Pertama
Istishhâb menjadi hujjah secara mutlak, baik dari segi penetapan atau penafian. Pendapat ini disepakati oleh jumhur Malikiyah, Imam Syafi'i, dan mayoritas pengikutnya, seperti al-Mazani, ibnu Suraij, ash-Shairafi, ibnu Khairan, al-Amidi, dan al-Ghazali. Pendapat ini juga disepakati oleh kebanyakan Hanabilah, Abu Ishaq ibnu Syaqilan, Zhahiriyah, sebagian Hanafiah seperti Abu Manshur dan Syi‘ah[8].
Adapun pendapat mereka berpegang terhadap al-Qur’an, sunnah, ijmak, dan akal:
1. Al-Qur’an[9]
a. Firman Allah Swt.:
و لا تكونوا كالتي نقضت غزلها من بعد قوة أنكاثا
“Dan janganlah kamu seperi seorang perempuan yang telah menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali” (QS. An-Nahl: 92)
Ayat tersebut menyebutkan bahwa jika sesuatu itu telah ditetapkan maka pembatalannya akan dilarang. Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Abdullah bin Katsir dan al-Sudi berkata: ”Inilah perempuan bodoh yang mana berdiam di Mekkah. Dia akan menguraikan sesuatu setelah selesai memintalnya. Imam Mujahid, Qatadah dan ibnu Zaid berkata: ”Hal ini seperti orang yang mengingkari janji setelah menetapkannya”. Adapun kedua penafsiran di atas masing-masing benar.[10]
b. Firman Allah Swt.:
إن لظن لا يغني من الحق شيئا
“Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran”. (QS. Yunus:36) dan (QS. An-Najm:28).
Jadi, sangkaan itu adalah keraguan yang tidak berpengaruh terhadap sebuah kebenaran, maka makna Istishhâb adalah sesuatu yang ditetapkan berdasarkan keyakinan dan tidak bisa dilemahkan dengan sekedar keraguan.
2. Sunnah
a. Sabda Rasulullah Saw.:
عن عباد بن تميم عن عمه أنه شكا الي رسول الله صلي الله عليه وسلم الرجل الذي يخيل أنه يجد الشييء في الصلاة، فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم: لا ينفتل-أو لا ينصرف- حتي يسمع صوتا أو يجد ريحا
Diriwayatkan dari ‘Ibad bin Tamim dari pamannya, bahwa seorang lelaki mengadu kepada Rasulullah Saw. karena dia menyangka ada sesuatu yang keluar (hal yang membatalkan wudhu) ketika melakukan shalat, maka Rasulullah Saw. Bersabda: ”Janganlah terganggu atau membatalkan shalat hingga mendengar suara atau mencium bau" (HR. Bukhari).[11]
b. Sabda Rasulullah Saw.:
عن أبي هريرة أن النبي الله صلي الله عليه وسلم قال: اذا وجد أحدكم فى بطنه شيئا فأشكل عليه أخرج منه شيئا أم لا فلا يخرجنمن من المسجد حتي يسمع صوتا أو يجد ريحا
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda: ”Jika seseorang dari kalian mendapatkan sesuatu di dalam perut, kemudian ragu keluar tidaknya sesuatu tersebut maka janganlah sekali-kali dia keluar mesjid hingga mendengar suara kentut atan mencium bau" (HR. Muslim).[12]
c. Sabda Rasulullah Saw.:
عن أبي سعيد الخذري, أن النبي الله صلي الله عليه وسلم قال: اذا شك أحدكم في صلاته فلم يدر كم صلي ثلاثا أم أربعا فليطرح الشك و ليبين علي مااستقين، ثم يسجد سجدتين قبل أن يسلم
Diriwayakan dari Abi Sa’id al-Khudzri bahwa Rasulullah Saw. bersabda:”Jika seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, lalu tidak mengetahui apakah tiga atau empat rakaat dia telah shalat, maka hendaklah menghilangkan keraguannya dan perpegang terhadap apa yang diyakininya. Setelah itu, melakukan dua kali sujud sebelum salam” (HR. Muslim). [13]
Ketiga hadis di atas menyatakan makna Istishhâb, yaitu sesuatu yang telah diyakini tidak bisa ditinggalkan begitu saja, hanya karena ada keraguan.[14]
3. Ijmak[15]
