PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Taklid dalam Fikih Islam


Berbicara taklid dalam konteks fikih pada zaman dewasa ini sulit rasanya kita menemukan orang yang terlepas seratus persen untuk tidak bertaklid pada satu mazhab tertentu dalam tata cara ibadah sehari-harinya. Hal itu dikarenakan, tidak semua orang bisa melakukan eksplorasi turâts dengan cepat dan efektif karena untuk memahami suatu permasalahan yang bersentuhan langsung dengan dalil-dalilnya secara terperinci adalah hal memerlukan kemampuan khusus. Sedangkan sesuai dengan sunnatu’lLâh kemampuan manusia itu bermacam-macam.

Meskipun demikian taklid tetap saja merupakan fenomena yang sebenarnya 'tercela' dalam pandangan Islam. Di dalam al-Qur'an Allah Swt. berfirman: "Maka bertanyalah kamu sekalian kepada 'Ahlu Dzikri' (orang yang berilmu) apabila kamu sekalian tidak mengetahui" ayat tersebut menegaskan perintah untuk bertanya kepada orang yang berilmu, apabila kita tidak mengetahui.

Taklid jika ditinjau secara etimologi bisa bermakna 'kalung' atau sesuatu yang melingkar pada leher. Oleh sebab itu orang yang melakukan taklid sering dideskripsikan seperti hewan ternak yang digiring dengan keadaan leher terikat tali, terkekang dan dibawa kemanapun dengan pasrah tanpa bertanya ingin dibawa kemanakah dirinya pergi. Analisa bahasa tersebut telah menunjukkan bahwa seorang yang sudah melakukan taklid terhadap imam tertentu tentu saja dengan serta merta menerima segela pendapat Imam tersebut tanpa kehati-hatian (reserve).

Sedangkan menurut Muhammad Sayid Thantawi –syaikh al-Azhar- taklid didefinisikan sebagai bentuk tindakan yang mengikuti ucapan dan perbuatan orang lain tanpa hujjah maupun dalil (tanpa klarifikasi lebih lanjut –red). Di dalam buku Ijtihâd fi Ahkâmi Syari'iyyah beliau menambahkan: “Taqlid adalah perbuatan yang berdasarkan perkataan orang lain, dan perkataanya bukanlah hujjah mu'tabar (argument yang terpercaya) dalam pandangan agama”. Dengan definisi kedua ini, orang yang mengikuti perkataan Rasulullah Saw. tidak bisa dikatakan sebagai tindakan taklid, karena perkataan Rasulullah Saw. mempunyai syarat kekuatan hukum dalam menentukan segala hal yang berkaitan dengan agama.

Seseorang baru bisa dikatagorikan telah melakukan tindakan taklid apabila ia mengikuti orang yang perkataanya tidak mempunyai muatan hukum apapun meskipun orang yang diikuti tersebut adalah Imam yang empat. Pernyataan ini tidak bermaksud memandang sebelah mata kafa'ah (kemampuan) imam yang empat, hanya saja secara ijma' (kesepakatan) tidak ada sorang pun yang ma’sûm (terlepas dari kesalahan) selain Nabi Saw.. Bahkan Imam malik Rahimahu’lLâh berkata: "segala pendapat bisa saja diterima dan juga bisa saja tertolak kecuali perkataan Rasulullah Saw".

Sebab Timbulnya Taklid.


            Secara sepakat hampir seluruh ulama fikih telah membagi masa periode kodifikasi hukum Islam menjadi enam fase. Fase pertama yaitu fase kenabian yang berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw.. Kedua, fase Sahabat yang berakhir dengan jatuhnya Ali ibn Abi Thalib dari kursi kekhalifahan. Ketiga, fase para Tabiin yang habis sampai awal abad ke-dua Hijriah.

Selanjutnya fikih memasuki golden era-nya yang terbentang antara abad ke-dua sampai pertengahan abad ke-empat Hijriah. Zaman keemasaan fikih pada periode ini ditandai dengan munculnya madrasah (schoolaar), madrasah ra'yi (rasionalis-moderenis) dan madrasah hadist (tradisionalis). Pada fase ini setiap ulama menghasilkan produk hukum sesuai dengan realitas yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat, sehingga fikih maju secara pesat dan mampu berdialog aktif dengan pelakunya. Maka tidak heran bila fikih adalah salah satu bidang ilmu yang mendominasi khazanah keilmuan Islam sampai sekarang.

            Fase kelima yaitu fase kemunduran. Disebut demikian karena hilang rasa percaya diri di dalam diri para ulama fikih untuk membuat karya baru dalam khazanah fikih Islam. Hampir semua ulama telah terasuki perasaan inferior (rasa rendah diri) dengan kemilau karya para pendahulunya pada masa keemasan.

            Menurut Nur Khalis Majid, satgnannya fikih pada masa ini disebabkan oleh maraknya budaya syarah dan hasyiyah (elaborasi matan serta pendalamanya) di dalam ilmu fikih. Hal tersebut cukup berdampak besar pada kemunduran fikih secara global sehingga membuat fikih menjadi stagnan (lari di tempat) dan kaku dalam berdialog dengan realitas kehidupan (wâqi'). Apa yang telah dihasilkan para Imam terdahulu dianggap suatu yang bersifat "final" dan undebateble.

Dari fenomena di atas secara tidak langsung telah terjadi apa yang disebut dengan tadwînu’l madzhab (kodifikasi aliran) yang berakibat langsung dengan timbulnya fanatisme mazhab dan golongan. Setiap pendapat yang menyalahi mazhab dianggap bid’ah dan sesat. Hal ini semakin diperparah dengan timbulnya kecenderungan negara untuk selalu mempunyai mazhab resmi yang akan dianut oleh penduduknya, sehingga fanatisme mazhab berkembang luas di negeri-negeri Islam.

Penyebab lain merebaknya taklid yaitu kepercayaan rakyat yang mulai luntur pada segnap jajaran hakim yang dalam struktur kenegaraan masa lalu mempunyai tugas untuk mewakili khalifah untuk memutuskan hukum di tengah masyarakat. Sebelum memasuki fase kelima biasanya jabatan hakim dipegang oleh ulama yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad secara perorangan dengan mutlak dan mengemban amanat kehakiman dengan konsekuensi tinggi. Sedangkan setelah memasuki fase kelima kualitas para hakim mulai menurun. Setiap wilayah yang didominasi oleh mazhab tertentu mengangkat hakim yang sesuai dengan mazhabnya meskipun berkualitas rendah dan kemudian diperparah dengan maraknya praktik suap serta nepotisme di dalam dunia hukum sehingga kepercayaan masyarakat ke pelaksana hukum hilang.

Pendapat Para Ulama Tentang Taklid

            Taklid dalam perspektif sebagian mazhab muktazilah dinilai sebagai suatu hal yang tidak dapat ditolerir. Apalagi jika taklid juga memasuki ranah pembahasan yang bersifat ushûl. Pendapat seperti ini didasari oleh argumentasi bahwa akal mempunyai kekuatan untuk berfikir dan melakukan eksplorasi dalam menemukan hakikat sesuatu yang tidak diketahui manusia sebelumnya. Sedangkan taklid menurut mereka hanya mendisfungsikan akal untuk berfikir. Tidak hanya sampai di sini, mereka juga berargumen dengan pendapat para Imam yang secara umum berisi larangan untuk mengikuti mereka tanpa mengetahui dalil dan hujjah landasan suatu hukum.

            Akan tetapi Imam Zarkasyi –dalam Bahru’l Muhît- menjelaskan bahwa perkataan para Imam yang secara umum melarang seseorang untuk mengikuti mereka sebelum mengetahui landasan dalil dari suatu hukum itu tidak berlaku bagi masyarakat umum, tetapi berlaku bagi mereka yang mempunyai kemampuan ijtihad dan sudah melengkapi syarat-syarat ijtihad.

            Selanjutnya pendapat kedua menekankan bahwasanya seorang muslim untuk tidak lagi perlu melakukan deduksi (pengambilan kesimpulan) dalam permasalahan yang sudah dibahas sebelumnya oleh para Imam terdahulu. Pendapat mereka didasari oleh keyakinan bahwa pintu ijtihad memang telah tertutup setelah berakhirnya golden era fikih yang ditandai dengan munculnya 4 mazhab. Yang berpendapat seperti ini diantaranya adalah Imam al-Ghazali.

            Pendapat al-Ghazali ternyata tidak terlepas dari aspek politis yang berlaku pada masanya. Pada zamannya setiap negara mengadopsi sebuah mazhab secara resmi, sehingga luas tidaknya perkembangan suatu mazhab boleh dikatakan sejalan dengan mati hidupnya suatu negara. Sebagai contoh Mesir yang menjadi salah satu wilayah imperium Abbasid, berabad-abad lamanya jabatan qâdhi di sana berada dalam naungan mazhab Hanafiyah, meskipun bani Abbas pernah menjadikan Muktazilah sebagai doktrin resmi negara. Setelah itu, ketika bani Fatimiyah berkuasa di sana, yang berkembang di Mesir adalah mazhab Syiah dan akhirnya ketika Salahuddin telah mengukuhkan dirinya sebagai satu- satunya penguasa pasca runtuhnya pemerintahan Syiah, di Mesir mazhab Syafi'i mulai mengembangkan sayapnya di kawasan tersebut. Belum lagi apabila dilihat dari intimidasi yang dilakukan para penguasa kepada para ulama selain mazhabnya sehingga tidak heran apabila Imam al-Ghazali berpendapat sedemikian rupa.

            Ibnu Taimiyah dalam kumpulan fatwanya berkomentar bahwa hukum wajibnya mukallaf untuk melaksanakan taklid dan ijtihad tidak dapat dinilai secara global. Seseorang yang mempunyai syarat melakukan ijtihad mungkin saja melakukan taklid entah dikarenakan sempitnya waktu sehingga tidak sempat melakukan deduksi dalam suatu permasalahan atau dikarenakan sebab-sebab lainya. Begitu juga dengan orang yang awam boleh saja baginya untuk melaksanakan ijtihad di suatu permasalahan yang kiranya dia mampu untuk melakukan ijtihad pada permasalahan tersebut. Oleh sebab itu mayoritas para ulama tidak mengharuskan ijtihad secara mutlak dan mewajibkan taklid secara mutlak, tetapi berkata: "sesungguhnya ijtihad mubah hukumnya bagi orang yang sanggup melakukaanya dan taklid juga mubah hukumnya bagi mereka yang tidak sanggup melaksanakan ijtihad".

            Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Kayfa Nata'âmal Ma'a Turâts juga berpendapat sama dengan Ibnu Taimiyah, tetapi ia menambahkan bahwa hukum taklid bisa menjadi wajib apabila mukallaf memang sudah tidak lagi dapat melakukan ijtihad, sehingga taklid dengan mengikuti Imam yang dipercaya ke-Islaman dan ketakwaannya menjadi alternatif yang lebih selamat dibandingkan dengan mengambil keputusan yang didasari oleh kebodohan. Wa’lLâhu a’lamu bi’s shawâb.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]