Karakter Ulama Muhammadiyah (bag 2)
Proses
Pencerahan
Berdasarkan pemaparan di atas,
kita dapat merangkum bidang garap para ulama Muhammadiyah dalam proyek
pencerahan, demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ketiga hal
itu adalah memahami teks syariat, memahami realita dan mentransformasikan teks
syariat menjadi panduan-panduan praktis untuk menghadapi realita.
Prof. Dr. Ali Jum`ah memaparkan
tujuh teori usul fikih yang dapat digunakan untuk melaksanakan ketiga misi di
atas. Ketujuh teori tersebut tidak lain adalah rangkuman dari proses ijtihad
para ulama yang melibatkan berbagai ilmu. Ketujuh teori inilah yang harus ada
dalam pikiran ulama Muhammadiyah ketika mengkaji sebuah persoalan.
1. Teori Legalitas (Hujjiyyah)
Teori ini
bertugas menyeleksi segala hal yang diajukan untuk menjadi sumber hukum. Apa
yang membuat al-Quran dan hadis sah menjadi sumber hukum? Jawabannya ditemukan
dalam pembahasan mukjizat al-Quran di atas. Teori ini bisa diterapkan untuk
menyeleksi segala hal yang dijadikan sumber hukum bagi manusia, termasuk hasil
pikir manusia itu sendiri.
2. Teori Penetapan (Itsbât)
Al-Quran dan
Sunnah secara umum sudah lolos ujian teori di atas. Pertanyaan selanjutnya
adalah, mana yang termasuk dalam al-Quran dan Sunnah? Ilmu qira’at menyeleksi
berbagai ragam bacaan al-Quran. Karena ada qira’at syadzdzah, yang
meskipun diriwayatkan dengan sanad yang sahih, namun ia tidak mutawatir, sehingga
bacaan tersebut tidak bisa disebut al-Quran. Salah satu implikasinya ialah, ia tidak
sah dibaca dalam salat.
Begitu juga dengan hadis. Berbagai nas yang berisi tuntunan agama yang dinisbatkan kepada Rasulullah. Oleh karenanya, diperlukan beberapa ilmu untuk menyeleksi apakah sebuah nas diduga kuat berasal dari Rasulullah atau sebaliknya? Ilmu yang berbicara mengenai hal ini misalnya ilmu jarh wa ta`dil, ilmu mustolah hadis dan studi sanad.
3. Teori Pemahaman (al-Fahm)
Di hadapan
seorang alim, ada nas al-Quran dan Sunnah. Misi selanjutnya adalah memahami
maksud dari nas tersebut. Ilmu yang banyak berperan dalam teori ini adalah ilmu
bahasa Arab, mengingat keduanya disampaikan dalam bahasa Arab (‘Arabiyyun
Mubîn). Mulai dari sharf, yang mengkaji pola perubahan Arab, nahwu yang
berbicara tentang kaidah bahasa Arab, balaghah dengan ketiga cabangnya (bayan,
badî` dan ma`âni) dan cabang bahasa Arab lainnya, bahkan termasuk teks-teks
Arab kuno baik berupa syair maupun esai. Karena keduanya banyak bermanfaat
dalam mengetahui makna kata menurut penutur aslinya, di mana ia digunakan.
Selain ilmu
bahasa Arab, hal yang banyak membantu dalam memahami nas adalah mempelajari hukum-hukum fikih yang
dinukil oleh para ulama mulai dari generasi awal.
4. Teori Qath`iyyah dan Zhanniyyah
Teori ini
menjawab persoalan yang belum bisa dijawab oleh teori-teori di atas. Prof. Dr.
Ali Jumah memberikan contoh dalam memahami ayat:
﴿...إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ...﴾
(المائدة : ۶)
Dalam kaidah bahasa Arab, huruf fâ’ mengandung makna berurutan
setelahnya (al-Ta`qîb). Orang yang hanya mengandalkan kaidah bahasa
Arab, bisa memahami bahwa wudu dilakukan setelah selesai salat. Oleh karenanya
diperlukan hal lain untuk memahami ayat ini, yaitu al-Ijmâ` (konsensus).
Para ulama berijmak, bahwa wudu dikerjakan sebelum salat.
5. Teori al-Ilhâq
Ayat al-Quran
dan hadis jumlahnya terbatas, sedangkan persoalan yang ada terus berkembang, dan
harus diberikan penilaian dari kacamata syariah. Para ulama mengikutkan (al-Ilhâq)
persoalan yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas kepada persoalan yang
ditegaskan hukumnya oleh nas, karena kesamaan sifat pokok dari keduanya. Proses
ini dikenal dengan nama qiyas. Imam al-Ghazali menganggap qiyas (analogi)
sebagai ijtihad itu sendiri, menimbang urgensinya dalam proses ijtihad. Qiyas
inilah “senjata” dari syariat dalam menghadapi dinamika kehidupan dunia.
6. Teori Istidlâl
Selain
al-Quran, Sunnah, ijmak dan qiyas, masing-masing mazhab menggunakan hal-hal
lain yang dianggap bisa menunjukkan hukum, seperti adat, perkataan sahabat, maslahat
dan lain-lain. Dalam beberapa hal, sebagian ulama menggunakan apa yang tidak
digunakan ulama lain. Hal inilah yang harus dikuasai oleh seorang ulama, agar
tidak cepat menuduh pendapat lain tidak ada landasan syariatnya.