Sesunggunya fuqaha sepakat terhadap sebagian hukum fikih yang disandarkan kepada makna Istishhâb. Di antaranya, apabila seseorang ragu apakah sebelumnya telah berwudhu atau tidak maka dia tidak boleh melakukan shalat karena dihukumi belum berwudhu, namun jika dia ragu apakah masih dalam keadaan suci atau tidak maka dibolehkan baginya shalat karena dihukumi belum batal wudhunya. Begitu pula, ijmak fuqaha menyatakan bahwa seseorang yang ragu apakah sebelumnya dia telah melakukan akad nikah atau tidak maka diharamkan baginya menyentuh sang istri, namun jika dia ragu apakah dia telah melakukan talak atau tidak maka dihalalkan baginya menyentuh sang istri.[16]
4. Akal[17]
Menurut akal Istishhâb menjadi hujjah karena beberapa perkara, yaitu:
- Hukum pada masa sebelumnya ditetapkan dengan sebuah keyakinan, kemudian tejadi keraguan apakah hukum tersebut masih/tetap berlaku/diberlakukan pada masa selanjutnya atau tidak. Dalam hal ini, pastinya keyakinan lebih tinggi kedudukannya dan tidak bisa dihapuskan dengan sekedar keraguan. Dengan demikian, metode Istishhâb bisa dijadikan hujjah karena berlandaskan keyakinan.
- Apabila tidak ada dalil yang merubah hukum zaman sebelumnya, baik secara qath‘iy ataupun dzan maka secara otomatis hal tesebut dihukumi seperti sebelumnya atas dasar Dzan. Adapun beramal atas dasar Dzan itu wajib, karena jika tidak demikian maka ada tiga pokok mendasar yang harus dibatalkan, yaitu:
- Jika Istishhâb tidak menjadi hujjah, niscaya hukum-hukum syar’i yang ditetapkan pada masa Rasulullah Saw. tidak akan berpengaruh hingga sekarang karena adanya kemungkinan (Dzan) penghapusan.
- Jika Istishhâb tidak menjadi hujjah maka keraguan dalam talak akan terjadi seperti keraguan dalam nikah, karena masing-masing dari keduanya tidak memberlakukan hukum sebelumnya. Dengan demikian, jika tidak memakai Istishhâb maka ia menghasilkan dua hukum, yaitu dihalalkan dan diharamkan jimak suami-istri jika terjadi keraguan dalam nikah atau talak. Namun jika memakai Istishhâb maka dibolehkan jimak jika terjadi keraguan dalam talak, tapi diharamkan jika itu terjadi pada nikah.
- Sesungguhnya memberlakukan hukum seperti sebelumnya lebih rajih daripada menafikan hukum sebelumnya. Adapun bentuk kerajihan ini, karena menafikan hukum sebelumnya membutuhkan sebab baru, sedangkan memberlakukan hukum sebelumnya tidak membutuhkan apapun.
Lanjutan Edisi Keempat : Konsep Istishab Dalam Ushul Fikih
[6] Qadhi al-Baidhawi (Abdullah bin Umar al-Syirazi) dan lainnya hanya menyebutkan dua pendapat; Istishhâb menjadi hujah secara mutlak dan tidak menjadi hujah secara mutlak. Sa'duddin Mus'ad Hilali, op. cit., hal. 182.
[7] Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tiga pendapat; Istishhâb menjadi hujah secra mutlak, tidak menjadi hujah secara mutlak, dan menjadi hujah dalam pembelaan dan penafian tapi tidak menjadi hujah dalam penetapan. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 166.
[10] Abul Fida Ismail ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur'ân al-‘Azhîm, vol. IV, Dârul Kutub al-‘Arabiy, Beirut, 2005 M, hal.67.
[12] Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarif al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawỉ, vol. II, Maktabah al-Îmân, Kairo, hal. 242.
[16] Al-Amidi menyebutkan bahwa ijmak di atas hanya disepakati oleh Imam Abu Hanifah, Syafi'i dan mayoritas Imam yang lain selain Malikiyah. Saifuddin Hasan Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkâm fiy Ushûli'l Ahkâm, vol. IV, Dâru'l Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, hal. 367.
Labels
Usul Fikih Ar-Risalah
[…] Lanjutan edisi ketiga : Konsep Istishab dalam Ushul Fikih […]
BalasHapus