7. Teori Fatwa
Misi terakhir
adalah menyajikan hukum yang sudah diperas dari sumber-sumbernya menjadi sebuah
program atau amalan praktis kepada sasaran bidik, baik individu maupun
kolektif. Penjelasan mengenai hukum syariat terhadap suatu hal itulah yang
disebut dengan fatwa. Prosesnya, orang yang sudah memenuhi kualifikasi mujtahid
menyimpulkan sebuah hukum yang ditimbang dengan maqashid syariah. Ilmu-ilmu
yang diperlukan di sini misalnya syarat mujtahid/mufti dan pemohon fatwa, yang
salah satunya adalah memahami realita dan ilmu-ilmu kontemporer, maqashid
syariah, mendamaikan dalil yang terlihat bertentangan dan tarjih, dan
sebagainya.
Membentuk Ulama
Dalam bahasa Arab, kata al-Ulamâ’
merupakan bentuk plural dari al-`Alîm yang merupakan shîghah
mubâlaghah. Artinya, ulama bukanlah orang yang memahami satu dua informasi
saja. Dia adalah orang yang memiliki karakter ilmu, maksudnya ilmu sudah
menyatu dalam dirinya. Sedangkan kata al-`Ilm (ilmu) dalam bahasa Arab
bisa digunakan untuk menyebut tiga hal; pembahasan atau bidang studi,
teori-teori dan kemampuan (malakat al-tasharruf).
Ketika ilmu yang dianggap menjadi
karakter ulama dimaknai sebagai pembahasan/bidang studi, maka kolektor buku
juga bisa masuk Majelis Tarjih Muhammadiyah. Ketika ilmu dimaknai teori-teori,
maka pelajar yang baru saja menghafal semua materi dari sebuah disiplin ilmu
bisa langsung disebut ulama. Tersisalah yang ketiga, orang yang memiliki
kemampuan untuk menggunakan teori-teori yang telah ia pahami untuk menyelesaikan
berbagai persoalan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani
(852 H).
Adalah sosok insan yang
menggabungkan antara pemahaman terhadap teori-teori ilmu ijtihad dalam kitab kuning dan kemampuan
untuk menggunakannya dalam menawarkan solusi dari berbagai permasalahan. Inilah
profil yang selama ini ditunggu-tunggu oleh persyarikatan dan umat secara umum.
Sosok yang bisa mengawal Muhammadiyah menjalankan misi pencerahan yang
dibawanya.
Dr. Usamah al-Sayyid al-Azhari, ulama
hadis al-Azhar yang juga merupakan salah satu santri terbaik Syekh Ali Jum`ah,
memamparkan setidaknya ada lima hal yang harus dilalui apabila ingin menumbuhkan
malakah ini. Beliau memberi contoh, malakah ilmu ushul fikih;
1. Menguasai seluruh pembahasan dalam usul fikih. Dalam
tradisi keilmuan Islam, menguasai matan-matan seperti al-Waraqât-nya
Imam al-Juwaini, dilanjutkan dengan memahami kitab-kitab syarahnya dan
menyelami persoalan-persoalan detail yang ada dalam kitab seperti Mukhtashar-nya
Ibnu al-Hajib, Minhâju’l Ushûl-nya al-Baidhawi, Jam`u’l Jawâmi`-nya
al-Subki, al-Mushtashfa-nya Imam
al-Ghazali dan lain-lain. Hal ini dilakukan dengan cara talaqqi kepada
ulama secara kontinyu dan berkesinambungan.
2. Menerapkan teori tersebut dengan cara mengkaji berbagai
literatur dan menganalisa bagaimana proses sebuah penyimpulan hukum dengan
metode yang ada. Termasuk membaca dialektika para ulama, bagaimana mereka
mengkritisi sebuah pendapat, menunjukkan kelemahannya kemudian membangun
argumen berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat. Hal inilah nantinya yang
akan melatih bagaimana cara berpikir ulama. Harapannya, teori-teori usul fikih yang
sebelumnya dipelajari tidak hanya sekedar menjadi hafalan, melainkan bisa
diterapkan dengan melihat bagaimana cara ulama menerapkannya.
3. Sebuah disiplin ilmu pasti memiliki landasan teori. Tahap
selanjutnya adalah menelusuri bagaimana sebuah teori usul fikih dibentuk dari
ilmu aslinya, dalam hal ini bahasa Arab, ilmu kalam dan cabang pembahasan
fikih.
4. Ilmu keislaman sulit dipisahkan dari ulamanya. Sehingga
penting bagi seorang kader ulama untuk menelaah biografi para ulama secara
rinci; bagaimana proses menuntut ilmu, sampai bagaimana menghadapi tantangan
zaman mereka masing-masing.
5. Meng-update perkembangan kajian usul fikih di
zaman sekarang. Mengkaji inovasi-inovasi ulama usul fikih kontemporer dan
bagaimana usul fikih menjawab tantangan zaman.
Investasi Ulama
Timur tengah tampaknya belum
tergantikan sebagai pusat studi Islam. Kelima unsur keilmuan terpenuhi dengan standar
kualitas nomer wahid. Pertama, ulama kaliber dunia. Pelajar yang
menimba ilmu di sana akan terpuaskan dengan arahan-arahan orang yang memang
benar-benar pakar di bidangnya. Kedua, para pelajar dari
berbagai negara dan latar belakang. Efeknya, pelajar akan mawas diri dengan
kemampuannya serta terbiasa melihat keragaman. Pengalaman seperti inilah yang
membentuk jiwa toleran. Ketiga, melimpahnya literatur, sehingga
pelajar tidak tanggung-tanggung dalam memperluas dan memperdalam keilmuannya. Keempat,
kurikulum yang digunakan di timur tengah teruji berabad-abad dalam membentuk
ulama. Kelima, pengalaman tak tergantikan belajar di pusat
keilmuan Islam dan pusat keramaian dunia. Kelima hal inilah yang nantinya
menjadi bekal bagi kader ulama Muhammadiyah untuk bergabung menjalankan misi
pencerahan bersama aktivis persyarikatan lainnya. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb.
[]
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :